• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Barang Bekasnya Boleh Terhempas Angin, Namun Tidak Dengan Harapan Sang Pengepul

Wali Umat –  Angin siang itu datang tanpa aba-aba, bergerak seperti tamu asing yang tidak pernah diundang, tetapi tiba dengan kekuatan yang meluluhlantakkan. Di tepi jalan, seorang bapak pengepul barang bekas berdiri dengan topi lusuh dan baju yang memudar warnanya, sedang merapikan barang-barang yang ia kumpulkan berhari-hari. Tumpukan kardus, plastik, dan serpihan logam itu adalah hasil dari langkah panjangnya dari gang ke gang, dari pagi yang basah oleh embun sampai sore yang dipanggang matahari. Ketika angin besar tiba dan merampas semua itu, barang-barang yang sejatinya menjadi sumber penghidupan tiba-tiba beterbangan seperti kapas. Ia hanya bisa menatap, dengan pasrah yang sunyi, ketika kerja kerasnya hancur dalam hitungan detik.

Barang-barang itu tidak hanya jatuh, tetapi terpental jauh, berserakan di jalanan. Kardus-kardus yang tadinya tersusun rapi pecah bentuknya, melayang sebelum terseret ke selokan. Plastik-plastik yang sudah ia pilah satu per satu terbang liar menghilang ke tikungan jalan. Sementara ia berdiri, mematung, seperti sedang mencoba menerima kenyataan yang datang terlalu cepat untuk dicerna. Tidak ada teriakan, tidak ada sumpah serapah—hanya napas panjang yang seakan menelan getir yang tak perlu dijelaskan lewat kata-kata.

Orang-orang yang melintas mungkin hanya melihat barang bekas berhamburan. Mereka melihat “sampah” yang tertiup angin, bukan harapan seseorang yang baru saja runtuh. Hanya sedikit yang berhenti sejenak, menatap lebih lama, atau membayangkan bagaimana hati seorang bapak yang tahu bahwa serpihan-serpihan itu adalah penghasilannya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sibuk mengejar kenyamanan, penderitaan orang kecil sering tak terdengar suaranya. Dan di detik itulah, kita melihat betapa rentannya hidup seseorang yang bekerja di pinggiran ekonomi kota.

Menjadi pengepul barang bekas bukan sekadar profesi—itu adalah bentuk keteguhan hidup yang dilakoni dalam diam. Ia bangun lebih pagi dari kebanyakan orang yang sedang membangun mimpi. Ia berjalan dari satu rumah ke rumah lain dengan karung besar atau gerobak kecilan yang selalu ia isi sedikit demi sedikit. Pekerjaannya sunyi, tidak dipuji, tidak dianggap penting oleh banyak orang. Namun dari sinilah ia memberi makan keluarganya, membayar kebutuhan yang tidak bisa ditunda, dan menjaga martabat agar tidak menjadi beban.

Barang bekas yang ia kumpulkan bukan sekadar objek fisik. Di dalam kardus itu ada lelah. Di dalam plastik itu ada waktu. Di dalam serpihan besi itu ada nilai kecil yang bila dikumpulkan cukup lama bisa berubah jadi nasi untuk hari itu. Setiap barang yang ia pungut memiliki cerita: kadang dari rumah orang kaya yang membuang begitu saja benda masih layak, kadang dari pinggir jalan yang berdebu, kadang dari tempat sampah yang harus ia korek dengan tangan sendiri. Semua itu ia lakukan bukan untuk kaya, tetapi untuk bertahan hidup.

Karena itu, ketika angin merobohkan tumpukan yang sudah ia susun tiga hari lamanya, yang hilang bukan sekadar barang. Yang hancur adalah rencana. Yang terbang adalah harapan. Yang jatuh adalah upah dari kerja keras yang tidak pernah bisa ia simpan dalam tabungan. Angin mungkin hanya bertiup beberapa detik, tetapi yang diambilnya adalah sesuatu yang jauh lebih berat dari yang terlihat.

Meski demikian, bapak itu tidak marah. Tidak ada amarah yang diarahkan ke angin, tidak ada keluh kesah dilontarkan pada langit. Ia hanya membungkuk perlahan dan mulai memungut kembali apa pun yang masih bisa diselamatkan. Inilah bentuk kesabaran paling sunyi: kesabaran yang tidak dipertontonkan, tidak ditagih apresiasi, dan tidak meminta belas kasihan. Kesabaran yang tumbuh dari kenyataan bahwa jika ia berhenti sekarang, maka tidak ada yang akan mengganti kehilangan itu.

Ada ironi yang mencolok dalam peristiwa ini. Banyak orang yang memiliki lebih justru marah pada hal-hal kecil yang tidak berjalan sesuai kehendak mereka. Namun bapak ini—yang penghasilannya ditentukan oleh seberapa banyak ia mampu mengumpulkan sisa-sisa dunia—justru menerima musibah besar dengan ketenangan yang tidak dibuat-buat. Seolah ia tahu: hidup memang tidak adil, tetapi ia tidak boleh kalah oleh ketidakadilan itu.

Momen barang-barang beterbangan itu adalah gambaran betapa rapuhnya kehidupan sebagian besar pekerja informal. Mereka tidak punya cuti. Tidak punya tunjangan. Tidak punya jaminan apa pun ketika bencana kecil seperti ini terjadi. Mereka hidup dari hari ke hari, dengan risiko yang selalu menunggu di tikungan: hujan, panas, kecelakaan, kehilangan barang, bahkan stigma masyarakat. Namun mereka tetap bekerja, tetap berjalan, tetap percaya bahwa selama ada tenaga, ada harapan.

Peristiwa ini mengingatkan kita pada kenyataan pahit bahwa banyak orang menggantungkan hidup dari barang-barang yang bahkan tidak lagi kita ingat kita miliki. Barang yang kita buang begitu saja, makanan yang kita sia-siakan, baju yang kita tumpuk tanpa pakai—semua itu adalah peluang hidup bagi seseorang yang bekerja dengan keringat dan harga diri. Dunia ini sebenarnya penuh ketimpangan, tetapi ketimpangan itu sering tersembunyi di balik keseharian yang kita anggap wajar.

Kontrasnya lebih jelas lagi: ada orang yang membuang makanan masih utuh tanpa rasa bersalah, ada yang memesan barang baru meski yang lama masih layak pakai, ada yang menolak hal kecil hanya karena tidak sesuai selera. Sementara itu, seorang bapak seperti pengepul ini rela memungut serpihan-serpihan nilai yang kita buang. Ia rela mengumpulkannya, memilahnya, membersihkannya, dan menjualnya demi menyalakan dapur hari itu. Peristiwa angin tadi bukan sekadar musibah—itu adalah penampar kesadaran.

Pekerja seperti dia sering tidak dianggap penting, padahal mereka adalah bagian dari mata rantai kehidupan kota. Mereka mengurangi sampah. Mereka memutar kembali barang-barang yang masih bisa digunakan. Mereka membantu menjaga kebersihan kota yang kita tinggali. Namun jarang sekali kita memandang mereka dengan hormat. Jarang sekali kita melihat mereka sebagai manusia yang sedang memperjuangkan hidup, bukan sekadar “pengumpul sampah”.

Kisah bapak pengepul ini juga mengajak kita melihat lebih jauh tentang nilai sebuah keteguhan. Banyak dari kita menyesali kehilangan kecil: uang hilang sedikit, barang lecet, rencana mundur, atau hari yang tidak sesuai ekspektasi. Namun ada orang-orang yang kehilangan jauh lebih besar, tetapi tetap berjalan. Keteguhan mereka bukan romantisasi kemiskinan—ini adalah cermin bahwa hati manusia sering kali lebih kuat dari yang ia sadari.

Dalam perspektif spiritual, kesabaran bukan sekadar menahan diri. Kesabaran adalah kemampuan untuk melihat musibah sebagai bagian tak terpisah dari perjalanan manusia. Ada doa yang tidak diucapkan tetapi mengalir dari pasrah yang tulus. Ada kekuatan yang tumbuh justru dari rasa tidak berdaya. Dan mungkin, ketenangan bapak pengepul itu adalah salah satu bentuk ibadah tanpa suara.

Di titik ini, kita diajak bertanya pada diri sendiri: seberapa sering kita salah melihat penderitaan orang lain? Seberapa sering kita merasa hidup sangat berat sementara ada orang yang bahkan tidak bisa marah ketika harapannya dirampas angin? Dan seberapa sering kita lupa bahwa hidup selalu bisa menjadi lebih sulit bagi orang lain yang tidak pernah memperlihatkan kelelahannya?

Ketabahan Paling Sunyi adalah Tidak Menyalahkan Siapa Pun


Ada kekuatan yang tidak terlihat pada diri bapak pengepul itu: keberanian untuk menerima kenyataan tanpa menyalahkan siapa pun. Di dunia yang penuh saling tuding dan keluhan, sikap ini seperti cahaya kecil yang menghangatkan. Ia tidak menyalahkan cuaca. Tidak menyalahkan takdir. Tidak menyalahkan siapa pun di sekitarnya. Ia hanya fokus pada apa yang masih bisa ia lakukan: memungut ulang, mengikat ulang, dan melanjutkan hidup.

Keteguhan ini muncul bukan karena ia tidak merasakan sedih. Ia lelah. Ia kecewa. Tetapi ia tahu bahwa berhenti bukan pilihan. Orang-orang seperti dia tidak punya ruang untuk menyerah, karena menyerah berarti tidak ada yang dimakan malam itu. Ketabahan semacam ini hanya dimiliki oleh mereka yang hidup dalam tekanan yang tidak pernah kita bayangkan.

Angin mungkin merobohkan gerobaknya. Mungkin merusak susunan yang sudah ia bangun. Tetapi angin tidak bisa merobohkan tekadnya. Ada manusia yang justru semakin kuat ketika hidup semakin keras. Ada hati yang justru semakin jernih ketika cobaan semakin berat. Kisah bapak ini menjadi contoh bagaimana kekuatan manusia tidak selalu hadir dalam bentuk tubuh, tetapi dalam cara ia menerima pukulan hidup.

Banyak orang berjuang dalam diam seperti ini. Tidak direkam kamera. Tidak diviralkan. Tidak dipuji. Mereka bangun pagi, pulang malam, dan tidak pernah tahu apakah esok akan lebih baik atau lebih buruk. Tetapi mereka tetap menaruh kaki di jalan yang sama, berharap langkah kecil itu cukup untuk mempertahankan hidup. Dalam dunia yang sibuk mengejar pencapaian, mereka adalah para pahlawan sunyi yang tetap bertahan meski dunia tidak peduli.

Resiliensi bukan soal tidak jatuh. Resiliensi adalah tentang memungut sisa-sisa yang tergeletak dan tetap bergerak maju. Bapak pengepul itu mengajarkan bahwa hidup tidak menunggu kita siap. Hidup hanya menunggu kita untuk kembali berdiri. Dan sering kali, kekuatan itu muncul dari tempat paling sederhana: kebutuhan untuk bertahan hidup.

Lalu pertanyaannya bukan lagi: “Mengapa angin ini datang?” tetapi “Apa yang bisa aku lakukan setelah angin ini pergi?” Dan bapak pengepul itu sudah memberi jawabannya tanpa kata-kata. Ia memungut kembali apa yang masih tersisa. Ia bangkit lagi. Ia berjalan lagi. Karena hidup memang sesederhana itu: kalau kita berhenti, tidak ada yang akan menggantikan kehilangan kita.

Kita sering lupa bahwa di balik kenyamanan yang kita nikmati, ada orang-orang yang bekerja keras di bawahnya. Kisah bapak pengepul ini adalah pengingat bahwa empati bukan sekadar rasa kasihan. Empati adalah kemampuan untuk melihat manusia lain sebagai sesama pejuang hidup. Dan mungkin, hal pertama yang perlu kita lakukan adalah tidak meremehkan profesi siapa pun.

Sebagai masyarakat, kita bisa mulai dari hal sederhana: lebih menghormati pekerja informal, tidak memandang mereka dengan curiga, dan memberi ruang yang layak bagi mereka di lingkungan kita. Menghargai mereka bukan hanya soal memberikan uang, tetapi memberi senyum, memberi terima kasih, dan tidak menganggap pekerjaan mereka rendah.

Sebagai individu, kita juga bisa menata ulang kebiasaan kita sendiri. Mengurangi barang yang dibuang, memanfaatkan kembali apa yang masih bisa dipakai, dan tidak membiarkan makanan terbuang sia-sia. Karena setiap barang yang kita buang sembarangan bisa jadi adalah peluang hidup untuk seseorang yang bekerja sangat keras.

Akhirnya, kisah ini mengajarkan kita bahwa angin bisa merampas apa pun: barang, rencana, atau hasil kerja keras. Tetapi angin tidak bisa merampas hati manusia yang memilih untuk bertahan. Dan mungkin, dalam diamnya, bapak pengepul itu sedang mengajarkan kita sebuah pelajaran besar: bahwa harapan tidak selalu datang dari hal-hal besar; kadang ia datang dari seseorang yang membungkuk perlahan, mengikat ulang barang-barangnya, lalu kembali berjalan tanpa keluhan.




Share This