Seorang Ibu Rela Naik Tali Anjungan Kapal Demi Hidupi Anaknya

Wali Umat – Bayangkan seorang ibu memanjat tali anjungan kapal. Langit menggantung mendung, dan angin laut menerpa wajahnya. Ia bukan pelaut, bukan pekerja tambat-labuh. Ia hanyalah seorang ibu biasa, membawa tubuh kecilnya naik ke tempat yang bahkan lelaki kuat sekalipun berpikir dua kali. Yang menggerakkannya bukan kekuatan fisik, tapi cinta yang terlalu dalam untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Tangan ibu itu merah karena gesekan tambang, tapi sorot matanya tidak mampu menunjukkan rasa sakitnya. Di hatinya hanya ada satu hal: anak-anaknya menunggu makan. Ia tidak bisa pulang dengan tangan kosong. Ketika dunia menggertaknya dengan risiko, ia menjawab dengan keberanian. Begitulah, keberanian itu lahir dari cinta, bukan dari latihan bela diri.
Psikologi menyebut cinta sebagai salah satu kebutuhan psikologis dasar. Dalam teori Self-Determination oleh Deci & Ryan (1985), disebutkan bahwa kebutuhan akan koneksi emosional (relatedness) adalah pondasi bagi motivasi sejati manusia. Namun cinta seorang ibu melampaui teori itu. Ia adalah bentuk cinta eksistensial, sebagaimana dijelaskan oleh Erich Fromm dalam The Art of Loving—cinta bukan sekadar emosi, tapi tindakan aktif untuk memberi tanpa berharap kembali.
Dalam Islam, apa yang sang ibu itu lakukan merupakan salah satu bentuk ihsan, yaitu berbuat baik dengan kualitas terbaik. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal.” (HR. Muslim, No. 1955)
Ihsan bukan tentang dikenal, bukan tentang mendapatkan pujian. Ihsan adalah ketika seseorang memilih untuk terus naik, walaupun tubuhnya gemetar dan tidak ada yang melihat. Seperti sang ibu tadi, yang tak tahu siapa yang menyaksikannya, tapi yakin bahwa Allah Swt. mencatat segalanya.
Kita sering bertanya, “Siapa aku sebenarnya?” Tapi mungkin pertanyaan yang lebih penting adalah, “Peran mana yang aku jalani dengan cinta?” Identitas diri tak hanya dibentuk dari keinginan pribadi, tapi juga dari peran yang kita terima sebagai amanah. Ketika seseorang mencintai perannya sebagai anak, ia akan hadir penuh di sisi orang tuanya. Ketika ia mencintai perannya sebagai orang tua, ia takkan pernah lelah menyambut senyum maupun keluhan anak-anaknya.
Dalam Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 58 Allah Swt. berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menyembah-Ku.
Menyembah Allah bukan hanya soal ibadah ritual. Tapi juga mencakup cara kita menjalani peran dengan cinta, sabar, dan syukur. Bagaimanapun, peran yang kita jalani setiap hari—menjadi anak, orang tua, pasangan, atau pekerja—adalah ladang ibadah jika dikerjakan karena Allah dan dengan cinta.
Viktor Frankl, dalam Man’s Search for Meaning, menyebutkan bahwa manusia bisa menanggung penderitaan apa pun jika ia tahu untuk apa ia menderita. Sang ibu yang memanjat tali itu tidak kuat karena tubuhnya sehat, tapi karena jiwanya punya alasan. Apa alasan di baliknya? Tak lain adalah cinta kepada anak-anak yang tak berdosa.
Namun, tidak semua orang mencintai perannya. Banyak yang merasa terjebak, terbebani, bahkan tertekan. Jika seseorang mengalaminya, bisa jadi rasa berat itu berasal dari tiadanya cinta dalam peran. Tanpa cinta, tanggung jawab adalah belenggu. Dengan cinta, ia justru menjadi sayap.
Dunia hari ini penuh dengan orang yang sibuk—sibuk bekerja, sibuk mengejar mimpi, sibuk menciptakan citra. Tapi di balik kesibukan itu, banyak yang merasa hampa. Hampa bukan karena kurang uang, tapi karena kehilangan cinta dalam peran yang dijalani.
Kita lihat para ayah yang pulang malam, membawa uang tapi kehilangan waktu bersama anak. Ibu-ibu yang memasak sambil menangis karena merasa tak dihargai. Anak-anak yang sekolah demi nilai, bukan demi ilmu. Semua merasa lelah. Tapi bukan karena banyak tugas, melainkan karena sedikit cinta.
Erik Erikson, psikolog perkembangan, menyebut bahwa krisis identitas terjadi ketika seseorang gagal membangun hubungan yang bermakna dengan peran dan lingkungannya. Cinta, dalam hal ini, bukan hanya soal hubungan romantis, tapi bagaimana kita terhubung secara batin dengan tanggung jawab kita.
Ketika kita kehilangan cinta pada peran, kita kehilangan arah. Saat itu, kerja menjadi beban, keluarga menjadi rutinitas, ibadah menjadi formalitas. Kita bangun, tidur, lalu bangun lagi tanpa tahu apa yang sedang kita bangun. Hidup menjadi datar, tanpa getar.
Padahal sang ibu yang memanjat tali kapal itu juga bangun setiap hari. Tapi ia bangun dengan alasan, bukan sekadar kewajiban. Ia naik bukan karena disuruh, tapi karena mencintai. Dan cinta itulah yang membentuk manusia utuh: hadir, sadar, dan rela.
Cinta yang tidak disandarkan pada Allah akan cepat habis. Ia akan menjadi tuntutan yang melelahkan, bukan kekuatan yang menguatkan. Ketika cinta hanya bergantung pada respon manusia, kita mudah kecewa. Tapi jika cinta itu bermula dari Allah, maka kekecewaan berubah menjadi ladang pahala.
Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 165, Allah Swt. berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّهِ
“Dan orang-orang yang beriman itu sangat besar cintanya kepada Allah.”
Cinta kepada Allah bukan membuat kita menjauh dari dunia, tapi membuat kita lebih kokoh di dalamnya. Karena dengan cinta seperti itu, kita tak akan mudah rapuh saat dunia tak berjalan sesuai harapan. Cinta kepada Tuhan adalah titik pusat, dan semua cinta lain adalah orbit yang mendapat cahaya darinya.
Demikian pula cinta kepada Rasul ﷺ. Beliau bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ، وَوَالِدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian sampai aku lebih ia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari, No. 15; Muslim, No. 44)
Rasulullah ﷺ bukan hanya sosok nabi, dalam arti orang suci yang jauh dari sifat-sifat kemanusiaan, yang dengan sifat-sifat tersebut, jadi masuk akal-lah segala yang beliau lakukan sehingga patut menjadi teladan. Ia adalah teladan cinta dan tanggung jawab yang menyatu. Mencintainya artinya belajar menjadi pribadi yang sabar dalam beban, lembut dalam menghadapi manusia, dan kokoh dalam peran.
Spiritualitas yang Menghidupkan Peran
Sering kali orang mengira bahwa spiritualitas hanya soal shalat dan zikir. Padahal, spiritualitas juga merupakan soal bagaimana kita menjaga nyala cinta di dalam peran. Ketika seorang ibu menyuapi anak dengan keikhlasan dengan senyum dan doa, ia sedang berzikir. Ketika seorang ayah bekerja keras dengan ikhlas tanpa mengeluh, sejatinya ia sedang beribadah.
Dalam tafsir Al-Qurthubi dijelaskan bahwa setiap amal baik yang diniatkan karena Allah Swt., meski kecil, bisa menjadi bentuk dzikir dan ibadah. Maka pekerjaan rumah tangga, pekerjaan kantoran, belajar, dan merawat bisa menjadi jalan ke surga—asal dilakukan dengan cinta yang benar arah.
Barbara Fredrickson, dalam studinya di American Psychological Association, menunjukkan bahwa micro-moments of love—momen kecil dari kasih sayang seperti empati, pelukan, atau tatapan tulus—dapat membangkitkan oksitosin, memperkuat imunitas, dan menciptakan koneksi batin yang mendalam.
Begitu juga dalam rumah kita: saat kita hadir sepenuh hati, walau hanya lima menit mendengarkan pasangan, itu bisa membangun cinta yang bertahan seumur hidup. Maka jangan tunggu punya banyak waktu. Cinta tumbuh dari hadir dengan utuh di waktu yang sedikit.
Bayangkan lagi ibu yang memanjat tali kapal itu. Ia tidak punya banyak pilihan. Tapi ia tidak kehilangan semangat. Karena ia masih punya cinta. Dan cinta itu tak membutuhkan fasilitas. Cinta hanya butuh kesediaan untuk hadir.
Kita semua sedang memanjat “tali” kita masing-masing: pekerjaan, hubungan, studi, luka masa lalu. Tapi seperti sang ibu, kita akan mampu bertahan jika tahu untuk siapa kita melakukannya. Jika kita mencintai Allah, maka setiap langkah di tali itu adalah langkah menuju-Nya. Dalam Qur’an, surat Al-Ankabut ayat 69, Allah Swt. berfirman
وَٱلَّذِينَ جَٰهَدُوا۟ فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۚ
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
Maka, jangan sampai tali hati itu putus. Ketika hati kita terhubung dengan Allah, dengan Rasul, dan dengan orang-orang yang kita cintai karena-Nya, hidup tidak akan kehilangan arah.
Kalau hari ini kamu merasa jauh dari peranmu—jauh dari anak, dari pasangan, dari ibadah—jangan tunggu waktu ideal untuk kembali. Cukup hadir hari ini, dalam satu momen kecil, dan mulai dari situ. Ambil mushaf, peluk anak, kirim pesan ke orang tua. Kembalilah.
Cinta bukan soal besar kecilnya tindakan. Tapi soal besar kecilnya niat. Mulailah mencintai peranmu kembali. Karena saat kamu mencintainya, kamu akan menemukan dirimu. Dan ketika kamu menemukan dirimu, kamu akan lebih mudah menemukan Tuhan.
Mulai dari lima menit. Ganti waktu scroll dengan zikir. Ganti keluhan dengan syukur. Ganti status media sosial dengan doa dalam hati. Lakukan perlahan, tapi istiqamah. Rasulullah ﷺ bersabda:
وَأَحَبُّ الْأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling terus-menerus, meskipun sedikit.” (HR. Muslim, No. 783)
Kita semua sedang memanjat. Tidak semua tali kita sama. Ada yang memanjat untuk menghidupi keluarga. Ada yang memanjat untuk sembuh dari trauma. Ada yang memanjat karena takut tenggelam. Tapi satu hal pasti: kita akan sampai jika tahu untuk siapa kita naik.
Sang ibu di pelabuhan tak tahu sama sekali ceritanya akan viral dan menginspirasi banyak orang. Namun, Allah Swt. Maha Melihat. Allah Swt. tahu, cinta dalam lubuk hatinya itulah yang menggerakkannya. Ia tidak menunggu kuat, ia naik karena cinta.
Kamu pun bisa. Kamu bisa mencintai lagi. Kamu bisa kembali lagi. Kamu bisa memeluk peranmu lagi—bukan karena kamu tidak lelah, tapi karena kamu tahu cinta ini adalah jalan pulang ke Allah.