• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Mengayuh Bahagia: Saat Rasa Cukup Menjadi Kemewahan Sejati

Wali Umat – Beberapa waktu lalu, sebuah pemandangan di jalanan menghentikan sejenak dunia saya. Bukan iring-iringan mobil mewah atau kilau sirine pejabat, melainkan sebuah sepeda sederhana yang dikayuh seorang ayah. Di boncengan belakang, duduk sang istri, sementara di salah satu sisi sepeda, dalam kantong anyaman berbahan plastik, anaknya duduk anteng, menikmati angin yang menerpa wajah mereka. Mereka tidak punya kabin ber-AC atau sistem audio canggih, tapi mereka punya sesuatu yang jauh lebih berharga: sebuah harmoni yang memancar dari dalam.

Pemandangan itu begitu kontras dengan linimasa media sosial yang kita gulir setiap hari, sebuah etalase tanpa akhir dari pencapaian material. Tas bermerek, liburan mewah, mobil baru, dan rumah megah dipamerkan sebagai piala-piala kebahagiaan. Kita dicekoki narasi bahwa hidup yang berhasil adalah hidup yang “terlihat” berhasil, yang bisa diukur dan divalidasi oleh decak kagum orang lain. Sebuah tekanan halus namun konstan memaksa kita untuk terus berlari mengejar fatamorgana kemewahan.

Di sinilah pertanyaan fundamental itu muncul, mengusik hingga ke dasar nurani. Mengapa pemandangan sebuah keluarga di atas sepeda, yang oleh standar dunia mungkin dianggap 'kekurangan', justru terasa begitu utuh dan kaya? Sementara di sisi lain, pengejaran tanpa henti terhadap 'kelebihan' dan kemewahan seringkali hanya menyisakan jejak hampa dan kelelahan batin yang tak terperi?

Jebakan Kemewahan: Ketika 'Lebih' Tak Pernah Cukup

Kita hidup di tengah masyarakat yang tanpa sadar telah membangun sebuah panggung sosial raksasa, tempat harga diri dan kehormatan seringkali dipertaruhkan lewat simbol-simbol material. Keberhargaan seseorang seolah ditentukan oleh merek apa yang ia kenakan, di mana ia makan, atau kendaraan apa yang ia parkir di garasi. Ini adalah sebuah permainan status yang menuntut kita untuk terus meningkatkan level kepemilikan agar tidak dianggap gagal atau tertinggal.

Secara sosiologis, fenomena ini bukanlah hal baru. Ekonom dan sosiolog Thorstein Veblen sejak tahun 1899 telah menggambarkannya sebagai “conspicuous consumption” atau konsumsi yang mencolok. Menurutnya, pada titik tertentu, orang tidak lagi membeli barang karena nilai gunanya, melainkan untuk mendemonstrasikan status sosial dan kekayaan mereka. Sebuah studi dari Nielsen pun pernah menunjukkan bagaimana aspirasi kelas menengah di Indonesia sangat dipengaruhi oleh keinginan untuk memiliki barang-barang yang menjadi simbol status, yang seringkali diperparah oleh bombardir iklan dan gaya hidup para influencer.

Konsekuensinya di lapangan begitu nyata dan seringkali tragis. Berita di media kredibel seperti Kompas atau laporan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berulang kali mengungkap kisah individu yang terjerat utang pinjaman online (pinjol) ilegal. Mereka terpaksa berutang bukan untuk kebutuhan primer, melainkan demi membiayai gaya hidup, membeli gawai terbaru, atau sekadar agar tidak malu saat berkumpul bersama teman-temannya. Sebuah harga yang terlalu mahal untuk sebuah validasi yang begitu rapuh.

Dari sudut pandang psikologi, jebakan ini memiliki nama yang lebih klinis: Hedonic Treadmill atau treadmill hedonis. Teori yang dipopulerkan oleh psikolog Philip Brickman dan Donald T. Campbell ini menjelaskan bahwa manusia memiliki tendensi untuk cepat kembali ke level kebahagiaan yang relatif stabil setelah mengalami peristiwa positif. Membeli mobil baru memang membahagiakan, namun euforia itu hanya bertahan sebentar sebelum mobil itu menjadi hal biasa, dan kita mulai mendambakan mobil yang lebih mewah lagi.

Kita terus berlari di atas treadmill, menguras energi untuk mengejar kepuasan berikutnya, namun nyatanya kita tidak pernah sampai ke mana-mana. Kita hanya terus menaikkan standar kebahagiaan kita hingga tak ada lagi yang terasa cukup. Referensi ilmiah dari berbagai jurnal psikologi positif modern mengonfirmasi hal ini; kebahagiaan yang bergantung pada pencapaian eksternal bersifat sangat fluktuatif dan pada akhirnya menimbulkan kecemasan kronis serta rasa hampa yang mendalam.

Manifestasi paling ekstrem dari treadmill hedonis ini dapat kita saksikan pada kasus-kasus korupsi yang diungkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) seringkali menunjukkan bahwa para pelaku korupsi bukanlah orang-orang yang kekurangan. Mereka adalah individu-individu yang sudah bergelimang harta, namun terjebak dalam rasa haus yang tak terpuaskan. Hasrat untuk memiliki “lebih” telah mematikan nurani mereka untuk mengambil hak jutaan rakyat.

Secara kejiwaan, kondisi ini melahirkan paradoks yang menyakitkan: semakin banyak harta yang mereka kumpulkan untuk merasa aman dan bahagia, semakin besar pula kecemasan dan ketakutan yang menggerogoti jiwa mereka. Mereka akhirnya membutuhkan "pasukan keamanan" metaforis—baik pengacara, bekingan politik, maupun tumpukan uang—hanya untuk melindungi apa yang mereka curi, namun kehilangan kedamaian tidur di malam hari. Sebuah bukti nyata bahwa harta yang melimpah tidak serta merta menjadi sumber ketenangan.

Kearifan spiritual Islam telah memperingatkan manusia tentang penyakit ini sejak lebih dari 1.400 tahun lalu. Al-Qur'an menggambarkannya dengan istilah yang sangat tajam: At-Takatsur, yaitu bermegah-megahan dan berlomba-lomba memperbanyak (harta, anak, pengikut). Ia adalah sebuah kelalaian massal yang membuat manusia lupa pada tujuan penciptaannya yang sejati, sibuk dengan perhitungan duniawi hingga ajal menjemput.

Dalam firman-Nya yang menjadi “tamparan” ilahiah, Allah SWT berfirman:

أَلْهَاكُمُالتَّكَاثُرُ(1)حَتَّىٰزُرْتُمُالْمَقَابِرَ(2)

“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur: 1-2)

Cendekiawan besar Imam Al-Ghazali, dalam magnum opusnya Ihya Ulumiddin, mengupas tuntas bahwa cinta dunia yang berlebihan (hubb al-dunya) adalah pangkal dari segala kerusakan batin. Ia membuat hati menjadi buta terhadap keindahan spiritual, tuli terhadap panggilan kebenaran, dan sibuk mengejar bayang-bayang yang pada hakikatnya fana. Harta yang seharusnya menjadi alat untuk beribadah, justru berbalik menjadi berhala yang diperbudak.

Mengayuh Bahagia: Menemukan Kembali Kekayaan dalam Rasa Cukup


Jika Takatsur adalah penyakitnya, maka Islam menawarkan penawar yang paling mujarab: Qana'ah. Qana'ah adalah sebuah sikap batin yang agung, yaitu merasa cukup dan rida dengan segala karunia yang telah Allah tetapkan. Ini bukanlah sikap pasrah yang pasif dan mematikan semangat untuk berusaha, melainkan sebuah kebijaksanaan untuk berhenti mengukur nilai diri dari apa yang tidak kita miliki, dan mulai menghargai apa yang sudah ada di genggaman.

Sikap inilah yang menjadi sumber kekayaan sejati, sebuah kekayaan yang tidak bisa dirampok oleh pencuri atau tergerus oleh inflasi. Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadits yang sangat populer:

لَيْسَالْغِنَىعَنْكَثْرَةِالْعَرَضِ،وَلَكِنَّالْغِنَىغِنَىالنَّفْسِ

“Kekayaan itu bukanlah karena banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang hakiki adalah kekayaan jiwa.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekayaan jiwa inilah yang terpancar dari wajah keluarga di atas sepeda itu. Qana'ah kemudian menjadi fondasi bagi pilar kebahagiaan berikutnya, yaitu Syukur. Cendekiawan Islam, Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah, menjelaskan bahwa syukur bukanlah sekadar ucapan "Alhamdulillah". Syukur adalah sebuah sistem terpadu yang berdiri di atas tiga pilar: mengakuinya dalam hati, mengucapkannya dengan lisan, dan yang terpenting, membuktikannya melalui perbuatan dengan menggunakan nikmat tersebut dalam ketaatan.

Syukur yang aktif inilah yang membuka gerbang keberkahan lebih luas lagi. Ia adalah sebuah hukum spiritual yang pasti, sebagaimana janji Allah dalam Al-Qur'an: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu...” (QS. Ibrahim: 7). Janji ini bukanlah sekadar penambahan materi, melainkan penambahan rasa cukup, ketenangan, dan kapasitas untuk menikmati setiap nikmat yang ada, sekecil apapun itu.

Menariknya, kearifan spiritual ini kini mendapatkan validasi ilmiah yang kuat dari dunia psikologi modern. Praktik syukur (gratefulness) terbukti secara empiris mampu menjadi penawar langsung dari Hedonic Treadmill. Ia bekerja dengan cara "memprogram ulang" fokus kognitif kita; dari terus-menerus memindai kekurangan dan apa yang belum dimiliki, menjadi secara sadar mengapresiasi kelimpahan yang seringkali kita anggap remeh.

Penelitian yang dipelopori oleh Robert A. Emmons dan Michael E. McCullough, dua psikolog terkemuka di bidang ini, menunjukkan hasil yang luar biasa. Partisipan yang diminta untuk rutin menulis jurnal syukur (mencatat hal-hal yang mereka syukuri setiap hari) dilaporkan memiliki tingkat kebahagiaan dan optimisme yang signifikan lebih tinggi, serta level stres dan depresi yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol.

Secara neurologis, praktik syukur diyakini dapat merangsang produksi neurotransmitter seperti serotonin dan dopamin, yang bertanggung jawab atas perasaan tenang dan bahagia. Ini adalah jalur kebahagiaan yang jauh lebih stabil dan berkelanjutan dibandingkan "kejutan dopamin" sesaat yang didapat dari berbelanja atau pamer di media sosial. Dengan bersyukur, kita melatih otak untuk menemukan kepuasan dari dalam, bukan lagi mencarinya dari luar.

Lalu, bagaimana kita melawan tekanan dari "panggung sosial" yang begitu masif? Jawabannya terletak pada tindakan sadar untuk membangun dan memilih "komunitas yang otentik". Kita perlu mengelilingi diri dengan orang-orang yang menghargai kita karena karakter, ide, dan kebaikan kita, bukan karena apa yang kita miliki. Lingkungan pergaulan yang sehat adalah ekosistem terbaik untuk menumbuhkan benih qana'ah dan syukur.

Di tengah gelombang konsumerisme, kita bisa melihat tunas-tunas perlawanan yang menginspirasi. Gerakan minimalisme yang mengajak orang untuk hidup dengan lebih sedikit barang agar lebih kaya pengalaman, komunitas zero waste yang mengubah sampah menjadi berkah, atau inisiatif-inisiatif solidaritas sosial di tingkat lokal yang mengutamakan gotong royong di atas kompetisi. Mereka adalah bukti bahwa jalan lain itu ada dan nyata.

Pada akhirnya, kita bisa mengubah paradigma Perbandingan Sosial (Social Comparison) yang beracun itu. Alih-alih membandingkan materi kita dengan orang lain dan merasa iri, kita bisa berlatih untuk melakukan "inspirasi sosial". Kita bisa melihat ketabahan seorang pedagang kecil dan terinspirasi untuk lebih ulet, melihat kedermawanan orang sederhana dan termotivasi untuk berbagi, serta melihat keharmonisan keluarga di atas sepeda itu dan terinspirasi untuk lebih mensyukuri kebersamaan.

Kini, mari kita kembali pada pemandangan awal: keluarga di atas sepeda. Setelah perjalanan refleksi ini, kita bisa melihat mereka dengan kacamata yang baru. Mereka bukan "tidak punya mobil", melainkan mereka "memiliki" satu sama lain dalam perjalanan yang penuh tawa. Kekayaan mereka tidak terletak pada mesin kendaraannya, melainkan pada kehangatan hati yang menggerakkan kayuhan pedal itu.

Kebahagiaan sejati, pada hakikatnya, bukanlah sebuah tujuan akhir yang bisa dibeli atau sebuah destinasi mewah yang harus dicapai. Ia adalah cara kita menjalani perjalanan itu sendiri, cara kita "mengayuh" napas demi napas dengan penuh rasa syukur. Barangkali, inilah "tamparan" terlembut untuk kita semua: kita terlalu sibuk mencari kebahagiaan di luar, hingga lupa bahwa sumbernya ada di dalam diri, menunggu untuk diaktifkan oleh sebuah kunci sederhana bernama syukur.

Bagaimana jika malam ini, sebelum memejamkan mata, kita tidak memeriksa notifikasi terakhir di ponsel kita? Bagaimana jika kita mencoba hening sejenak, lalu menghitung tiga hal sederhana yang patut kita syukuri dari hari yang telah berlalu? Mungkin senyum seorang teman, nikmatnya secangkir teh hangat, atau sekadar kesempatan untuk bernapas lega. Barangkali, dari sanalah kayuhan pertama menuju kebahagiaan sejati kita dimulai.




Share This