• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Keteguhan Pak Ahmad Mengayuh Becak di Tengah Parkinson

Wali Umat – Di sebuah sudut pasar yang mulai ramai menjelang pagi, tampak seorang lelaki renta duduk di atas becak tuanya. Tubuhnya bergetar, tangan yang menggenggam stang becak tak pernah berhenti bergetar kecil, tanda penyakit yang telah lama bersarang dalam dirinya. Dialah Pak Ahmad, seorang pengayuh becak berusia lanjut yang kini hidup berdampingan dengan Parkinson. Meski tubuhnya rapuh, semangatnya untuk mencari nafkah tidak pernah pudar.

Pak Ahmad bukanlah orang yang tiba-tiba jatuh sakit begitu saja. Tiga tahun lalu, sebuah kecelakaan menimpa dirinya. Ia sempat koma selama beberapa hari, hingga keluarga bahkan sempat mengira ajalnya sudah dekat. Namun, Allah masih memberinya umur, meski dengan kondisi saraf yang rusak. Sejak saat itu, tremor atau getaran di sekujur tubuhnya menjadi teman yang setia menemaninya.

Sakit itu membuat hampir seluruh aktivitasnya berubah. Tangan tak lagi bisa ia kontrol dengan baik, langkah kakinya gemetar, dan tubuhnya tak stabil ketika berdiri lama. Namun yang paling terasa, adalah ketika ia kembali mengayuh becaknya. Kayuhan yang dulu gagah dan cepat, kini menjadi pelan, tertatih, dan jauh tertinggal dibanding pengayuh becak lain. Tapi Pak Ahmad tidak pernah mengeluh. Ia hanya menghela napas, lalu kembali mengayuh sebisanya.

Setiap pagi, Pak Ahmad mengayuh becaknya ke pasar dekat rumahnya. Di situlah ia menanti rezeki, berharap ada seorang penumpang yang berbelas kasih mau naik becaknya. Tapi sering kali, orang lebih memilih becak lain, yang kayuhannya lebih cepat atau yang bahkan sudah dimodifikasi dengan mesin motor. Sementara Pak Ahmad hanya bisa tersenyum pahit, meski hatinya terluka. Ia tahu, penumpang ingin cepat sampai, dan ia tak bisa memberikan itu lagi.

Hari-harinya pun sering sepi. Ada waktu-waktu di mana ia menunggu seharian tanpa satu pun penumpang. Bahkan pernah, ia duduk menanti hingga malam, lalu pulang dengan kantong kosong. Namun keesokan harinya, tubuhnya yang gemetar tetap ia paksakan untuk kembali ke pasar. Ada sesuatu dalam dirinya yang berkata: rezeki ada di tangan Allah, bukan di tangan manusia.

Meski banyak orang menolak jasanya, Pak Ahmad tidak menyerah. Ia tahu bahwa hidup tidak akan pernah lunak hanya karena ia sakit. Kebutuhan hidup tetap berjalan, beras tetap harus dibeli, dan tagihan tetap menunggu. Maka, meski tubuhnya penuh keterbatasan, ia memilih jalan terhormat: berusaha sekuat tenaga, selagi masih ada nafas yang Allah titipkan.

Sakitnya memang membuatnya kalah dalam banyak hal, tapi hatinya tetap menang. Ia tidak kalah oleh rasa malas, tidak kalah oleh keputusasaan, dan tidak kalah oleh godaan untuk berhenti berusaha. Seakan-akan, di balik tubuhnya yang gemetar, ada sebuah kekuatan yang justru semakin kuat. Itulah kekuatan seorang manusia yang bersandar pada ikhtiar.

Di akhir hari, ketika ia pulang tanpa penumpang sekalipun, wajahnya tetap menyimpan ketabahan. Orang yang melihatnya mungkin hanya menemukan seorang pengayuh becak tua yang tak lagi lincah. Namun jika mau menatap lebih dalam, mereka akan menemukan jiwa besar yang tetap memilih berjuang. Pak Ahmad adalah potret manusia yang tubuhnya dikalahkan sakit, tetapi jiwanya menang melawan keputusasaan.

Ikhtiar yang Tak Pernah Padam


Kisah Pak Ahmad memberi kita sebuah cermin: betapa seringnya orang yang sehat menyerah lebih cepat daripada mereka yang sakit. Kita, dengan tubuh yang utuh dan tenaga yang kuat, terkadang mudah beralasan. Ada yang berkata pekerjaan sulit, peluang terbatas, atau hidup tidak adil. Namun di seberang jalan, seorang lelaki dengan Parkinson tetap duduk menanti penumpang, tanpa pernah berhenti mencoba.

Inilah nilai universal yang begitu kuat: martabat manusia ada pada kerja kerasnya, bukan pada hasil yang ia peroleh. Orang mungkin memandang becak tua Pak Ahmad dengan iba, tapi di balik itu ada harga diri yang ia jaga. Ia tidak meminta belas kasihan, ia tidak menggantungkan hidup pada uluran tangan orang lain. Ia memilih untuk tetap berusaha, meski hasilnya seringkali tak seberapa.

Islam mengajarkan bahwa ikhtiar adalah bagian dari iman. Nabi ﷺ bersabda: “Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah.” Artinya, kita tidak boleh hanya pasrah tanpa usaha. Pak Ahmad telah menunjukkan dengan tubuhnya yang sakit bahwa selama nyawa masih ada, ikhtiar harus tetap dijalankan. Allah-lah yang menentukan rezeki, tapi kewajiban manusia adalah mengetuk pintu itu dengan kerja keras.

Parkinson memang melemahkan tubuh, namun tidak bisa mematahkan semangat. Sakit hanyalah ujian, bukan akhir dari segalanya. Banyak orang yang sehat tapi kehilangan arah hidupnya, sementara Pak Ahmad dengan tubuh gemetar tetap tahu apa yang harus ia lakukan setiap hari. Ia tahu: bekerja adalah caranya menjaga harga diri, dan diam berarti menyerah pada keadaan.

Kisah ini juga mengingatkan kita tentang nikmat syukur. Betapa sering kita lupa menghargai tubuh yang sehat, kaki yang kuat, atau tangan yang bisa bekerja tanpa gemetar. Sementara Pak Ahmad, dengan segala keterbatasannya, tetap mensyukuri apa yang ada padanya. Ia tidak mengeluh, tidak menyalahkan takdir, justru ia bersyukur masih diberi tenaga untuk mengayuh becak meski pelan.

Di sisi lain, kisah Pak Ahmad juga membuka mata tentang realitas sosial. Betapa kerasnya hidup bagi mereka yang ada di lapisan bawah, yang bekerja dengan tenaga kasar dan alat sederhana. Masyarakat sering lupa bahwa ada manusia-manusia kecil yang berjuang mati-matian demi sesuap nasi. Kita sibuk dengan kecepatan, efisiensi, dan teknologi, hingga lupa ada orang seperti Pak Ahmad yang masih mengayuh becak dengan peluh.

Namun jangan salah, kerja kecil tidak berarti nilai kecil. Justru dalam kerja sederhana itulah pahala besar bisa tersembunyi. Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa sebaik-baiknya makanan adalah yang diperoleh dari hasil kerja tangan sendiri. Maka, ketika Pak Ahmad tetap bekerja meski sakit, ia sedang meneladani sunnah besar: mencari nafkah dengan usaha sendiri, bukan dengan menggantungkan hidup pada orang lain.

Dari sisi psikologi, kerja keras juga punya makna lebih dari sekadar uang. Ia memberi rasa kendali, harga diri, dan tujuan. Itulah mengapa Pak Ahmad terus bangun pagi, meski sering pulang tanpa hasil. Ia tahu, dengan bekerja, ia tetap menjadi manusia yang berguna. Dan rasa itu jauh lebih berharga daripada uang yang ia peroleh.

Inspirasi terbesar dari Pak Ahmad adalah bahwa bekerja bukan sekadar untuk mengisi perut. Ia adalah cara menjaga martabat, cara mengajarkan anak-anaknya tentang arti tanggung jawab, dan cara memberi teladan bagi orang lain. Dengan becak tuanya, ia memberi pelajaran tentang arti istiqamah: terus berusaha tanpa pernah berhenti.

Kisah ini sekaligus menjadi ajakan bagi kita. Mari lebih menghargai orang-orang kecil di sekitar kita. Jangan remehkan tukang becak, pedagang kecil, atau pekerja kasar. Mereka mungkin tidak memiliki banyak harta, tapi mereka punya martabat yang dijaga dengan keringatnya. Sikap hormat sekecil apa pun bisa menjadi dukungan yang berarti bagi mereka.

Lebih dari itu, kisah ini adalah ajakan spiritual. Janganlah kita mudah menyerah hanya karena cobaan kecil. Jangan kalah oleh tantangan yang masih bisa dihadapi. Belajarlah dari Pak Ahmad, yang meski tubuhnya goyah, semangatnya tetap tegak. Itulah mujahadah, kesungguhan dalam berjuang, yang dalam Islam dipandang sebagai jalan menuju ridha Allah.

Akhirnya, semoga kita semua bisa belajar dari sosok pengayuh becak ini. Bahwa hidup adalah tentang ikhtiar, bukan menyerah. Bahwa tubuh boleh rapuh, tapi semangat harus tetap hidup. Bahwa pekerjaan kecil bisa punya nilai besar jika dijalankan dengan keikhlasan. Semoga Allah memberi kita kekuatan untuk menyalin semangat Pak Ahmad, dan menjadikan kita hamba-hamba yang selalu teguh dalam ikhtiar, hingga akhir hayat.


Share This