Bahagianya Orang Tua Itu Sederhana, Sesederhana Dapat Baju Baru dari Anaknya

Wali Umat – Jelang lebaran, seorang ayah nampak sumringah mengenakan baju koko baru. Kakinya yang sudah lama nyeri nampaknya tak lagi begitu terasa terkalahkan oleh rasa gembiranya. Bukan karena merek ternama, bukan pula karena mahal harganya—melainkan karena sang anak yang membelikannya.
Saat baju itu dikenakan, tubuh tuanya seakan memiliki tenaga baru. Langkahnya mungkin masih tetap pincang, tapi hatinya melayang. Matanya berkaca-kaca, menatap cermin dengan bangga. Seolah dunianya memberi hadiah istimewa: perhatian dari anak yang ia besarkan dengan doa dan cucuran keringat.
Apa yang membuat sang ayah begitu bahagia? Bukan semata karena jenis kain, bukan kualitas jahitannya, merk, atau harga bajunya. Namun, ini tentang perhatian. Orang tua, apalagi dalam usia senjanya, biasanya tidak lagi mengejar materi. Mereka mengejar makna. Dalam psikologi perkembangan, orang tua di fase lansia berada pada tahap "integritas ego", di mana mereka menginginkan validasi: bahwa mereka telah menjadi orang tua yang berarti.
Dalam budaya timur, termasuk Indonesia, relasi anak dan orang tua sangat kental dengan nilai-nilai ketundukan dan balas budi. Maka perhatian kecil dari anak—meski hanya sebaju sederhana—bisa terasa seperti pelukan hangat yang segera meredakan dinginnya hari tua. Ajaran Islam sendiri begitu menjunjung bakti kepada orang tua hingga disebutkan bahwa senyum yang kita hadiahkan pada mereka adalah ibadah.
Ibnu Qayyim berkata, "Tidak ada pintu menuju surga yang lebih luas setelah tauhid selain berbakti pada orang tua." Maka perhatian sekecil apapun pada orang tua tak pernah sia-sia. Sebab, yang mereka cari bukan bentuknya, tapi rasa di balik pemberian itu: rasa bahwa mereka masih diingat, masih dihargai, masih dicintai.
Lalu bagaimana dengan sang anak? Ia tentu memiliki kebutuhan sendiri. Bisa jadi ada rencana membeli baju baru untuk dirinya atau menabung untuk keperluan lain, misal menikah. Namun, ia memilih untuk mendahulukan ayahnya. Itulah hakikat pengorbanan—melepaskan sesuatu yang kita inginkan demi kebahagiaan orang yang kita cintai.
Pengorbanan dalam hal ini adalah bentuk tertinggi dari cinta dan tanggung jawab. Ia mengandung keikhlasan, dan keikhlasan itulah yang menumbuhkan keberkahan. Dalam refleksi ini, kita dihadapkan pada pertanyaan sederhana namun dalam: sudahkah kita menyisihkan sesuatu dari diri kita untuk membahagiakan orang tua?
Maka saatnya kita bercermin. Tidak untuk menyalahkan diri, tapi untuk memahami peran dan ruang yang bisa kita isi. Di sinilah pembahasan berikutnya akan membawa kita: pada refleksi sebagai anak.
Kebutuhan Takkan Ada Habisnya
Sebagai anak, tentu kita punya banyak kebutuhan. Apalagi kalau sudah berkeluarga: biaya sekolah anak, cicilan rumah, uang dapur, transportasi harian, belum lagi tagihan tak terduga. Dalam situasi seperti itu, berpikir untuk menyisihkan uang untuk orang tua mungkin terasa berat. Tapi berat bukan berarti tidak mungkin.
Gambar ilustrasi sandwich generation. Sumber: gambar dibuat menggunakan AI Chat GPT Buat Gambar
Sebagian dari Anda mungkin ditakdirkan menjadi generasi yang “terhimpit” yang sering disebut "Sandwich Generation"—generasi yang terjepit antara kebutuhan orang tua dan kebutuhan anak. Tekanan psikologisnya nyata. Ada rasa terhimpit, lelah, bahkan kadang muncul rasa bersalah karena merasa belum bisa maksimal di dua sisi.
Namun kita harus jujur pada nurani kita. Orang tua sejatinya bukan beban. Mereka adalah titipan Allah yang menjadi perantara pembuka surga. Dalam sebuah hadits dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda:
"رِضَى اللهِ فِي رِضَى الْوَالِدِ، وَسَخَطُ اللهِ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ"
“Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah tergantung kepada kemurkaan orang tua.”
(HR. Tirmidzi no. 1899, hasan shahih)
Dalam hadits lain disebutkan:
"الوالد أوسط أبواب الجنة، فإن شئت فأضع ذلك الباب أو احفظه"
“Orang tua adalah pintu surga yang paling tengah. Jika engkau mau, engkau bisa sia-siakan pintu itu, dan jika engkau mau, engkau bisa menjaganya.” (HR. Tirmidzi no. 1900, shahih)
Maka, jangan sampai kita melihat orang tua hanya sebagai “beban”. Mereka adalah ladang pahala, tempat investasi akhirat. Kita mungkin terbebani, tapi sejatinya justru sedang dibukakan jalan surga. Jika kita sabar dan ikhlas, beban itu akan berubah menjadi keberkahan dan pembuka jalan.
Mari kita ingat kembali anak yang menghadiahkan baju untuk ayahnya. Ia menyisihkan sebagian dari penghasilannya, bukan karena berlebih, tapi karena cinta. Betapa besar maknanya pemberian itu bagi sang ayah, hingga senyumnya menghapus rasa sakit di kakinya.
Namun, di sisi lain, kita juga harus berani melihat realita yang menyedihkan. Masih banyak kisah anak yang tak hanya abai, bahkan lebih jauh menyengsarakan orang tuanya. Dalam laporan media daring, ditemukan kasus-kasus di mana anak tega mengusir orang tua dari rumah, mencuri dari orang tuanya, atau membiarkan mereka hidup sebatang kara di panti jompo.
Memang tidak semua anak durhaka, tapi mari jujur: berapa banyak dari kita yang terlalu sibuk dengan urusan dunia hingga lupa sekadar menyapa orang tua? Bayangkan bagaimana menyedihkannya ketika mereka tiada, sedangkan kita hanya bisa menyesal di atas pusara. Tak ada lagi suara lembut yang memanggil, tak ada lagi tangan renta yang mengusap kepala kita dengan doa.
Penyesalan terbesar adalah yang datang ketika kesempatan telah hilang. Maka, sebelum waktu merampas senyum orang tua kita, mari bahagiakan mereka selagi bisa. Sungguh, kelak kita akan menyesal bukan karena tak sempat memberi banyak, tapi karena tak sempat memberi sedikit pun.
Data dari Journal of Gerontology & Geriatric Research (2022) menunjukkan bahwa lebih dari 60% lansia di Indonesia merasa kesepian dan kurang mendapat perhatian dari anaknya (Sumarni et al., Universitas Indonesia). Ini adalah alarm bagi kita semua.
Jangan biarkan orang tua kita menjadi bagian dari statistik itu. Mereka butuh kita, bukan karena lemah, tapi karena cinta yang mereka punya tak pernah berubah, meski usia terus bertambah.
Ridho Mereka, Ridho-Nya
Ada kemuliaan besar bagi mereka yang diridhai orang tuanya. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا"
"Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada mereka perkataan 'ah' dan jangan kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia." (QS. Al-Isra: 23)
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa berbakti kepada orang tua adalah amal jariah terbesar yang dampaknya melampaui kehidupan dunia. Keberkahan rezeki, ketenangan hati, dan kemudahan urusan sering kali datang dari ridhonya orang tua.
Bahkan Rasulullah Saw. menjadikan berbakti pada orang tua sebagai amal yang lebih utama dari jihad. Dalam hadits riwayat Bukhari, disebutkan bahwa seorang sahabat bertanya izin untuk berjihad, lalu Nabi menjawab, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Ketika dijawab, “Ya,” beliau bersabda, “Maka berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.”
Artinya, peluang mendapatkan pahala besar itu ada di rumah kita sendiri. Jangan menunggu momen besar untuk berbakti, karena justru hal-hal kecil yang dilakukan dengan cinta mampu membuka pintu surga.
Maka sahabatku, siapapun kamu—anak muda yang sedang merintis karier, ayah yang sedang berjuang untuk keluarga, ibu yang tengah berjibaku membesarkan buah hati—luangkan sedikit perhatianmu untuk orang tua. Mereka tidak butuh kemewahan. Mereka hanya butuh tahu bahwa mereka masih berarti.
Berikan senyummu, waktumu, doamu. Kalau memang memungkinkan, sisihkan sebagian dari penghasilanmu untuk membahagiakan mereka. Ingat, di setiap peluh dan pengorbanan mereka dahulu, ada cinta yang tidak pernah meminta balasan. Kini saatnya kita membalas.
Walau kamu punya kebutuhan, jangan lupakan kebutuhan batin orang tua: kebutuhan untuk merasa dicintai. Dan ingatlah, ridho Allah tergantung pada ridho mereka. Jangan biarkan penyesalan datang lebih dulu daripada kebaikan yang sempat kita berikan.