Inspirasi Dari Penjual Dompet: Harta Belum Banyak, Tapi Tetap Bisa Tidur Nyenyak

Wali Umat – Di tengah hiruk-pikuk pasar menjelang hari raya Idul Fitri di tahun ini, di antara suara pedagang yang saling berseru dan deru langkah pembeli yang sibuk mencari kebutuhan Lebaran, seorang pria tua terlihat tertidur di sudut lapaknya. Ia seorang penjual dompet. Jongkonya kecil dan sederhana; tak ada spanduk mencolok, tak ada diskon besar-besaran, hanya deretan dompet dan sabuk kulit yang disusun rapi di emperan toko.
Yang menarik bukan hanya kesepiannya, tapi ketenangannya. Di saat toko-toko lain ramai, dia tertidur nyenyak di bawah sinar matahari yang mulai miring. Saat terbangun, tak tampak gelisah sedikit pun, padahal pembeli nyaris tak menyentuh dagangannya. Mungkin bagi orang lain, itu adalah hari yang buruk, tapi bagi pria itu, hari itu masih terlalu baik untuk dirisaukan.
Orang yang melintas mungkin bertanya dalam hati: bagaimana mungkin seseorang bisa tidur pulas di tengah ketidakpastian seperti ini? Padahal, sebagian orang yang rumahnya tiga lantai dan mobilnya dua, malah setiap malam harus terjaga karena gelisah. Mereka berguling-guling di atas kasur empuk, tapi kepala mereka berat oleh angka, target, dan rasa takut kehilangan pelanggan.
Fenomena ini bukan dongeng. Menurut studi dari American Psychological Association (APA), tingkat gangguan tidur justru meningkat drastis pada kalangan pengusaha dan orang-orang berpenghasilan tinggi. Alasannya? Stres, tekanan sosial, dan kecemasan kompetitif. Mereka punya segalanya, kecuali yang paling berharga: tidur nyenyak.
Orang bisa membeli kasur Vividus dari Swedia, tapi tidak bisa membeli ketenangan. Kasur bisa dibeli, tapi pikiran damai tidak dijual. Banyak pengusaha besar menggunakan obat tidur tiap malam hanya untuk bisa memejamkan mata. Sebagian lainnya bahkan harus konsultasi psikolog hanya agar bisa "istirahat sejenak" dari pikiran-pikiran yang menyerbu saat lampu dipadamkan.
Faktanya, ketenangan sejati bukan milik mereka yang menang persaingan, tapi mereka yang berdamai dengan takdir. Penjual dompet yang tertidur itu, mungkin tidak punya omzet besar, tapi ia punya sesuatu yang lebih langka: pasrah, syukur, dan hati yang bersih dari iri. Inilah yang membuatnya bisa tertidur seperti bayi yang dipeluk ibunya.
Tidur nyenyak adalah salah satu indikator bahwa jiwa seseorang sehat. Dalam psikologi, kualitas tidur dipengaruhi oleh tingkat stres, beban pikiran, dan kemampuan seseorang untuk melepaskan kendali. Mereka yang terbiasa membandingkan hidupnya dengan orang lain, akan mudah terjebak dalam overthinking. Mereka terjaga bukan karena semangat, tapi karena gelisah.
Seandainya si penjual dompet itu membandingkan dirinya dengan pedagang sebelah yang dagangannya laris manis, lalu bertanya dalam hati, “Kenapa bukan aku?”, maka tidurnya takkan selelap itu. Karena perbandingan yang tak sehat melahirkan penyakit hati yang disebut hasad—iri yang tidak hanya menginginkan nikmat orang lain, tapi berharap nikmat itu hilang dari orang lain.
Hasad bukan sekadar perasaan negatif. Ia adalah racun. Ia menggerogoti ketenangan, menghancurkan syukur, dan menyalakan api dengki dalam dada. Dalam Islam, hasad adalah penyakit hati yang sangat dikecam. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ، فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ
"Waspadalah kalian terhadap hasad, karena hasad itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar." (HR. Abu Dawud, No. 4903)
Ibnu Qayyim al-Jauziyah menyebut hasad sebagai penyakit kronis yang menghantam tiga sisi manusia sekaligus: ruhani, akal, dan jasad. Hati orang yang hasad tak pernah puas. Ia gelisah melihat orang lain bahagia. Pikiran mereka terfokus bukan pada perbaikan diri, tapi pada jatuhnya orang lain. Dan tubuhnya pun turut lelah, karena stres dan marah yang tak kunjung reda.
Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menulis bahwa orang yang hasad hidup dalam neraka batinnya sendiri. Ia menyiksa diri dengan kenikmatan yang tidak pernah dia miliki. Ironisnya, dia tidak akan pernah merasa cukup sampai semua orang di sekitarnya gagal.
Lihatlah dunia bisnis hari ini. Bukan sedikit pengusaha besar yang tidak bisa tidur karena takut kalah bersaing. Mereka meluncurkan kampanye hitam, sabotase, bahkan menyuap agar kompetitor jatuh. Semua dilakukan demi mempertahankan posisi. Padahal posisi itu bukan milik mereka, melainkan hanya titipan dari Allah.
Contoh nyata bisa dilihat dari kasus besar seperti skandal Facebook–Cambridge Analytica, di mana demi mempertahankan dominasi pasar dan pengaruh, jutaan data pribadi pengguna dijual dan dimanipulasi. Ini bukan semata ambisi. Ini adalah ketakutan yang menjelma hasad dalam skala industri.
Saat hati terus membandingkan dan takut kalah, tidur pun jadi barang mewah. Maka di sinilah letak hikmah: kunci ketenangan bukan di kekuatan mengejar, tapi di kemampuan untuk berserah. Inilah yang tampaknya dimiliki oleh si penjual dompet tadi—bukan karena ia lemah, tapi karena ia tahu kapan harus pasrah.
Ketika Hati Menemukan Tempat Bersandar
Tawakkal bukan alasan untuk bermalas-malasan. Ia bukan pengganti usaha, tapi penutup kekhawatiran. Ketika seseorang telah bekerja keras, lalu menyerahkan hasilnya pada Allah Swt., di situlah tawakkal hidup. Jiwa yang bertawakkal tidak akan retak oleh hasil karena hatinya sudah yakin bahwa rezeki tidak pernah tertukar.
Tawakkal bukan teori kosong. Allah Swt. menjadikan tawakkal sebagai pintu ketenangan. Dalam QS. Al-Anfal ayat 10–11, Allah menjelaskan bagaimana ketenangan yang luar biasa diberikan kepada pasukan Muslim di perang Badar:
وَمَا جَعَلَهُ ٱللَّهُ إِلَّا بُشْرَىٰ وَلِتَطْمَئِنَّ بِهِۦ قُلُوبُكُمْ ۚ وَمَا ٱلنَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
إِذْ يُغَشِّيكُمُ ٱلنُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ ٱلشَّيْطَٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلْأَقْدَامَ
(Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu).
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa ketenangan yang Allah turunkan kepada para sahabat bukan berasal dari kekuatan fisik mereka, tapi dari keyakinan bahwa kemenangan itu ditentukan oleh Allah, bukan oleh jumlah pasukan. Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa tawakkal adalah jalan tercepat menuju ketenangan, karena hati tidak lagi bergantung pada dunia.
Tawakkal adalah ketika seseorang bisa berkata, “Aku sudah ikhtiar, sisanya milik Allah.” Dan orang seperti ini akan tetap tenang meski hasil tak sesuai harapan. Ia tidak akan iri saat orang lain lebih berhasil. Ia tidak akan marah saat rezekinya lambat datang. Karena hatinya sudah menemukan gantungan yang tidak pernah putus: Allah.
Banyak ayat lain yang menegaskan keutamaan tawakkal. Di antaranya:
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
"Barang siapa bertawakkal kepada Allah, maka cukuplah Allah sebagai penolongnya." (QS. At-Talaq: 3)
Dan Rasulullah ﷺ pun bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا يُرْزَقُ الطَّيْرُ، تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
"Jika kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki; ia pergi pagi hari dalam keadaan lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang." (HR. At-Tirmidzi, No. 2344)
Subhanallah. Jika seekor burung yang tidak punya toko, pabrik, atau investasi saja dicukupi oleh Allah Swt, bagaimana dengan manusia yang membawa tawakkal dalam hatinya?
Fokus pada Jatah Rezeki Kita Sendiri
Akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang lebih cepat sampai, tapi siapa yang tetap tenang dengan memilih jalan yang benar. Rezeki itu seperti hujan—turun sesuai waktu dan tak pernah salah alamat. Yang penting, kita berada di ladang yang siap menerima. Kita bekerja keras, memantaskan diri, lalu duduk tenang dalam payung tawakkal.
Penjual dompet itu, yang tertidur nyenyak di tengah sepinya pembeli, sedang mengajarkan kita sebuah ilmu mahal: bahwa bahagia itu bukan soal ramai atau sepi, laku atau tidak laku, tapi soal bagaimana hati memaknai usaha dan menerima keputusan Allah Swt. dengan lapang dada.
Jika begitu, tak perlu iiri pada rizki orang lain. Tak ada gunanya membandingkan pendapatan tokomu dengan toko sebelah. Dunia ini cukup luas untuk setiap orang mendapat bagian. Hasad hanya akan membuat langkahmu berat dan tidurmu terganggu. Sementara tawakkal akan membuat langkahmu ringan dan malammu pulas.
Kalau hari ini kamu masih bisa tidur dengan damai, jangan lupa syukur. Kalau belum bisa, barangkali bukan kasurmu yang perlu diganti, tapi cara pandangmu terhadap dunia. Mungkin Allah Swt. sedang mengajarkanmu: bahwa ketenangan bukan dari keadaan, tapi dari keyakinan.
Semoga kita semua bisa belajar tidur seperti si penjual dompet itu: bukan karena lelah tubuh, tapi karena lapangnya hati.