• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Belanja di Warung Tetangga, Membantu Ketahanan Ekonomi Rakyat

Wali Umat – Di sudut gang yang tidak pernah sepi, aroma bumbu gulai dan rempah-rempah yang meruap dari warung milik Ibu Siti telah menjadi penanda pagi bagi banyak orang. Sejak terbit fajar, warung kecil yang sederhana itu sudah ramai dikunjungi, menjadi tempat pertemuan para tetangga yang sekadar ingin menyeruput kopi atau membeli sarapan untuk keluarga. Setiap lembar uang yang berpindah tangan di warung Bu Siti, dari lembaran lima ribuan yang kumal hingga selembar sepuluh ribuan yang masih baru, memiliki makna yang jauh lebih dalam dari sekadar nilai nominalnya. Uang itu adalah sebuah janji untuk esok hari, untuk bisa membeli bahan baku dagangan, untuk membayar uang sekolah anak, atau sekadar memastikan dapur tetap mengepul. Pemandangan ini adalah sebuah denyut nadi kehidupan, sebuah aliran yang menghidupkan dan menyatukan.

Kita sering kali terjebak dalam pemahaman uang yang sempit, yakni sekadar alat ukur kekayaan dan simbol status sosial. Pandangan yang statis ini membuat kita lupa bahwa esensi uang jauh lebih dinamis dan fundamental. Pada hakikatnya, uang adalah sebuah kendaraan, sebuah medium yang memungkinkan transfer nilai dan energi dari satu entitas ke entitas lain, dari satu tangan ke tangan yang lain. Perannya tak ubahnya seperti darah dalam tubuh kita yang harus terus mengalir ke setiap sel dan organ agar seluruh sistem tetap hidup dan berfungsi secara optimal. Tanpa pergerakan, darah akan membeku dan menyebabkan sumbatan, menghentikan kehidupan di bagian tubuh yang terhenti alirannya.

Perumpamaan ini menemukan relevansi puncaknya saat dunia dihadapkan pada krisis multidimensi akibat pandemi COVID-19. Saat itu, ekonomi global terhuyung-huyung, dan roda bisnis raksasa mendadak terhenti. Banyak perusahaan besar melakukan PHK massal, memutus aliran gaji yang menjadi sumber penghidupan jutaan keluarga, yang kemudian menciptakan efek domino berupa hilangnya daya beli secara masif. Data menunjukkan, kontribusi UMKM terhadap PDB sempat anjlok drastis dari 60,3% pada tahun 2019 menjadi hanya 37,3% di tahun 2020. Ini adalah bukti nyata betapa rapuhnya sistem ekonomi jika alirannya terpusat dan tidak merata.

Namun, di tengah keputusasaan itu, sebuah fenomena luar biasa terjadi: jutaan UMKM menunjukkan ketangguhan yang luar biasa. Mereka menjadi benteng terakhir yang menjaga agar roda ekonomi tetap berputar. Masyarakat yang kehilangan pekerjaan di sektor formal tidak menyerah, melainkan beralih menjadi pedagang kecil, penjual makanan rumahan, dan penyedia jasa mikro, yang memastikan perputaran uang tidak berhenti total. Perekonomian Indonesia, secara mengejutkan, mampu menunjukkan ketahanan yang relatif baik dibandingkan negara-negara lain, dan ini sebagian besar berkat jaringan ekonomi informal yang sangat kokoh. Laporan menunjukkan bahwa 84,8% UMKM yang sempat terpuruk kini telah kembali beroperasi normal, sebuah angka yang mencerminkan semangat juang dan adaptasi yang luar biasa.

Uang yang kita belanjakan di warung kecil Bu Siti, misalnya, tidak lantas menguap begitu saja. Uang itu digunakan Bu Siti untuk membeli bahan baku dari pedagang lain di pasar tradisional, yang kemudian uang itu digunakan pedagang tersebut untuk membeli bumbu di toko grosir, dan seterusnya. Tercipta sebuah mata rantai ekonomi yang pendek namun sangat efektif. Proses ini memastikan bahwa uang terus beredar di lingkungan terdekat, menjadi semacam sistem kekebalan yang melindungi perekonomian akar rumput. Ini adalah perputaran uang yang cepat dan nyata, berbeda jauh dengan aliran di sektor korporasi.

Di sisi lain, peritel besar dan korporasi raksasa cenderung menjadi titik "sumbatan" dalam peredaran uang. Ketika kita berbelanja di sana, uang yang kita keluarkan tidak sepenuhnya berputar di komunitas kita, melainkan mengalir ke kantor pusat yang mungkin berlokasi di kota lain atau bahkan negara lain. Sebagian besar uang itu menjadi laba bagi segelintir pemegang saham, atau disimpan dalam rekening bank dalam jumlah masif. Aliran ini, yang seharusnya bisa menghidupkan banyak keluarga, justru mengendap dan menjadi statis, ibarat darah yang membeku di pembuluh nadi. Ini adalah ironi yang sering kita abaikan: semakin banyak uang yang terakumulasi di satu titik, semakin besar pula potensi manfaat yang hilang bagi masyarakat luas.

Konsep uang harus bergerak, tidak terhenti, sebenarnya memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam. Al-Qur'an secara tegas memberikan panduan dalam surat Al-Hasyr ayat 7, yang menyerukan agar harta tidak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kita. Ayat ini bukanlah sekadar anjuran moral, melainkan landasan filosofis yang mendalam bagi sistem ekonomi yang adil. Ini adalah sebuah seruan untuk memastikan bahwa kekayaan tidak hanya menumpuk, tetapi harus didistribusikan secara merata sehingga dapat menjadi sumber kemakmuran bagi seluruh umat, secara esensial menolak oligarki dan plutokrasi.

Islam, sebagai sebuah sistem yang komprehensif, telah menyediakan berbagai instrumen untuk mewujudkan perputaran uang yang adil ini. Zakat, misalnya, bukanlah sekadar donasi, tetapi sebuah mekanisme wajib untuk membersihkan harta dan mendistribusikannya kembali kepada delapan golongan yang membutuhkan. Instrumen ini secara langsung memaksa uang yang cenderung "diam" untuk kembali bergerak, menopang mereka yang paling rentan, dan bahkan menjadi modal bagi usaha mereka. Demikian pula dengan sedekah, ia mendorong aliran sukarela yang menggerakkan roda ekonomi sosial, menumbuhkan rasa empati dan saling bantu di tengah masyarakat.

Investasi pun sangat dianjurkan, karena esensinya adalah menggunakan harta untuk menciptakan manfaat, membuka lapangan kerja, dan membangun peradaban, bukan sekadar menimbunnya sebagai simbol kekayaan. Nilai dari uang, dalam pandangan ini, tidak hanya terletak pada kuantitasnya, tetapi juga pada keberkahan yang tercipta dari pergerakannya. Ini selaras dengan hadis Rasulullah SAW yang menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berbisnis, menciptakan aktivitas ekonomi yang produktif dan bermanfaat. Setiap individu didorong untuk menjadi agen perubahan yang menggerakkan roda perekonomian, bukan menjadi pasif.

Sumbatan Ekonomi dan Amanah Kekayaan


Warung tetangga yang di beberapa tempat kalah tenar oleh warung ritel modern padahal warung tetangga ini lebih mampu membantu ketahanan ekonomi nasional, terutama saat krisis. Sumber gambar: Detikcom/Ardian Dwi Kurnia

Prinsip ini bukan hanya teori, melainkan telah diterapkan dalam praktik nyata sepanjang sejarah Islam. Khalifah Umar bin Khattab, seorang pemimpin visioner, memiliki kebijakan yang tidak ingin uang mengendap tanpa manfaat. Beliau memahami bahwa manfaat uang terletak pada pergerakannya, bukan pada kuantitasnya saat diam. Oleh karena itu, ia bahkan pernah mengenakan zakat pada harta simpanan yang tidak diinvestasikan dalam jangka waktu tertentu, sebuah langkah yang secara cerdas mendorong para pemilik modal untuk menggerakkan hartanya ke sektor-sektor produktif. Kebijakan ini memastikan bahwa kekayaan yang ada tidak hanya menjadi aset pribadi, tetapi juga menjadi instrumen untuk menyejahterakan masyarakat.

Pemikiran Umar bin Khattab ini memiliki relevansi yang sangat mendalam dengan realitas kita saat ini. Ketika segelintir pengusaha dan pemilik modal besar memilih untuk menyimpan kekayaan mereka di bank dalam jumlah masif, itu sama artinya dengan membiarkan potensi penciptaan lapangan kerja dan perputaran ekonomi terhenti. Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan syariah, misalnya, terus tumbuh signifikan hingga mencapai Rp619 triliun di tahun 2022. Angka ini mencerminkan besarnya uang yang terakumulasi. Uang yang seharusnya bisa diinvestasikan untuk membuka bisnis baru, menciptakan produk inovatif, dan menggaji karyawan, justru menjadi aset pasif yang hanya menguntungkan bank.

Ironisnya, sumbatan ini seringkali terjadi karena kita sebagai konsumen juga cenderung memilih kenyamanan dan efisiensi. Kemudahan belanja di peritel besar, atau transaksi digital yang menghilangkan sentuhan personal, membuat kita lupa bahwa di balik setiap klik dan gesekan kartu, ada sebuah aliran uang yang mengalir ke tempat yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Uang yang kita bayarkan di kasir raksasa seringkali tidak kembali ke komunitas kita, melainkan menjadi bagian dari sirkuit keuangan global yang jauh dari jangkauan pedagang kecil di pasar tradisional. Padahal, kita memiliki kekuatan untuk memilih.

Contoh nyata dari pergerakan uang yang sehat datang dari kisah-kisah sukses UMKM. Di Pesanggaran, Banyuwangi, sekelompok UMKM perempuan mampu bertahan di tengah pandemi, bahkan menembus pasar hotel. Kunci adaptasi mereka adalah pendampingan, digitalisasi, dan jejaring sosial yang membuat uang terus berputar dalam komunitas. Kisah ini menunjukkan bahwa ketika uang mengalir dan didukung, ia tidak hanya menjadi penyelamat, tetapi juga mesin pertumbuhan. Ini adalah contoh konkret dari apa yang kita sebut sebagai aliran darah ekonomi yang sehat.

Kisah lain datang dari pelaku UMKM di Bandung, Asep R Suhanda, yang sukses mempertahankan bisnis gula semutnya. Di tengah kesulitan pandemi, ia mengandalkan penjualan order kecil dan reseller, sebuah strategi yang memungkinkan uang untuk terus berputar di tangan banyak orang, bukan hanya di satu titik. Strategi ini membuktikan bahwa perputaran uang yang cepat dan merata, meskipun dalam skala kecil, mampu menciptakan ketahanan ekonomi yang tangguh di masa krisis. Kisah-kisah ini adalah bukti bahwa ekonomi kerakyatan adalah tulang punggung yang kokoh.

Oleh karena itu, setiap pilihan belanja yang kita buat adalah sebuah keputusan ekonomi yang memiliki dampak sosial. Ketika kita memutuskan untuk belanja di warung tetangga, atau membeli dagangan dari pedagang kecil di pasar, kita tidak hanya sekadar membeli barang. Kita sedang mengalirkan "darah" ke pembuluh nadi yang paling rapuh namun paling vital, sebuah tindakan yang berlandaskan pada prinsip kebersamaan. Kita menyuntikkan energi langsung ke jantung perekonomian lokal, memastikan bahwa roda kehidupan di komunitas kita terus berputar. Ini adalah bentuk sedekah yang tidak disadari, sebuah dukungan nyata yang berimbas langsung pada kehidupan tetangga kita.

Dampak dari keputusan sederhana ini sungguh luar biasa. Uang yang dibelanjakan di warung kecil bisa langsung digunakan oleh pemiliknya untuk membeli bahan dagangan dari petani lokal, yang kemudian menggunakan uang itu untuk membeli pupuk dari toko di desa, dan seterusnya. Terjadi efek domino yang menghidupkan seluruh rantai ekonomi, dari hulu ke hilir. Setiap transaksi kecil menjadi benang yang mengikat erat sebuah komunitas, menciptakan jaring pengaman sosial yang kokoh. Ini adalah bukti bahwa kekayaan tidak harus terakumulasi di atas untuk menetes ke bawah, tetapi bisa mengalir secara horizontal, memberdayakan semua pihak secara bersamaan.

Bahkan, pemerintah melalui berbagai kebijakannya juga menyadari pentingnya peran UMKM. Deputi Kemenko Perekonomian menegaskan bahwa UMKM adalah "critical engine" perekonomian, yang terus didukung melalui pembiayaan ultra-mikro dan digitalisasi. Hal ini selaras dengan pandangan bahwa fondasi ekonomi kerakyatan yang kokoh adalah kunci untuk menghadapi guncangan ekonomi. Pandangan ini menunjukkan bahwa ada keselarasan antara pemikiran ekonomi makro dan praktik ekonomi di level mikro.

Pendekatan ekonomi ini bukan berarti kita harus menolak perbankan modern atau menganggap pengusaha besar sebagai musuh. Keduanya memiliki peran penting dalam sistem ekonomi yang kompleks. Namun, yang ingin kita refleksikan adalah tentang keseimbangan dan kesadaran. Ini adalah tentang memahami bahwa sebagai individu, kita memiliki kekuatan untuk memengaruhi arus perputaran uang. Memilih untuk membelanjakan sebagian harta kita di pedagang kecil adalah sebuah sikap, sebuah pernyataan bahwa kita peduli terhadap denyut nadi komunitas kita sendiri.

Maka, pilihan kecil kita hari ini adalah investasi kita untuk masa depan. Setiap kali kita mengalihkan belanja kita ke warung tetangga, kita tidak hanya membantu satu keluarga untuk bertahan, melainkan juga menanamkan benih bagi sebuah ekosistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan mandiri. Kita sedang membangun fondasi ekonomi yang kuat dari bawah ke atas, di mana kemakmuran tidak hanya dirasakan oleh segelintir orang, tetapi menyebar secara merata dan menjadi milik bersama. Inilah esensi dari amanah kekayaan, sebuah tanggung jawab untuk memastikan keberkahan itu tidak hanya berhenti pada kita.

Para ulama kontemporer dan lembaga Islam modern juga secara konsisten menekankan bahaya akumulasi kekayaan yang tidak didistribusikan. Mereka menyoroti pentingnya instrumen seperti zakat, infak, dan wakaf produktif agar kekayaan terus berputar dan bermanfaat bagi masyarakat luas. Pandangan ini memperkuat bahwa prinsip perputaran uang adalah inti dari keadilan sosial dalam Islam. Ini menegaskan bahwa apa yang kita lakukan secara individual, termasuk dalam hal finansial, memiliki konsekuensi kolektif.

Dengan demikian, esai ini menjadi sebuah ajakan untuk melihat uang dari sudut pandang yang lebih holistik. Uang bukan hanya tanda kekayaan pribadi, tetapi juga amanah sosial, sebuah alat yang kita pegang untuk memikul tanggung jawab terhadap sesama. Ia adalah alat yang harus kita gunakan untuk membawa manfaat seluas-luasnya, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang di sekitar kita. Ia adalah darah yang menghidupkan, dan kita adalah jantung yang menggerakkannya. Pilihan-pilihan kecil yang kita buat setiap hari, dari mana kita membeli kopi, di mana kita berbelanja kebutuhan pokok, hingga siapa yang kita dukung, semuanya memiliki dampak yang signifikan, membangun sebuah fondasi ekonomi yang kuat dari bawah ke atas.

Mari kita pastikan bahwa aliran darah itu tetap lancar, agar tidak ada lagi sumbatan di nadi-nadi ekonomi yang paling rapuh. Mari kita hidupkan kembali denyut nadi ekonomi yang bermula dari transaksi sederhana, dari senyum pedagang, dan dari sebuah keputusan kecil yang memiliki dampak besar. Pilihlah untuk menjadi bagian dari aliran yang menghidupkan. Pilihlah untuk menjadi denyut nadi yang menyehatkan.


Share This