• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Belajar Menerima Hasil Yang Masih Sedikit: Baru Laku Satu Butir, Seorang Kakek Tetap Berjualan

Wali Umat – Di era serba cepat ini, kita sering terjebak dalam pusaran tuntutan hasil instan. Entah itu dalam bisnis, investasi, atau bahkan sekadar menjalani hobi, ada semacam ilusi bahwa kesuksesan harus datang dengan gemilang dalam semalam. Kita melihat gemerlap pencapaian orang lain di media sosial, lalu merasa tertinggal, lupa bahwa setiap kisah sukses punya babak panjang perjuangan yang tak terlihat. Pertanyaannya kemudian, benarkah kebahagiaan hanya milik mereka yang meraih segalanya dalam sekejap?

Atau jangan-jangan, ada hikmah yang lebih dalam, tersembunyi dalam kesederhanaan dan ketekunan yang sering kita abaikan. Kadang, pelajaran paling berharga justru datang dari tempat yang tak terduga, dari orang-orang biasa yang diam-diam menjalani hidup dengan keikhlasan luar biasa. Mereka adalah cermin nyata dari arti ketahanan batin yang sering luput dari perhatian kita.

Siang itu, terik matahari menyengat di sudut kota, mengusir siapa pun untuk berlindung di balik bayangan. Di tengah panas yang membakar aspal, dapat ditemui seorang kakek tua. Ia mendorong gerobak kayu yang tampak usang, berisi tumpukan telur-telur ayam yang tertata rapi, seolah setiap butirnya adalah harapan.

Pakaiannya sederhana, mungkin sudah lama menemaninya berjuang. Raut wajahnya memancarkan kelelahan yang tak bisa disembunyikan, guratan-guratan di kulitnya menjadi saksi bisu beratnya beban hidup. Sesekali ia menyeka keringat di dahinya dengan ujung lengan baju yang lusuh, pandangannya lurus ke depan, seolah mencari-cari tanda rezeki. Gerobak itu berderit pelan setiap kali ia mendorongnya, melangkah perlahan di antara hiruk pikuk jalanan.

Rasa iba mulai menyeruak di benak, bercampur dengan pertanyaan yang menggantung. Sudah berapa lama kakek ini berkeliling di bawah terik seperti ini? Berapa banyak telurnya yang sudah laku? Sebuah dorongan untuk mendekat, sekadar menyapa dan mencoba membantu sebisanya, muncul begitu saja.

Saat ditanya, "Sudah banyak yang laku, Kek?" Beliau tersenyum tipis, sebuah senyum yang jujur, namun menyimpan cerita panjang tentang perjuangan. Senyum itu hangat, menenangkan, sekaligus menyentuh nurani yang paling dalam.

Dengan suara yang lirih dan sedikit serak, ia menjawab, "Alhamdulillah, Nak, baru sebutir." Hanya sebutir. Setelah seharian penuh berkeliling, di bawah terik matahari, dengan gerobak yang berat, hanya sebutir telur yang laku. Seketika, hati terasa dicubit, merasakan empati mendalam pada perjuangannya.

Betapa rapuhnya harapan kita saat dihadapkan pada hasil yang minim, sementara kakek ini menunjukkan ketenangan yang menampar kesombongan diri. Ketenangan yang muncul dari penerimaan, bukan dari keputusasaan.

Bayangan tentang semangat "instant success" yang sering dikejar seolah hancur berkeping. Banyak dari kita yang baru memulai usaha, baru berinvestasi, atau baru merintis karier, sudah berharap langsung mendapat hasil yang "WOW." Kita menginginkan puncak tanpa pernah melewati lereng dan lembah.

Ketika kenyataan tak sesuai ekspektasi, ketika omzet tak langsung melejit, atau modal investasi tak langsung berlipat ganda, semangat sering kali mudah runtuh. Kita menyerah, merasa bahwa semua upaya itu sia-sia, lupa bahwa fondasi yang kuat selalu dibangun dari proses yang lambat dan bertahap.

Fenomena ini, di mana orang cenderung menginginkan hasil besar secara instan, seringkali berakhir pada kekecewaan yang mendalam. Mereka lupa bahwa bahkan jika kesuksesan besar itu datang tiba-tiba, belum tentu memiliki kesiapan mental dan spiritual untuk memikulnya. Ibarat sebuah pohon yang tiba-tiba berbuah lebat tanpa akar yang kuat, ia akan mudah roboh saat diterpa angin kencang.

Justru, yang kecil dan bertahap itu seringkali lebih berkah. Sebab, ia memberi ruang bagi kita untuk tumbuh, menguatkan akar, dan membangun mentalitas yang tangguh. Setiap tetes keringat, setiap kegagalan kecil, adalah pupuk yang menguatkan fondasi diri.

Sikap Kakek penjual telur itu seolah menjadi monumen hidup, sebuah pengingat akan pentingnya kesabaran dan rasa cukup (qana'ah). Beliau tidak mengeluh, tidak meratapi nasib. Satu butir telur yang laku baginya sudah cukup, sudah menjadi tanda bahwa rezeki masih ada, bahwa usahanya tidak sia-sia. Hal ini membuat kita merenung, betapa seringnya kita mengeluh tentang "sedikitnya" apa yang kita miliki, padahal di luar sana, ada jiwa-jiwa mulia yang bisa bersyukur hanya dengan "sebutir."

Akar Ketahanan: Kekuatan Iman dan Kesiapan Hati


Kakek penjual telur asin dengan tubuhnya yang sudah lelah, namun pantang meneyerah. Sumber: Tangkapan layar instagram yayasan_waliumat

Rasa lelah fisik Kakek itu pasti nyata, tergambar dari langkahnya yang pelan dan punggungnya yang sedikit membungkuk. Namun, secara psikologis, ia mampu bertahan. Ini bukan tentang kekebalan terhadap rasa sakit atau kecewa, melainkan manifestasi dari apa yang dalam psikologi modern disebut resiliensi.

Resiliensi adalah kemampuan individu untuk beradaptasi dengan baik dalam menghadapi stres, kesulitan, trauma, atau tragedi, dan bangkit kembali dari keterpurukan. Kakek ini menunjukkan bahwa ia memiliki kapasitas luar biasa untuk kembali tegak, meskipun diterpa kepedihan dan kelelahan. Kelelahan itu terasa, namun tak mampu merampas semangatnya.

Ketenangan batin Kakek adalah cerminan dari tiga pilar spiritual dalam Islam yang menjadi penopang jiwanya. Pertama, Qana'ah (Rasa Cukup). Ini bukan pasrah buta tanpa usaha, melainkan sebuah kebijaksanaan untuk menerima hasil terbaik dari ikhtiar maksimal yang telah dilakukan. Ia menerima "satu butir telur" sebagai rezeki dari ikhtiarnya dengan hati lapang, memahami bahwa keberkahan seringkali bukan tentang kuantitas semata, melainkan tentang penerimaan dan syukur.

Penelitian dalam psikologi positif, seperti yang banyak dikaji oleh Dr. Robert Emmons, menunjukkan bagaimana praktik syukur (gratitude) dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis dan mengurangi emosi negatif, persis seperti yang ditunjukkan Kakek. Sikap ini membangun fondasi kebahagiaan yang tak tergoyahkan oleh pasang surut dunia.

Kedua, Tawakal (Berserah Diri Penuh). Setelah seharian penuh berjuang di bawah terik matahari, menguras tenaga dan pikiran, Kakek menyerahkan hasil akhirnya kepada Allah SWT. Keyakinan ini melepaskan beban kekhawatiran dan rasa putus asa yang mungkin menghinggapi hati orang lain. Tawakal bukan sekadar kata, melainkan sandaran terkuat jiwa yang memahami bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar.

Ini adalah bentuk coping mechanism yang sangat adaptif, mengurangi tekanan mental karena ia tahu ada Dzat Yang Maha Menggenggam segala urusan. Dengan tawakal, ia tak lagi terbebani oleh ekspektasi yang bisa mematikan semangat.

Ketiga, Husnudzon (Berprasangka Baik kepada Takdir). Kakek itu mungkin tak pernah merasa sendiri dalam perjuangannya. Ia percaya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usahanya dan selalu punya rencana terbaik di balik setiap kesulitan. Keyakinan ini adalah bahan bakar utama bagi ketahanan batin, menjadi tameng paling ampuh dari keputusasaan.

Sikap ini memungkinkan adanya Post-Traumatic Growth (PTG), di mana pengalaman sulit justru memicu pertumbuhan pribadi, peningkatan apresiasi hidup, dan spiritualitas yang lebih mendalam, sebagaimana yang bisa kita amati pada ketenangan Kakek. Ia melihat setiap ujian sebagai tangga menuju kekuatan baru.

Kisah Kakek penjual telur ini bukan satu-satunya. Ada banyak "pahlawan" tanpa seragam di sekitar kita yang menunjukkan ketekunan luar biasa. Ambil contoh, seorang pemilik warung kopi rintisan di gang sempit. Omzetnya tak seberapa, tak sebanding dengan kafe-kafe besar di pusat kota.

Namun, ia tak pernah berhenti berinovasi, mencoba resep baru, dan menyapa setiap pelanggannya dengan senyum tulus. Ia tahu, setiap cangkir kopi yang terjual adalah langkah kecil menuju impiannya. Ia berinvestasi pada proses, bukan hanya pada hasil instan yang belum pasti.

Contoh lain, seorang penulis muda yang naskahnya berulang kali ditolak penerbit. Kekecawaan itu nyata, menggerogoti semangat. Namun, ia terus menulis, merevisi, dan mencari celah, karena ia meyakini ada pesan yang harus disampaikan. Ia memahami bahwa kesuksesan tidak selalu datang dalam sekali coba, melainkan dibangun dari tumpukan penolakan dan pelajaran.

Mereka semua, seperti Kakek penjual telur, mengaplikasikan prinsip ketahanan diri yang serupa. Mereka memahami bahwa kegigihan di tengah badai adalah kunci.

Memang, rasa kecewa itu wajar, bahkan manusiawi. Setiap orang pasti pernah merasakannya ketika harapan tak sesuai kenyataan. Namun, menyerah adalah sebuah pilihan. Pilihan yang seringkali memupuskan potensi besar yang sebenarnya ada.

Pelajaran dari para pejuang kecil ini adalah bahwa proses adalah guru terbaik. Kegagalan hari ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah umpan balik, sebuah pelajaran berharga untuk esok hari. Mereka melihat rintangan sebagai kesempatan untuk tumbuh, bukan tembok yang menghalangi.

Nilai sebuah perjuangan bukan hanya pada garis finis yang gemilang, tetapi pada setiap langkah kecil yang ditempuh dengan sabar dan penuh keyakinan. Setiap tetes keringat, setiap penantian, adalah bagian dari mahakarya kehidupan yang sedang kita ukir.

Kisah Kakek penjual telur mengajak kita untuk mengubah perspektif. Alih-alih menuntut hasil instan yang seringkali tidak realistis, mari kita mulai menghargai setiap proses dan kemajuan sekecil apa pun. Itu adalah fondasi untuk kebahagiaan sejati.

Mari kita belajar bersyukur atas yang "sebutir," karena di dalamnya tersimpan keberkahan dan hikmah yang lebih besar. Kakek itu mengajarkan bahwa keberanian sejati adalah bertahan di tengah kesempitan, dan keikhlasan adalah modal yang tak ternilai harganya. Ia tak punya tabungan, tapi punya tabah yang tak bisa dibeli.

Bukan banyaknya harta yang membuat hidup layak, tapi keberanian memberi di saat sempit, dan keteguhan hati di kala badai. Ia memberi kita contoh nyata, bahwa pahlawan tak selalu berseragam, kadang ia hanya duduk di pinggir jalan, jualan telor, tapi hatinya menyuapi dunia dengan keikhlasan.

Barangkali, kebaikan kecil kita hari ini, sekadar mengapresiasi sebuah proses, bisa jadi cahaya untuk hidup orang lain, dan menjadi titik tolak bagi ketahanan batin kita sendiri. Kalau mereka bisa memberi di tengah kesempitan, lalu apa alasan kita menunggu kelapangan untuk mulai peduli? Mari terus berjuang dengan hati yang lapang, karena setiap langkah kecil penuh makna, dan Allah tidak pernah tidur atas setiap usaha hamba-Nya.




Share This