Bukan Sekadar Tisu, Ada Mimpi yang Terlelap di Pojok Toko Itu

Wali Umat – Lampu-lampu pertokoan berkedip riang, memantulkan gemerlapnya pada lantai marmer yang bersih. Deru tawa dan obrolan pengunjung bersahutan, menciptakan simfoni khas malam kota yang tak pernah tidur. Namun, di salah satu pojok, tersembunyi dari hiruk-pikuk lampu neon, ada sebuah potret yang membekukan waktu. Ini bukan sekadar kisah individu, tapi cermin realita yang harus kita pahami bersama.
Sesosok tubuh mungil, mungkin tak lebih dari 8 atau 9 tahun, meringkuk di lantai dingin. Punggungnya bersandar pada dinding kusam, kepalanya menunduk ke tangannya dengan lutut ditekuk, dan napasnya teratur dalam tidur yang begitu pulas. Di depannya, tersusun rapi beberapa tumpuk tisu, siap untuk ditawarkan kepada siapa saja yang melintas.
Tisu-tisu itu, yang seharusnya menjadi alat pembersih, kini menjelma saksi bisu dari sebuah realita yang pahit. Ia adalah seorang anak SD, di mana seharusnya ia berlarian di lapangan, berebut permen dengan teman-teman, atau merengek minta dibelikan mainan baru. Malam ini, "lapangannya" adalah pojok pertokoan, dan "permainannya" adalah menanti pembeli tisu.
Mungkin, sebelum terlelap, ia membayangkan sekolah esok hari, seragam bersih, dan buku-buku baru. Atau mungkin, ia hanya berharap dagangan tisunya laku, agar ada receh untuk sebungkus nasi. Tidurnya bukan tidur nyenyak anak-anak yang terlelap di kasur empuk, melainkan tidur seorang pejuang cilik yang menyerah pada kelelahan setelah seharian menantang kerasnya hidup. Kita seringkali abai akan sosok-sosok seperti ini di sekitar kita.
Kita melangkah cepat, melewati bayangan-bayangan kecil seperti dia, tanpa sempat menoleh, tanpa sempat bertanya. Padahal, di setiap tumpukan tisu yang tak terjual, ada mimpi yang tertunda. Di setiap helaan napasnya yang teratur, ada ketabahan yang tak bisa dibeli oleh apa pun.
Masa kanak-kanak seharusnya menjadi fase emas dalam kehidupan manusia. Ini adalah periode krusial di mana fondasi kepribadian, kognitif, dan emosional seseorang terbentuk. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang penuh kasih sayang, rasa aman, dan kesempatan tanpa batas untuk bermain, belajar, dan bereksplorasi. Kebutuhan dasar seperti nutrisi yang cukup dan istirahat yang berkualitas adalah pondasi vital.
Dalam psikologi perkembangan, fase ini sering disebut sebagai periode yang membentuk cetak biru masa depan seseorang. Para ahli seperti Erik Erikson dan Jean Piaget menekankan pentingnya lingkungan yang mendukung untuk perkembangan psikososial dan kognitif yang optimal. Anak-anak yang terpenuhi kebutuhannya akan tumbuh menjadi individu yang lebih resilient, kreatif, dan mampu berinteraksi positif dengan lingkungannya. Mereka belajar empati, memecahkan masalah, dan membangun rasa percaya diri.
Hak anak adalah pilar utama dalam idealita ini. Konvensi Hak Anak PBB secara tegas menyatakan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan, perlindungan dari eksploitasi, dan hak untuk bermain. Hak-hak ini bukan sekadar rekomendasi, melainkan standar universal yang harus dipenuhi untuk memastikan setiap anak memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara penuh. Sebuah lingkungan yang memfasilitasi hak-hak ini adalah prasyarat bagi generasi yang sehat dan tangguh.
Namun, realita seringkali jauh dari idealitas. Tidurnya anak itu di pojok pertokoan, bukan di ranjangnya yang hangat, adalah penanda paling jelas. Itu adalah simbol nyata bagaimana hak-hak dasarnya sebagai seorang anak terenggut. Ia seharusnya tidak perlu memikirkan mencari nafkah, apalagi sampai kelelahan dan terlelap di tempat umum. Kondisi ini adalah tamparan keras bagi idealisme kita tentang masa kanak-kanak.
Masa di mana ia seharusnya sibuk bermain peran, kini harus berperan sebagai pencari nafkah. Masa di mana ia seharusnya sibuk belajar abjad, kini harus belajar pahitnya hidup. Kontras yang tajam ini seharusnya menggugah kesadaran kita tentang betapa rapuhnya idealita itu di tengah kerasnya realita sosial.
Ketika Realita Menerjang Dini: Dampak dan Kesadaran Kolektif
Danang, penjual tisu yang tertangkap kamera sedang tidru di salahs atu pojokan toko, di daerah jalan Braga, Kota Bandung. Sumber: tangkapan layar postingan instagram wali umat
Ketika seorang anak terbentur realita keras sejak dini, ada sisi-sisi yang terkadang diabaikan. Anak-anak ini seringkali tumbuh dengan kemandirian yang luar biasa. Mereka mengembangkan daya juang dan kemampuan beradaptasi yang tak terpikirkan oleh anak-anak seusianya. Empati mereka terhadap sesama yang kesulitan juga bisa sangat mendalam, sebab mereka merasakan sendiri pahitnya perjuangan.
Namun, penting untuk memahami bahwa kekuatan ini muncul bukan karena mereka menginginkannya, melainkan karena terpaksa beradaptasi dengan kondisi yang tidak seharusnya. Ini bukan pujian, melainkan catatan getir tentang apa yang harus mereka korbankan. Ada harga mahal yang harus dibayar atas kemandirian dan ketabahan yang prematur itu.
Dampak negatif dari keterbenturan realita dini jauh lebih dominan dan melukai. Anak-anak yang menghadapi tekanan hidup berat sejak dini sangat rentan terhadap trauma dan stres kronis. Hal ini dapat bermanifestasi dalam kecemasan, depresi, dan kesulitan membentuk ikatan emosional yang sehat di kemudian hari. Pikiran mereka yang seharusnya fokus pada belajar, terpecah oleh beban hidup yang tak semestinya.
Secara kognitif, kondisi ini juga menghambat perkembangan optimal. Kesulitan konsentrasi di sekolah, keterlambatan dalam pemecahan masalah, dan penurunan performa akademis adalah konsekuensi yang sering terjadi. Otak yang sedang berkembang memerlukan stimulasi positif dan lingkungan yang stabil, bukan tekanan dan ketidakpastian terus-menerus. Ini menciptakan luka yang tersembunyi, tidak terlihat secara fisik namun mengikis batin.
Lebih jauh, anak-anak dalam kondisi ini memiliki risiko eksploitasi yang jauh lebih tinggi. Mereka rentan menjadi korban kejahatan, perdagangan manusia, atau penyalahgunaan dalam berbagai bentuk. Kondisi ini juga melanggengkan siklus kemiskinan, di mana anak-anak terpaksa mengikuti jejak orang tua mereka, terperangkap dalam lingkaran setan yang sulit diputus. Mereka kehilangan kesempatan untuk memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan.
Melihat potret anak itu, kita diajak untuk lebih dari sekadar berempati. Ini adalah panggilan untuk kesadaran umum. Masalah anak-anak yang terpaksa berjuang di jalanan bukan hanya tugas pemerintah atau segelintir LSM. Ini adalah tanggung jawab kolektif kita semua sebagai masyarakat, sebagai sesama manusia yang peduli.
Dalam ajaran agama kita, kepedulian sosial dan kasih sayang terhadap sesama, terutama yang lemah, adalah pilar keimanan. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ayat Al-Qur'an juga menegaskan, "Dan tidaklah kebaikan itu hanya pada memalingkan wajahmu ke arah timur dan barat, akan tetapi kebaikan itu ialah kebaikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta..." (QS. Al-Baqarah: 177).
Ini berarti, empati kita harus diterjemahkan ke dalam aksi. Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil: melihat, bertanya kabar dengan tulus, atau sekadar memberi senyum hangat kepada mereka yang berjuang di pinggir jalan. Jika ada rezeki lebih, membeli dagangan mereka dengan harga yang pantas adalah bentuk dukungan nyata.