• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Ketika Dagangan Belum Laku, Tiba-tiba Turun Hujan Deras

Wali Umat – Sepasang suami istri beserta dua anaknya yang masih kecil, terekam video sedang membereskan lapaknya, agak tergesa lantara hujan deras mengguyur tiba-tiba. Nampak, toples-toples yang berisi toping minuman masih belum habis. Masalahnya, bisa jadi, andalan sumber pengahasilan mereka hari ini mengandalkan hasil penjualan dagangannya. Kalau sudah hujan, mana mau pembeli datang?

Kalau kamu pernah berada di posisi itu, wajar jika kamu kesal atau bahkan sedikit marah. Perihnya bukan hanya karena dagangan tak laku, tapi karena ada harapan yang terpaksa dihempas arus realita. Uang sekolah anak, cicilan dapur, kebutuhan rumah—semuanya menanti, tapi langit seakan mengunci semua peluang rezeki hari itu. Wajar kalau ada rasa kesal. Wajar kalau kita bertanya dalam hati: “Ya Allah, kenapa sekarang?”

Namun, pertanyaan itu tak selamanya harus dijawab dengan keluhan. Sewajarnya, kita ikuti dengan jeda sejenak. Tarik napas, terus kita coba dari dari sisi lain. Siapa tahu, hujan bukan untuk menghambat rezeki, tapi sedang menghalangi musibah. Bisa jadi, memang bukan pembeli yang datang hari ini, tapi pelajaran berharga yang lebih mahal dari rupiah yang tak sempat masuk kantong.

Dalam psikologi, kekecewaan muncul saat kenyataan tidak sesuai harapan. Pasangan itu berharap dagangan laris sebelum hujan datang. Namun, ketika realita berkata lain, sistem dalam tubuh manusia bereaksi. Frustrasi muncul, lalu muncul emosi seperti kesal, sedih, dan marah. “Teori Cognitive Appraisal” dari Richard Lazarus menyebut bahwa emosi muncul dari cara kita menilai peristiwa, bukan dari peristiwa itu sendiri. Maka, andai pasangan itu menilai hujan sebagai bentuk ujian dari Allah, bukan penghalang rezeki, mungkin mereka akan duduk lebih tenang.

Dalam Islam, tidak ada satu pun peristiwa di dunia ini yang luput dari ketetapan Allah. Setiap tetes hujan, setiap langkah yang tertunda, setiap pembeli yang urung datang—semuanya ada dalam rencana-Nya. Allah berfirman:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ ٱللَّهِ

"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah." (QS. At-Taghabun: 11)

Tentu saja, kita ingin semua proses dapat berjalan sesuai rencana. Namun, kadang, Allah Swt. justru menguji kita di saat yang tak terduga agar kita belajar menerima. Dengan begitu, kita dapat menyadari, dalam hidup ini tidak ada kendali mutlak dan ada kekuatan besar yang mengatur semesta ini – ialah Allah Swt. Rabbul Izzati, termasuk “sekrenario” kita di suatu hari. Saat hujan turun, kita tak bisa menghentikannya, tapi kita bisa memilih cara meresponsnya: marah atau berserah.

Mengubah Keluh Menjadi Ridho

Ridho terhadap Takdir Allah Swt. bukan berarti kita tak boleh berharap. Justru, ridho adalah cara jalan menerima kenyataan sambil tetap menggantungkan harapan hanya pada Allah. Nabi ﷺ bersabda:

مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ

"Apa yang menimpamu tidak akan pernah meleset darimu, dan apa yang meleset darimu tidak akan pernah menimpamu." (HR. Tirmidzi No. 2516)

Ketika seseorang tidak ridho terhadap takdir, bukan hanya spiritualitasnya yang terancam, tapi juga kesehatan mentalnya. Kekecewaan berkepanjangan bisa melahirkan stres kronis. Psikolog menyebut ini sebagai rumination—mengulang-ulang pikiran negatif tanpa solusi. Efeknya? Susah tidur, tekanan darah meningkat, hingga penurunan imunitas tubuh.

Sebaliknya, orang yang ridho pada takdir dapat menguatkan mental sehingga meningkatkan resiliensi. Mereka lebih cepat bangkit, lebih tenang dalam menghadapi cobaan, dan punya kekuatan spiritual yang tak bisa dibeli. Dalam positive psychology, konsep ini dikenal dengan istilah acceptance—kemampuan menerima tanpa kehilangan motivasi untuk terus melangkah.

Allah Swt. memberikan jaminan luar biasa bagi hamba-Nya yang ridho terhadap ketetapan-Nya. Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan:

إِذَا رَضِيْتَ بِمَا قَسَمْتُ لَكَ، أَرَحْتُ قَلْبَكَ وَبَدَنَكَ، وَكُنْتَ عِنْدِي مَحْمُوْدًا

"Jika engkau ridho dengan apa yang Aku tetapkan bagimu, maka Aku akan menenangkan hatimu dan tubuhmu, dan engkau akan menjadi hamba-Ku yang terpuji." (HR. Al-Hakim)

Ada banyak kisah inspiratif dari orang-orang terdahulu yang ridho saat menghadapi ujian berat. Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah berkata:

"Aku tidak peduli dalam keadaan apa pun aku bangun pagi: dalam keadaan yang aku sukai atau aku benci. Karena aku tidak tahu mana di antara keduanya yang lebih baik bagiku."

Lihatlah, bahkan para sahabat tidak menganggap nikmat itu hanya datang dalam bentuk kesenangan. Kadang, justru kesempitan adalah jalan untuk membuka pintu nikmat yang lebih besar.

Saat hujan turun di atas dagangan yang belum laku, kita punya dua pilihan: mengutuk keadaan, atau mengubahnya menjadi ladang pahala. Kita bisa berkata, “Yah, batal jualan,” atau kita bisa bilang, “Alhamdulillah, mungkin Allah sedang ingin aku istirahat sebentar.”


Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir menelaskan, Allah Swt. menguji manusia bukan karena benci, namun justru karena cinta. Dengan ujian, Allah Swt. justru ingin mengangkat derajat hamba-Nya. Kalau kita menganggap ujian datang karena dosa, nyatanya tak seperti itu karena ujian kadang darang karena Allah Swt. ingin hamba-Nya mendekat dengan cara merintih pada-Nya..

Bayangkan kalau Allah jawab:

“Aku turunkan hujan bukan untuk menghambat rezekimu, tapi untuk membersihkan niatmu, agar kamu tahu bahwa yang menentukan bukan pelanggan, tapi Aku.”

Kalau kita renungkan, bisa jadi saat hujan turun dan dagangan belum laku, Allah Swt. sedang menyiapkan pintu rezeki lain yang tak kita sangka. Mungkin nanti ada pelanggan borongan. Mungkin nanti hati kita jadi lebih dekat pada Allah Swt. atau mungkin, kita hanya butuh jeda untuk menyadari bahwa rezeki yang paling besar adalah hati yang masih bisa bersyukur.

Maka, jangan biarkan gerimis menghapus harapan. Jangan biarkan mendung meredupkan semangat. Allah tahu kapan rezeki terbaik itu datang. Dan saat waktunya tiba, tak ada hujan, angin, atau kabut yang bisa menghalanginya. Sebagaimana Allah berfirman:

وَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًٔا وَهُوَ خَيْرٌۭ لَّكُمْ

"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu." (QS. Al-Baqarah: 216)

Hari ini dagangan boleh sepi, tapi siapa tahu, di baliknya, tertulis adegan, di mana keberkahan yang belum sempat kita paham beradai. Bisa jadi, Allah Swt. sedang menanam pohon rezeki yang nanti akan tumbuh saat hati kita siap memetiknya.

Kita cukup fokus pada usaha yang terbaik, dan biarkan Allah Swt. yang menyempurnakan hasilnya. Kalau hari ini kita belum bisa jual habis semua barang, setidaknya kita bisa pulang membawa hati yang tetap bersih dari keluhan.

Bukankah itu juga rezeki?

Semoga saat hujan berikutnya turun, bukan hanya payung yang kita siapkan, tapi juga hati yang lapang. Bukan hanya lapak yang kita jaga, tapi juga keyakinan bahwa rezeki itu sudah ditulis—tinggal kita menjemputnya, dengan kerja keras dan hati yang ridho.

Kalau begitu, mari kita ulangi dalam hati:

"Ya Allah, kalau hujan ini adalah takdir-Mu, maka aku menrimanya. Jika rezekiku belum datang hari ini, maka aku percaya: Kau sedang menyiapkannya di saat diriku dalam kondisi jiwa yang lebih baik."


Share This