Pejuang Khandak Bersenjatakan Anyaman Bambu Bernama Suhada

Wali Umat – Dibantu tongkat kayu, langkahnya terseok. Bukan karena lelah menyeret kaki, melainkan takdir yang membuat kakinya tak lagi berfungsi maksimal. Perjalanannya hari itu, bukan sekadar aktivitas rutin, melainkan sebentuk kesungguhan seorang ayah dalam mencari nafkah halal. Bermodalkan kedua tangannya yang terampil, Abah Suhada menciptakan beragam produk anyaman bambu dengan penuh cinta, lalu menjualnya dengan cara dipikul, berjalan kaki puluhan kilometer dari desa ke desa.
Namun, ada pemandangan menarik sekaligus mengharukan di balik perjuangan Abah Suhada; sehelai sinjang merah melingkar erat di perutnya. Siapa sangka, kain tradisional itu bukan sekadar aksesoris pakaian, melainkan penahan perih rasa lapar. Hal itu, mengingatkan kita pada perjuangan Rasulullah Saw. saat menggali parit pertahanan menjelang pertempuran Khandak.
"Saya makan cukup sehari sekali saja, nanti pas pulang jualan," ujar Abah Suhada dengan suara lirih namun penuh keyakinan, "Yang terpenting, kebutuhan anak dan istri tercukupi."
Abah Suhada menggunakan sinjang sebagai penahan rasa lapar. Sumber: tangkapan layar video di akun instagram @wali_umat
Di balik keterbatasan fisik dan himpitan ekonomi, terpancar semangat juang seorang kepala keluarga. Abah Suhada, dengan segala kekurangan yang dimilikinya, tidak memilih jalan pintas untuk menyerah pada keadaan.
Kisah Abah Suhada adalah cerminan keteguhan hati yang luar biasa. Di tengah kondisi serba kekurangan, ia tidak lantas memilih untuk berpangku tangan atau bahkan merendahkan diri dengan meminta-minta di jalanan. Dengan berikhtiar sekuat tenaga, Abah Suhada justru menjaga marwah dirinya sebagai seorang lelaki dan kepala rumah tangga. Ia memegang teguh tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah, memastikan kebutuhan keluarga tercukupi dengan keringatnya sendiri. Sungguh, sebuah teladan yang menggetarkan jiwa.
Di sampingnya, hadir pula sosok istri yang tak kalah hebat. Kesabarannya mendampingi perjuangan suami dan dukungannya yang tak pernah pudar merupakan pondasi kekuatan bagi Abah Suhada. Kita bisa membayangkan, betapa berat beban hidup yang mereka pikul bersama. Namun, keharmonisan dan keteguhan iman membuat bahtera rumah tangga mereka tetap kokoh diterjang badai kehidupan. Kita patut bertanya pada diri sendiri, andai kata kita berada di posisi Abah Suhada, mampukah kita terus berjuang dengan semangat yang sama?
Kisah ini menjadi tamparan keras bagi kita yang seringkali merasa mudah menyerah dan mengeluh dalam menghadapi kesulitan hidup. Abah Suhada mengajarkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah penghalang untuk berkarya dan memberikan yang terbaik bagi keluarga. Justru di tengah keterbatasan, semangat juang dan nilai kemanusiaan semakin terpancar. Ia adalah sosok yang patut kita teladani, seorang pejuang nafkah keluarga yang sesungguhnya.
Namun, ironi kehidupan seringkali hadir di sekitar kita. Di saat Abah Suhada berjuang keras mencari nafkah halal, ada sebagian suami yang justru tega menghamburkan hasil jerih payah istrinya untuk kesenangan sesaat, seperti berjudi. Tragisnya, sang istri harus membanting tulang menjadi pekerja migran di negeri orang, menanggung beban ganda demi keluarga. Belum lagi, kita melihat fenomena anak muda yang enggan berusaha, memilih berleha-leha dan menggantungkan hidup pada orang tua, padahal potensi dan kemampuan yang mereka miliki jauh lebih besar. Bahkan, tak sedikit orang yang memilih jalan pintas menjadi pengemis, padahal fisik mereka sehat dan kuat. Padahal Rasulullah Saw. bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari:
لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللَّهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
"Sungguh, seorang di antara kalian mengambil tali lalu pergi ke gunung, kemudian kembali dengan membawa seikat kayu bakar di punggungnya lalu menjualnya sehingga Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya dengan hasil itu, adalah lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia, diberi atau ditolak." (HR. Bukhari)
Padahal, kepemimpinan dalam keluarga dan kewajiban mencari nafkah adalah perintah Allah Swt. yang termaktub jelas dalam Al-Qur'an. Dalam surat An-Nisa ayat 34, Allah Swt. berfirman:
ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ
"Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka." 2
Demikian pula dalam surat Al-Baqarah ayat 233, Allah Swt. mengingatkan para suami:
وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ
"Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf."
Di samping itu, di era media sosial ini, kita juga menyaksikan fenomena istri yang membanding-bandingkan nafkah suami dengan standar ‘tidak tertulis’ di TikTok, menetapkan angka fantastis belasan juta rupiah sebagai ukuran minimal. Namun, begitulah tabiat manusia, sangat sedikit di antara hamba Allah Swt. yang pandai bersyukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat Saba ayat 13:
وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِىَ ٱلشَّكُورُ
"Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur."
Dalam konteks yang lebih luas, perjuangan mencari nafkah yang dilakukan Abah Suhada adalah bentuk jihad fi sabilillah. Bekerja keras untuk menafkahi keluarga bukanlah sekadar kewajiban duniawi, melainkan ibadah yang memiliki nilai tinggi di sisi Allah Swt. Dalam Al-Qur'an surat Al-Muzammil ayat 20, Allah Swt. berfirman:
...وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِى ٱلْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ ۙ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ ۖ ...
"… dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah…”
Imam Al-Qurthubi dalam Tafsir Al-Qurthubi, 19: 55 menjelaskan bahwa ayat ini menunjukkan berbagai bentuk jihad fi sabilillah, termasuk di dalamnya adalah mencari rezeki yang halal. Senada dengan ayat ini, Rasulullah Saw. juga pernah menegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Ra.:
عن أبي هُريرةَ ؛ قالَ : بَيْنَا نحنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ _ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ _ ، إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا شَابٌّ منَ الثَنِيَّةِ ، فَلَمَّا رَمَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا ، قُلْنَا : لَوْ أنَّ ذَا الشَّابَّ جَعَلَ نَشَاطَهُ وَشَبَابَهُ وقوَّتَهُ في سَبِيلِ اللَّهِ ، فَسَمِعَ مَقَالَتَنَا رَسُولُ اللَّهِ _ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ _ ؛ فقالَ : ” ومَا سَبِيلُ اللَّهِ إلاَّ منْ قُتِلَ ؟ ، مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ ؛ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ، ومَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ ؛ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ ، ومَنْ سَعَى مُكَاثِراً ؛ فَفِي سَبِيلِ الشَّيطَانِ ”
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Pada saat kami bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba muncul di hadapan kami, seorang pemuda dari lembah. Ketika kami terfokus kepadanya, kami berkata, ‘Semoga pemuda itu menjadikan kerajinannya, kepemudaanya, dan kekuatannya di jalan Allah.’ Rasulullah mendengar ucapan kami, lalu beliau bersabda: ‘Apakah yang dinilai syahid hanya orang yang wafat di medan perang? Barangsiapa yang bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia di jalan Allah, barangsiapa yang bekerja untuk keluarganya maka ia di jalan Allah, barangsiapa bekerja hanya untuk memperbanyak harta maka dia di jalan syaithan." (HR. Thabrani)
Lebih jauh lagi, keteguhan Abah Suhada menahan lapar demi mencari nafkah, mengingatkan kita pada perjuangan Rasulullah Saw. dalam kondisi yang lebih dahsyat. Sejarah mencatat, saat mempersiapkan parit pertahanan menjelang perang Khandak, Rasulullah Saw. dan para sahabat menghadapi kekurangan pangan yang sangat parah. Dalam kondisi tersebut, Rasulullah Saw. sampai mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar yang mendera. Kisah ini menggambarkan betapa beratnya ujian yang dihadapi Rasulullah Saw. dan para sahabat dalam menegakkan agama Allah. Namun, di balik kesulitan tersebut, terpancar semangat pengorbanan dan kebersamaan yang luar biasa. Sebagaimana dikisahkan dalam artikel Islami.co:
“Dalam kondisi paceklik dan kekurangan makanan, Rasulullah Saw. ikut serta dalam menggali parit Khandak bersama para sahabat. Suatu ketika, Jabir bin Abdillah melihat Rasulullah Saw. dalam kondisi sangat lapar. Jabir kemudian berinisiatif untuk membuatkan makanan bagi Rasulullah Saw. dan beberapa sahabat. Jabir RA kemudian pulang ke rumah dan meminta istrinya untuk membuatkan roti gandum dan menyiapkan seekor anak kambing. Setelah makanan siap, Jabir mengundang Rasulullah Saw. dan beberapa sahabat untuk makan di rumahnya. Rasulullah Saw. pun datang bersama seluruh sahabat Muhajirin dan Anshar. Mereka makan bersama hingga kenyang, dan makanan yang disiapkan Jabir tetap mencukupi seluruh pasukan.”
Kisah ini tidak hanya menunjukkan akhlak mulia Rasulullah Saw. yang senantiasa berbagi dalam kondisi susah maupun senang, lapar maupun kenyang. Lebih dari itu, kisah ini juga menginspirasi kita untuk meneladani keteguhan hati Rasulullah Saw. dalam menghadapi kesulitan hidup. Seberat apapun ujian yang kita hadapi, kita tidak boleh mudah menyerah dan berputus asa.
Abah Suhada dan keluarganya. Sumber: tangkapan layar video di akun instagram @wali_umat
Dari kisah Abah Suhada, kita belajar tentang arti ketangguhan jiwa dan keikhlasan dalam berjuang. Keterbatasan fisik dan ekonomi bukanlah alasan untuk berhenti berusaha dan menjadi beban bagi orang lain. Abah Suhada telah membuktikan bahwa dengan semangat pantang menyerah, kerja keras, dan keyakinan kepada Allah Swt., setiap kesulitan pasti dapat diatasi. Ia adalah potret nyata seorang pejuang nafkah sejati, yang meneladani perjuangan Rasulullah Saw. dalam menahan lapar demi meraih ridha Ilahi.
Mari kita jadikan kisah Abah Suhada sebagai inspirasi untuk terus bersemangat dalam menjalani kehidupan. Jangan pernah mengeluh dan menyerah terhadap keadaan. Jadikanlah setiap kesulitan sebagai cambuk untuk menjadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh. Tanamkan dalam diri kita keyakinan bahwa rezeki telah Allah Swt. atur, dan tugas kita adalah berikhtiar dengan sungguh-sungguh serta bertawakal kepada-Nya. Semoga kisah ini dapat membangkitkan kesadaran kita untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah Allah Swt. berikan, dan termotivasi untuk menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi keluarga dan sesama. Aamiin.