Pelajar Ini Mengubah Luka Temannya Jadi Senyum Lewat Sepasang Sepatu

Wali Umat – Dsebuah kelas, seorang pelajar nampak tersenyum bahagia sambil memegang kotak sepatu berwarna hitam. Di dalamnya, sepasang sepatu baru tersimpan rapi—bukan hadiah dari orang tua, bukan pula hasil lomba. Sepatu itu hasil patungan mereka, uang saku yang dikumpulkan diam-diam untuk teman sekelas yang datang setiap hari dengan sepatu robek di ujungnya. Saat kotak itu dibuka, tawa berubah jadi haru. Bukan karena harganya mahal, tapi karena di ruangan kecil itu, mereka baru saja menyalakan kembali api kemanusiaan yang mulai padam di dunia remaja.
Di tengah derasnya arus budaya kompetisi, candaan yang sering berubah jadi ejekan, dan media sosial yang menormalisasi penghinaan, tindakan sederhana seperti ini terasa langka. Namun justru karena kelangkaannya, kisah ini begitu berharga. Ia mengingatkan kita bahwa di balik seragam abu-abu putih, di balik tingkah remaja yang sering dianggap egois, masih tersisa ruang empati yang hangat—ruang yang, jika dijaga, bisa menjadi benteng terhadap penyakit sosial bernama bullying.
Mungkin sepatu hanyalah benda, tapi dalam kisah ini, ia berubah menjadi simbol solidaritas: langkah bersama untuk menegakkan martabat satu kawan yang hampir kehilangan rasa percaya diri.
Sepatu yang Mengikat Persahabatan
Kisah ini bukan tentang materi. Ini tentang makna. Tentang bagaimana kebaikan bisa lahir dari ruang yang tak disangka, dari hati-hati muda yang belum sepenuhnya mengerti hidup, tapi tahu betul apa itu empati. Dalam kebersamaan yang tulus, mereka menemukan arti lain dari kata “teman”: bukan sekadar orang yang duduk di sebelah, tapi orang yang memastikan kamu tidak jatuh sendirian.
Persahabatan sejati, sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah ﷺ, adalah ketika seseorang mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Tindakan mereka adalah manifestasi kecil dari iman yang hidup—iman yang tidak hanya mengajarkan doa, tapi juga langkah nyata untuk menguatkan sesama.
Di usia remaja, dunia sering terasa seperti arena kompetisi tanpa akhir. Siapa yang lebih keren, siapa yang lebih populer, siapa yang paling banyak pengikut. Tapi di tengah semua itu, tindakan kecil seperti patungan membeli sepatu menjadi penanda bahwa tidak semua anak muda kehilangan arah. Mereka masih tahu, di atas semua ambisi, ada kemanusiaan yang harus dijaga.
Ketika kita menatap kisah ini, kita seperti sedang bercermin pada sisi diri yang sering kita lupakan. Bahwa kebaikan itu tak harus besar, tapi bisa berawal dari hal paling sederhana: kepekaan. Kepekaan melihat penderitaan kecil yang sering luput dari pandangan karena mata kita terlalu sibuk menatap layar.
Dan dari kepekaan itulah lahir rasa aman—rasa yang paling dibutuhkan oleh setiap manusia, terutama anak muda. Saat satu orang ditolong dengan cinta, rasa percaya diri tumbuh, luka sosial sembuh, dan keyakinan bahwa dunia masih punya harapan kembali bersemi.
Melawan Bullying dengan Kebaikan
Bullying masih menjadi salah satu masalah terbesar di sekolah. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam lima tahun terakhir, lebih dari 41% kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan pendidikan. Bentuknya beragam: ejekan verbal, kekerasan fisik, hingga perundungan digital. Sering kali, pelaku bukanlah orang jahat—melainkan remaja yang sendiri merasa tak cukup, lalu berusaha menegaskan diri dengan menjatuhkan orang lain.
Budaya ini pelan-pelan membentuk generasi yang dingin: anak-anak yang lebih cepat menertawakan daripada menolong. Namun di sinilah kisah seperti Dimas dan teman-temannya menjadi oase. Mereka membuktikan bahwa melawan perundungan tidak selalu harus lewat konfrontasi keras, tapi bisa lewat aksi kebaikan kolektif. Sebuah perlawanan lembut yang tidak mengutuk, tapi menyembuhkan.
Islam mengajarkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar—mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Tapi sering kali, orang lupa bahwa mengajak kepada kebaikan juga berarti menumbuhkan lingkungan yang penuh kasih. Ketika para pelajar itu memilih untuk menolong temannya, mereka tidak hanya menolong satu orang, tapi juga sedang menumbuhkan atmosfer sekolah yang lebih manusiawi.
Nilai universal yang lahir dari tindakan mereka adalah penghargaan terhadap martabat. Setiap manusia, seberapapun sederhananya, ingin dihargai bukan karena punya apa, tapi karena siapa dia. Kebaikan kecil semacam ini membangun fondasi itu—rasa bahwa setiap orang pantas merasa layak.
Sekolah seharusnya menjadi tempat tumbuhnya nilai kemanusiaan, bukan hanya kecerdasan akademik. Karena pada akhirnya, yang akan menyelamatkan dunia bukanlah angka-angka di rapor, tapi ketulusan hati yang terlatih untuk peduli. Seorang guru mungkin bisa mengajarkan rumus fisika, tapi hanya tindakan nyata antarsiswa yang bisa mengajarkan apa arti empati sejati.
Remaja sering dianggap masa pencarian jati diri. Namun bagaimana jika pencarian itu dimulai dari tindakan sederhana seperti ini—belajar melihat teman bukan sebagai pesaing, tapi sebagai saudara? Dari sinilah karakter bangsa dibangun. Dari ruang kelas kecil yang menyimpan kisah besar tentang solidaritas.
Kisah Dimas dan teman-temannya membuktikan bahwa setiap tindakan baik memiliki efek domino. Hari itu mereka memberi sepatu, esoknya mungkin mereka memberi semangat, dan kelak mereka bisa menularkan budaya kepedulian ke banyak tempat. Kebaikan tidak mengenal batas usia; ia hanya butuh hati yang mau melangkah.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.”
(QS. Al-Māidah [5]: 2)
Ayat ini seakan hidup dalam kisah mereka. Karena yang dilakukan anak-anak itu bukan sekadar menolong, tapi menciptakan iklim kebajikan yang menular. Ketika kebaikan menjadi gaya hidup, bullying tak punya ruang untuk tumbuh.
Dan mungkin, di tengah dunia yang semakin keras, kita memang perlu lebih banyak kisah seperti ini. Kisah yang mengingatkan bahwa perjuangan melawan kejahatan sosial tidak selalu butuh megafon, tapi bisa dimulai dengan tangan-tangan yang rela berbagi dari saku sendiri.
Sebuah tindakan kecil, tapi berdampak besar. Mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan hari itu bisa menjadi inspirasi bagi ribuan anak muda lain. Bahwa solidaritas sederhana mampu menumbuhkan harapan, bahkan di dunia yang tampak kehilangan arah moral.
Barangkali, di setiap sekolah, kita perlu sepatu seperti itu—bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk langkah-langkah empati yang menuntun kita berjalan bersama. Karena pada akhirnya, dunia yang keras ini akan sedikit lebih lembut jika kita mau berjalan dengan sepatu kasih, bukan dengan sepatu yang menendang.
Kita mungkin tidak berada di ruang kelas itu. Tapi kita semua pernah jadi “Dimas”—pernah merasa rendah, berbeda, atau tertinggal. Dan kita semua juga pernah punya pilihan: ikut menertawakan, atau ikut menolong. Kisah ini mengingatkan, setiap kali kita memilih untuk peduli, kita sedang memperbaiki sedikit dari dunia yang rusak.
Karena kadang, yang dibutuhkan untuk melawan kejahatan sosial bukan kekuatan besar, melainkan hati kecil yang mau berbagi.