Refleksi dari Jasa Service Payung: “Selama Bisa Diperbaiki, Jangan Dulu Diganti Sehingga Memiliki Arti”

Wali Umat - Di sebuah sudut kota Semarang, seorang bapak tua duduk bersisian dengan tumpukan payung rusak. Tangannya terampil, matanya cekatan, dan sabarnya tak pernah surut meski nyaris tak ada pelanggan. Dahulu, profesinya berjaya. Di masa ketika payung adalah barang berharga, jasanya dicari dan dihargai. Ia tak hanya memperbaiki, tapi menjaga fungsi, menghidupkan kembali harapan dari sesuatu yang nyaris dibuang.
Dulu, masyarakat terbiasa memperbaiki barang. Sepatu sobek, jam mati, payung robek—semuanya diperbaiki, bukan diganti. Keterbatasan akses dan informasi soal barang baru justru melahirkan budaya merawat. Setiap barang punya cerita, bukan hanya fungsi. Kini, budaya itu nyaris lenyap, digantikan oleh mentalitas “lem biru”—begitu rusak, langsung “lempar” alias buang lalu ganti “yang baru”.
Fenomena ini tak berdiri sendiri. Ia lahir dari sistem produksi dan pasar yang membentuk cara berpikir baru. Istilahnya dikenal sebagai "planned obsolescence"—produsen sengaja merancang barang agar cepat rusak, agar konsumen terus membeli. Bukan karena kita tak bisa memperbaiki, tapi karena kita diajarkan untuk merasa itu tidak sepadan.
Dampaknya tampak jelas dalam industri seperti “fast fashion”. Model berganti tiap pekan, harga ditekan serendah mungkin, dan kualitas dikompromikan. Pakaian dibeli untuk dipakai dua kali lalu dibuang. Limbah tekstil menumpuk, dan yang paling dirugikan adalah lingkungan serta pekerja di baliknya.
Tak berhenti di pakaian, budaya konsumtif merambah ke rumah tangga. Banyak keluarga lebih akrab dengan katalog belanja online ketimbang tukang reparasi. Uang habis untuk membeli barang murah yang cepat rusak. Menurut laporan OCBC dan Liputan6, kebiasaan ini memperburuk kondisi finansial keluarga dan menyumbang kecemasan berkepanjangan.
Menilik ke dalam diri kita, secara psikologis, dorongan untuk membeli bukan semata karena kebutuhan - namun dengan marketing sedemikian rupa, kita jadi menganggap keingann sebagai kebutuhan yang disebut meningkatkan “value”. Selanjutnya, ketika barang sudah di tangan, ia mengaktifkan “sistem reward” di otak: rasa senang sesaat saat mendapat barang baru. Namun, rasa itu cepat hilang, digantikan keinginan baru. Ironisnya, ini berujung pada rumah penuh barang tapi hati yang kosong.
Padahal, memilih memperbaiki bukan hanya soal logika ekonomi. Ia juga bagian dari spiritualitas hidup sederhana. Islam mengajarkan untuk menjaga nikmat, tidak berlebihan, dan tidak mubazir. Merawat barang adalah bentuk syukur, yang salah satu dimensi maknanya ialah bertanggung jawab - dengan cara menjaga dan merawat atas apa yang sudah dimiliki.
Muin (67) saat ditemui di rumah kontrakannya di Jalan Kompi Jenggot, RT 01/RW 007, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Jumat. Sumber: Tribun Jakarta
Barang bukan sekadar benda. Ia menyimpan memori, jasa, dan nilai. Rasulullah Saw. adalah teladan terbaik. Sebagai bentuk sayangnya pada barang, beliau sampai menamai barang-barangnya. Unta beliau diberi nama Qashwa, pedangnya Dzulfiqar, bahkan pakaian dan tongkatnya pun disebut dengan kasih. Itu bukan romantisasi, tapi pelajaran: barang, bila dirawat, bisa mendidik jiwa.
Menjadi masuk akal jika profesi seperti tukang servis payung adalah penjaga nilai-nilai yang mulai usang. Mereka bukan sekadar membenahi kerusakan, tapi juga mengingatkan bahwa tidak semua yang rusak harus dibuang. Ada banyak hal yang layak diberi kesempatan kedua—barang, profesi, bahkan cara pandang kita.
Merawat Barang, Menjaga Martabat
Ketika kita memilih memperbaiki, kita sedang membuka ruang hidup bagi seseorang. Bayangkan, satu pelanggan bisa menjadi satu-satunya sumber penghasilan harian bagi penjaja jasa servis. Apa yang tampak kecil di mata kita, bisa jadi besar di mata mereka.
Kita mungkin hanya membayar Rp15.000 untuk memperbaiki payung, tapi bagi si tukang servis, itu cukup untuk membeli makan malam atau membayar listrik. Transaksi sederhana itu, bila dilakukan dengan keikhlasan dan penghargaan, bisa menjadi penyambung nafkah yang bermartabat.
Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Membeli dari penjaja jasa servis bukan hanya bentuk transaksi, tapi juga bentuk amal. Kita tidak hanya menyambung ekonomi, tapi juga harga diri.
Sayangnya, keterampilan mereka yang terasah selama puluhan tahun tidak tampil dalam katalog digital. Mereka tak punya platform untuk “mengiklankan” keahlian, hanya mengandalkan lalu lalang dan belas kasih. Maka, jika bukan kita yang memberi ruang, siapa lagi?
Budaya lain justru merayakan semangat ini. Di Jepang, konsep *mottainai*—rasa menyesal karena membuang sesuatu yang masih bisa digunakan—menjadi bagian dari pendidikan karakter. Di Belanda, *repair café* menjadi ruang komunitas untuk belajar memperbaiki bersama, bukan konsumsi sendirian.
Inilah wajah ekonomi sirkular: sistem yang mengutamakan perbaikan, pemanfaatan ulang, dan pengurangan limbah. Dunia sedang bergerak ke sana, karena menyadari bumi tak bisa terus menampung sisa-sisa gaya hidup instan. Kita pun bisa, pelan-pelan mulai menyesuaikan, dan kita bisa mulai dari rumah sendiri.
Riset dari Harvard Business School menemukan, orang lebih bahagia ketika uangnya digunakan untuk hal yang memberi manfaat langsung kepada orang lain. Memberi tukang servis kesempatan bekerja adalah salah satu bentuk manfaat paling nyata.
Kita tidak perlu mulai dari hal besar. Mulailah dari sendal yang jebol, blender yang mati, atau payung yang patah rangka. Daripada tergesa ke marketplace, coba tanya: bisa diperbaiki nggak? Kalau bisa, perbaiki. Kita sedang menyelamatkan lebih dari sekadar barang.
Dalam Islam, semangat “islah” berarti memperbaiki. Tak hanya konflik sosial, tapi juga kebiasaan dan benda. Ia mengajarkan bahwa ada keberkahan dalam usaha merapikan yang retak, menyambung yang putus, dan menghidupkan yang nyaris mati.
Budaya memperbaiki bukan berarti pelit. Ia justru cermin kemewahan batin: karena ia lahir dari perhatian, tanggung jawab, dan ketulusan. Ia mengembalikan makna pada barang, dan rasa pada manusia yang memperbaikinya.
Bapak tukang servis payung itu, mungkin tak viral di media sosial, tapi ia adalah penjaga warisan hidup yang layak kita muliakan. Ia tak sekadar membenahi rangka logam, tapi membenahi pandangan kita tentang nilai.
Kita hidup di zaman yang mudah mengganti, tapi sulit menghargai. Maka, memilih merawat adalah tindakan kecil yang radikal. Ia mengajarkan kita untuk sabar, untuk hemat, dan untuk menghargai proses.
Cobalah mulai biasakan bertanya: “Masih bisa dipakai nggak?” sebelum “Ada yang baru nggak?” Kalimat sederhana itu bisa menjadi titik balik cara kita menghargai dunia dan sesama.
Saat kita memperbaiki, kita bukan hanya menyelamatkan barang. Kita sedang menjaga martabat profesi, menyambung rezeki, dan menanamkan nilai bahwa tak semua yang usang harus dibuang. Kadang, yang kita kira rapuh, hanya butuh disentuh.
Akhirnya, selama masih bisa diperbaiki—jangan dulu diganti. Karena yang kita selamatkan bukan cuma barangnya, tapi juga diri kita sendiri.