Ketika Cinta Tetap Bekerja: Kisah Sepasang Lansia Penjual Cimol yang Mengajarkan Kita Arti Keteguhan
Wali Umat - Ssepasang suami-istri lanjut usia setiap sore menyiapkan bahan-bahan cimol mereka di teras rumah sempitnya. Tangan mereka sudah bergetar, pinggang mulai sering memaksa untuk disandarkan, tapi mereka tetap menyalakan kompor dengan ketekunan khas orang yang sudah lama sekali berdamai dengan hidup. Tidak ada keluhan yang keluar dari mulut keduanya, hanya percakapan kecil tentang cuaca, harga minyak goreng, atau sekadar “hari ini kita kuat jualan, ya.” Sambil merapikan bumbu dan plastik pembungkus, mereka seperti sedang merapikan langkah-langkah hidup yang belum ingin berhenti.
Di balik gerobak mereka, dunia yang besar terasa mengecil: cukup antara adonan, minyak, pelanggan, dan doa. Tak ada kamera, tak ada panggung motivasi, tak ada ucapan manis. Yang ada hanya dua manusia yang sudah terlalu lama tahu bahwa hidup bukan tentang menjadi cepat atau kuat—tapi tentang bertahan. Dan di antara seluruh bentuk perjuangan, bertahan di usia senja mungkin adalah babak paling sunyi sekaligus paling berharga.
Suami-istri itu tidak sedang mengejar kekayaan, apalagi popularitas. Mereka hanya ingin tetap mandiri, tetap bisa membeli beras sendiri, tetap menjadi subjek dalam hidupnya sendiri. Di dunia di mana banyak orang berteriak soal “financial freedom”, mereka justru menunjukkan bentuk kebebasan yang lain: kebebasan untuk tidak merepotkan orang lain, sejauh yang mereka mampu. Sebuah kebebasan yang lahir dari cinta yang sudah menua, tapi tidak pernah menyusut.
Ada sesuatu yang selalu menggetarkan ketika melihat lansia berdagang. Ada rasa haru, tetapi juga rasa bersalah sosial yang ikut muncul. Karena kita tahu, tak seharusnya tubuh setua itu masih harus berdiri berjam-jam di depan penggorengan, berjuang melawan panas dan asap. Namun dalam pandangan mereka, yang kita sebut “berat” mungkin justru yang paling membuat mereka merasa hidup.
Dalam Islam, ada istilah ‘izzah—martabat. Dan terkadang, cara mempertahankan martabat itu bukan dengan menjadi kaya, tetapi dengan tetap berdaya. Pasangan lansia ini tidak meminta-minta, tidak mengeluh, dan tidak menggantungkan hidup pada iba orang lain. Mereka memilih jalannya sendiri, pelan dan melelahkan, tetapi tetap terhormat. Dan di situlah keindahan kisah mereka pelan-pelan muncul.
Keteguhan, Rasa Aman, dan Pelajaran yang Kita Lupakan Pelan-Pelan
Ketika satu demi satu pelanggan datang, suami-istri itu saling mengisi peran. Sang suami mengaduk adonan, memotong porsinya, lalu memasukkan ke minyak panas dengan hati-hati. Sang istri meracik bumbu, melayani pembeli, dan menyelipkan senyum kecil yang mungkin tidak pernah mereka sadari dicari orang. Kekompakan ini bukan kekompakan yang dibangun dalam tiga tahun pernikahan, melainkan puluhan tahun hidup bersama—dari masa muda hingga tubuh rapuh.
Dalam hubungan suami-istri ini, kita menemukan sesuatu yang jarang kita temukan di era sekarang: kesetiaan yang aktif, bukan pasif. Kesetiaan yang tidak hanya berkata “aku menemanimu”, tetapi “aku bekerja bersamamu”. Kesetiaan yang mengikat dua orang bukan lewat kata-kata indah, tetapi lewat minyak panas, keringat, dan rasa lelah di kaki. Kesetiaan yang sudah tidak membutuhkan alasan.
Banyak dari kita tumbuh dalam budaya yang memisahkan cinta dari kerja keras. Kita diajarkan bahwa cinta itu kelembutan, pelukan, hadiah, atau kata manis. Tapi pada pasangan lansia ini, cinta hadir dalam bentuk paling realistis: mengangkat kompor, mengupas bawang, menakar adonan, dan menutup gerobak bersama. Cinta mereka tidak retoris; cinta mereka fungsional.
Lalu apa pesan utamanya? Bahwa cinta yang bertahan adalah cinta yang bekerja, bukan hanya cinta yang merasakan. Dan ketika cinta bekerja, ia tidak mengenal usia. Di usia 70-an atau 80-an sekalipun, suami-istri ini masih menjadi partner hidup yang saling menguatkan. Tidak ada kata “sudah selesai”; mereka tidak mengundurkan diri dari peran masing-masing.
Di sinilah letak ironi sosial muncul: ketika banyak anak muda enggan bekerja keras atau mudah sekali menyerah, dua lansia ini justru tetap berdiri. Dunia seolah terbalik. Yang seharusnya istirahat, malah bekerja. Yang seharusnya bekerja, sering kali sibuk mengeluh. Pasangan tua ini seperti cermin yang memantulkan kembali kelemahan generasi yang terlalu cepat merasa lelah.
Namun artikel ini tidak dimaksudkan untuk menggurui atau menyalahkan generasi mana pun. Yang ingin diangkat adalah bahwa kisah ini mengandung sebuah seruan sunyi: kita membutuhkan lebih banyak cinta yang bertahan, lebih banyak keteguhan, lebih banyak kerja keras yang tidak didramatisasi. Kita membutuhkan lebih banyak energi yang tidak cepat menyerah.
Apa yang membuat kisah ini inspiratif bukan hanya ketekunan mereka dalam mencari nafkah, tetapi bagaimana mereka melakukannya berdua, seiring sejalan. Dalam banyak hubungan modern, pasangan sering terjebak pada “pembagian peran” yang kaku. Tetapi bagi dua lansia ini, peran mereka sangat sederhana: yang kuat membantu yang lemah, yang sempat membantu yang sibuk, dan yang sanggup mengisi celah yang kosong.
Dari sudut Islam, ini adalah bentuk rahmah—kasih sayang yang aktif. Rahmah tidak hanya memeluk; rahmah memikul. Rahmah tidak hanya menghibur; rahmah menopang. Dan rahmah hanya bisa hadir pada hati yang tidak sibuk menghitung. Pasangan ini sudah terlalu tua untuk berhitung; mereka hanya ingin tetap bersama dalam pekerjaan kecil yang mereka yakini bernilai.
Fenomena ini menjadi semakin menyentuh ketika kita melihat kebalikannya: banyak orang tua yang hidup sendiri, terabaikan, atau tidak dihormati di masa tua mereka. Banyak yang harus tinggal di panti jompo, bukan karena ingin, tetapi karena tidak ada pilihan. Dalam kontras inilah, pasangan lansia penjual cimol ini justru tampak seperti cahaya kecil di tengah redupnya budaya merawat orang tua.
Kita juga melihat kontras lain: banyak pasangan muda yang cepat menyerah ketika kondisi ekonomi sulit. Sebaliknya, dua lansia ini tetap bekerja sama—tanpa konflik, tanpa drama, tanpa perhitungan. Seolah mereka bertanya kepada kita: “Kalau kami yang sudah setua ini masih bisa mengusahakan sesuatu bersama… kenapa kalian yang masih muda begitu mudah mengatakan ‘tidak bisa’?”
Kisah ini mengajarkan bahwa kemandirian bukan sekadar kemampuan finansial, tetapi keberanian untuk mencoba. Banyak orang ingin sukses, tapi tidak semua memiliki keteguhan untuk tetap turun ke jalan ketika usia sudah tak lagi bersahabat. Pasangan ini membuktikan bahwa kemandirian adalah sikap, bukan fase hidup.
Jika kita melihat lebih dalam, kita akan menemukan lapisan lain dari kisah ini: pasangan lansia ini sebenarnya tidak hanya berdagang cimol… mereka menjaga martabat mereka. Mereka ingin mati sebagai pejuang, bukan sebagai beban. Dan mungkin, itu adalah bentuk tertinggi dari kehormatan manusia.
Ketika kita menyaksikan video mereka, ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Bukan iba, tetapi rasa hormat. Kita seakan melihat sesuatu yang sudah langka: dua manusia yang tetap berjuang, bukan karena terpaksa, tapi karena karakter mereka memang terbentuk dari keteguhan panjang. Mereka bukan sekadar menjual makanan; mereka sedang mempertahankan makna hidup.
Di sinilah letak nilai transformasi artikel ini: pembaca bukan hanya dijejali kisah menyentuh, tetapi diajak bertanya pada diri sendiri, “Apa yang membuatku menyerah selama ini?” Kisah ini bisa menjadi tamparan lembut—sejenis panggilan untuk bangkit, atau setidaknya, untuk tidak mudah mengeluh.
Selain itu, kisah ini juga mengajak pembaca lebih peduli pada isu lansia. Banyak yang kita lupakan: bahwa menjadi tua itu tidak selalu berarti tenang. Banyak lansia yang ingin tetap berdaya, tetap bekerja, tetap bermanfaat, tetapi lelah untuk menuntut perhatian. Dan melalui sepasang penjual cimol ini, kita diingatkan kembali untuk membuka mata.
Di sisi lain, kisah ini juga berbicara tentang solidaritas sosial. Banyak pelanggan yang sebenarnya membeli bukan hanya karena ingin jajan, tetapi karena ingin membantu. Dan itu sah. Solidaritas kecil itu adalah bagian dari akhlak masyarakat yang mulai memudar—dan perlu dikembalikan.
Kisah ini, pada akhirnya, bukan tentang cimol. Cimol hanyalah medium. Kisah ini adalah tentang dua manusia yang memutuskan untuk tetap saling menopang, meski tubuh tidak lagi sekuat dulu. Tentang kerja keras yang tidak pamer. Tentang cinta yang tidak berisik. Tentang keteguhan yang tidak menuntut panggung.
Kita hidup di era di mana cinta sering diukur dari grand gesture, foto prewedding, atau momen romantis. Pasangan lansia ini tidak punya itu semua. Tetapi mereka punya sesuatu yang jauh lebih penting: komitmen yang bertahan hingga akhir. Komitmen yang tidak goyang oleh usia, ekonomi, atau keadaan.
Dan dari sinilah pembaca bisa mengambil pelajaran: bahwa cinta yang sesungguhnya tidak pernah berhenti bekerja. Cinta tidak pensiun. Cinta tidak menua. Yang menua hanya tubuhnya. Bila dua lansia ini saja masih bisa menunjukkan cinta lewat kerja keras, mengapa kita yang jauh lebih muda tidak?
Pada akhirnya, pasangan penjual cimol ini mengingatkan kita bahwa hidup bukan tentang seberapa keras kita berlari, tetapi seberapa bertahan kita melangkah. Dan bahwa cinta yang paling kuat adalah cinta yang tetap bekerja, bahkan ketika tenaga hampir habis. Kisah mereka adalah undangan sunyi bagi kita semua untuk kembali belajar menjadi manusia yang lebih lembut, lebih teguh, dan lebih peduli.
Language
Indonesia
English
Arabic