• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Melangkah di Tengah Hujan, Kakek Tua Ini Menyulam Pelajaran Keteguhan

Wali Umat – Di sebuah sudut jalan yang basah, seorang kakek tua berjalan perlahan. Langkahnya tertatih, jas hujan tipis yang dipakainya sudah lusuh, tak mampu sepenuhnya menahan derasnya hujan. Namun, ia terus melangkah, menembus dingin dan rintik yang jatuh tanpa henti. Di tangannya, sebuah tas kecil berisi peralatan pijat—sumber rezekinya. Pemandangan itu sekilas tampak menyedihkan, tapi bila direnungkan lebih dalam, ia memantulkan cahaya keteguhan.

Banyak orang yang mungkin akan melihatnya dengan kasihan. Usia renta, sendi yang kaku, tubuh yang lelah, dan cuaca yang tak bersahabat—semua menjadi alasan untuk berhenti. Tapi bagi kakek itu, berhenti berarti menyerah, dan menyerah berarti mati sebelum waktunya. Ia tahu, rezeki tidak akan datang jika ia hanya duduk menunggu. Maka ia memilih langkah, meski kecil, tapi pasti.

Gambaran ini kontras sekali dengan sebagian anak muda yang sering merasa putus asa. Lapangan kerja dianggap sempit, peluang terasa jauh, tantangan dirasa terlalu berat. Padahal, di depan mata, seorang kakek yang nyaris kehilangan semua daya masih mau melawan keadaan. Dari sini kita bisa belajar: keteguhan bukan soal usia, tapi soal hati yang menolak menyerah.

Hujan, dalam pandangan kita, sering dianggap sebagai penghalang. Kita enggan keluar rumah, menunda aktivitas, bahkan membatalkan janji hanya karena rintik turun dari langit. Namun bagi kakek itu, hujan hanyalah latar cerita. Tekadnya jauh lebih besar daripada rasa dingin. Ia tahu betul, jika langkahnya terhenti, rezeki pun ikut menjauh.

Di tengah derasnya hujan, ia melangkah bukan hanya untuk mencari nafkah, tapi juga menjaga martabat. Tak terlintas dalam dirinya untuk meminta-minta atau menyerah pada keadaan. Ia lebih memilih berpeluh dalam dingin daripada menengadahkan tangan dengan rasa malu. Dari wajah tuanya, kita bisa membaca sebuah pesan: bekerja itu bukan sekadar mencari uang, tapi menjaga harga diri.

Usia yang renta sering dijadikan alasan untuk berdiam. “Saya sudah tua,” begitu alasan yang kerap terdengar. Namun, kakek itu justru menolak tunduk pada usia. Bagi dia, tubuh boleh rapuh, tapi semangat tak boleh mati. Usia bukan alasan untuk berhenti berjuang; ia hanya angka yang tak seharusnya mengubur tekad.

Poin penting yang kita tangkap dari langkah-langkah kecilnya adalah ini: hujan bukan penghalang bagi orang yang punya tekad kuat. Air yang jatuh deras dari langit hanya membasahi tubuh, tapi tak bisa memadamkan api dalam hati. Semangat seperti inilah yang membuatnya tetap melangkah meski dunia seakan berkata “cukup.”

Lebih dari itu, meski renta, ia masih menjaga martabat. Ia tidak membiarkan kelemahan tubuhnya menjadi dalih untuk berhenti berusaha. Justru di situ letak kemuliaannya: kesungguhan seorang hamba yang tidak menyerah pada keadaan. Seolah ia berkata kepada dunia, “Aku mungkin tua, tapi aku masih bisa berdiri tegak.”

Dan yang paling indah dari kisah ini adalah kesadarannya bahwa rezeki ada di tangan Allah. Namun ia juga paham betul: tangan Allah menolong hamba yang berusaha. Karena itu ia melangkah, bukan sekadar mencari uang, tapi menghidupkan harapan. Ikhtiarnya adalah doa yang bergerak. Langkahnya adalah permohonan yang diam-diam mengetuk pintu langit.

Dalam Islam, sikap ini dikenal dengan istilah mujahadah—bersungguh-sungguh dalam ikhtiar. Mujahadah bukan hanya milik para ulama atau pejuang, tapi juga milik orang-orang sederhana yang tetap teguh melawan kesulitan hidup. Mujahadah kakek itu terwujud dalam langkah-langkah kecil di bawah hujan, dengan niat mencari nafkah halal.

Al-Qur’an mengajarkan, “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS. An-Najm: 39). Ayat ini seakan menjadi napas bagi setiap orang yang tidak menyerah. Ia tahu, tanpa usaha, tak akan ada hasil. Dan usaha yang tulus, meski kecil, tak akan pernah sia-sia di sisi Allah.

Maka setiap langkah kakek itu adalah doa yang berjalan. Setiap tetesan hujan yang jatuh di tubuhnya menjadi saksi bahwa ia tidak menyerah. Ia tidak mengeluh, ia tidak berhenti, ia hanya terus melangkah. Dari langkah-langkah kecil itu, kita belajar arti istiqamah—konsistensi dalam kebaikan meski dalam keterbatasan.

Jika direnungkan, langkah kakek itu jauh lebih berharga daripada langkah banyak orang muda yang kuat tapi malas. Karena keteguhan bukan diukur dari kekuatan otot, tapi dari keberanian hati. Ia bukan sekadar berjalan, tapi mengajarkan kita: selama masih ada nafas, masih ada ikhtiar.

Refleksi untuk Kita Semua


Kisah ini seharusnya membuat kita bercermin. Berapa banyak dari kita yang masih muda, sehat, dan kuat, tapi gampang menyerah? Kadang kita merasa dunia tidak adil hanya karena gagal sekali atau dua kali melamar pekerjaan. Padahal di luar sana, seorang kakek renta masih menolak menyerah, meski tubuhnya sudah hampir tak sanggup.

Ironisnya, banyak anak muda justru memilih jalan instan. Ada yang larut dalam judi online, berharap rezeki datang dalam sekejap. Ada yang gengsi bekerja di sektor kecil, lebih memilih menganggur daripada berjualan sederhana. Padahal, martabat sejati justru ada dalam ikhtiar yang jujur, meski tampak kecil di mata orang lain.

Di titik ini kita diingatkan: martabat dalam mencari nafkah lebih mulia daripada menyerah. Tak ada yang hina dari profesi sederhana, asalkan halal. Yang hina adalah jika kita memilih berhenti berusaha, lalu menggantungkan hidup pada belas kasihan atau jalan curang. Kakek itu mengajarkan: lebih baik langkah kecil yang jujur, daripada jalan pintas yang menjerumuskan.

Keterbatasan fisik memang nyata. Usia senja membuat tubuh ringkih, daya tahan melemah, sendi sakit. Tapi keterbatasan fisik tidak pernah menghalangi keluasan jiwa. Semangat yang besar bisa membuat langkah kecil berarti. Inilah pelajaran yang jarang kita sadari: bahwa hati yang teguh lebih berharga daripada tubuh yang kuat.

Selain itu, istiqamah jauh lebih berharga daripada hasil instan. Kita hidup di zaman serba cepat, di mana semua orang ingin segera sukses. Tapi kisah kakek itu mengingatkan, keberhasilan sejati tidak lahir dari jalan pintas. Ia lahir dari keteguhan langkah, meski lambat, tapi pasti.

Sejarah juga penuh kisah orang yang sukses karena istiqamah. Banyak ulama besar yang lahir dari kesederhanaan, tapi tetap tekun belajar. Banyak pengusaha yang memulai dari nol, tapi tidak pernah berhenti mencoba. Kakek itu, meski bukan tokoh besar, adalah bagian dari barisan teladan yang menunjukkan: istiqamah itu kunci.

Nilai universal yang kita tangkap adalah ini: ketekunan adalah pondasi harapan. Tanpa ketekunan, harapan hanya tinggal angan-angan. Dengan ketekunan, bahkan keterbatasan bisa melahirkan kekuatan. Hujan yang deras sekalipun tidak mampu menghentikan orang yang hatinya teguh.

Dari sisi psikologi, orang yang istiqamah memiliki daya tahan mental lebih kuat. Mereka tidak mudah goyah oleh kegagalan atau kesulitan. Justru tantangan membuat mereka semakin tangguh. Kakek itu mungkin tidak tahu teori psikologi, tapi ia mempraktikkannya: melangkah terus, meski lambat, meski berat.

Dari sisi spiritual, tawakkal lahir setelah ikhtiar teguh. Allah menolong hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Langkah kakek itu adalah tawakkal yang hidup—percaya kepada Allah, tapi tidak berhenti berusaha. Inilah keseimbangan indah antara iman dan ikhtiar.

Mari kita bertanya pada diri sendiri: sudahkah kita menjaga martabat dalam mencari rezeki? Atau jangan-jangan kita lebih banyak mengeluh, mencari alasan, dan menunda? Kisah kakek itu seharusnya membuat kita malu. Jika beliau saja tidak menyerah, mengapa kita yang lebih muda mudah sekali putus asa?

Inilah ajakan transformasi: jangan gampang mengeluh, jangan cepat menyerah. Belajarlah dari kakek tua itu. Setiap langkah kecil bisa berarti besar jika dijalani dengan istiqamah. Jangan menunggu kesempatan emas, mulailah dari langkah sederhana.

Maka, di bawah hujan deras itu, kakek tua mengajarkan kita arti sebuah perjuangan. Usia senja bukan alasan untuk berhenti, hujan bukan alasan untuk menyerah. Langkah-langkah kecilnya adalah cahaya harapan yang menembus gelapnya dunia. Dan dari sana kita belajar: istiqamah adalah napas kehidupan.


Share This