“Uang Muka" Kebahagiaan Bagi Seorang Ayah Pencari Nafkah
Wali Umat – Ayah memang jarang bercerita, tapi tahu-tahu menangis haru saat mendampingi anaknya wisuda. Tangis yang ia pendam selama ini akhirnya bisa tumpah, yakni ketika semua pengorbanannya yang jujur itu “terbayar”. Kabar gembiranya, kebahagiaan itu takkan berhenti di momen itu saja, yakni ketika anak-anak tetap mau berbagi cerita pada orang tua di hari tua, mengirim do’a di alam barzakh, dan juga mengangkat derajat orang tuanya nanti di surga.
Seorang ayah tertangkap kamera menahan air mata di pelupuk matanya, seolah berupaya menjaga hasil tempaan hidupnya selama ini yang tersirat pada wajahnya; ia tak ingin luntur seketika. Padahal, siapapun yang melihatnya pasti menilai ia memang pantas menikmatinya, meluapkan segala beban di dadanya dengan tangis dari sisi bahagianya. Kerja kerasnya, akhirnya membuahkan hasil sesuai dengan dicita-citakannya, yakni memberikan kesempatan anaknya untuk sekolah hingga jenjang yang tinggi.
Di dunia ini, ada orang tua yang saking “khawatirnya” dengan kehidupan dunianya, sampai-sampai lupa dengan tujuan utamanya mencari nafkah. Padahal, bahagianya mencari nafkah ialah ketika hasil yang menyertainya dapat menjadi sarana anak-anak mencapai apa yang menjadi cita-citanya. Awalnya, bekerja untuk mencari nafkah, tapi dari hari ke hari bekerja malah berubah jadi karena harta. Yang awalnya merasa cukup dengan mobil merk Jepang, dengan alasan “kesetaraan”, mereka bekerja lebih keras. Padahal, wataknya harta, “makin dikejar, makin ia lari. Semakin banyak memiliki, malah menambah haus”.
Ambisinya mengejar karir di atas segalanya sampai-sampai lupa dengan Rabb-nya, lupa menjaga relasi dengan teman-temannya, pun dengan keluarganya. Bahkan, pada tahap tertentu, ambisi pada harta-benda dapat mendorong seseorang menabrak rambu-rambu yang telah Allah Swt. tetapkan akibat “rasa hausnya”. Akibatnya, harta benda yang nantinya dimiliki kehilangan maknanya, bahkan kalau pun diberikan pada keluarganya justru akan menjadi penghalang rahmat Allah Swt.
Pun, hingga suatu saat harta itu terkumpul, orang yang memilikinya merasa apa yang diperjuangkannya sia-sia. Pada akhirnya, seseorang kehilangan makna hidup dirinya dan bisa-bisa mengakhiri hidupnya. Lewat media, kita dapat dengan menemukan selebriti papan atas dunia atau orang-orang kaya yang mengalaminya. Mereka mencapai “puncak dunia” alias kesuksesan, tapi kehilangan makna diri dan miliknya.
Maka, sungguh beruntung ketika seorang ayah dapat mempertahankan niatnya bekerja dalam rangka tugasnya mencari nafkah. Tujuan bekerjanya jelas, pun ketika Allah Swt. memberikan rizki lewat ikhtiarnya, penyalurannya jelas. Artinya, apa yang dilakukan berikut hasilnya memiliki makna. Kebermaknaan dapat muncul dalam pikiran dan hati kita manakala kita tahu “peran” yang jelas dari kehidupan maupun apa yang dimiliki untuk mencapai tujuan atau kata Muhammad Syed Naquib Al-Lattas, makna ialah “pengenalan tempat segala sesuatu dalam suatu sistem”.
Dalam Islam, mencari dan memberi nafkah merupakan sebentuk ibadah pada Allah Swt, sementara menumpuk-numpuk harta hanya akan membuat hidup sengsara. Lewat Al-Qur’an, Allah Swt. telah menetapkan amanah tersebut pada sosok ayah. Artinya, dengan ayah mencari nafkah, kemudian memberikannya saat memperoleh rizki dari jalan tersebut pada keluarga merupakan bentuk ketaatan pada Allah Swt. Perintah tersebut termaktub dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 233. Allah Swt. berfirman,
وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Ilustrasi orang yang hidupnya hampa lantara mengejar-ngejar harta dan kehilangan makna hdiupnya selama ini. Sumber: dibuat oleh AI
Ketika yang mendorong seorang ayah itu bukan lagi mencari nafkah, melainkan semata-mata untuk menumpuk-numpuk harta, maka terbuka kemungkinan ia akan kurang awas dengan rambu-rambu yang Allah Swt. tetapkan. Sementara, halal-haramnya harta yang masuk ke dalam rumah atau perut anak akan sangat mempengaruhi kehidupan anaknya, salah satunya jadi malas beramal sholeh. Dalam Qur’an, surat Al-Mu’minun ayat 51, Allah Swt. berfirman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thayyib (yang baik), dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mu’minun: 51).
Yang dimaksud dengan makan yang “thayyib” di sini adalah makan yang halal sebagaimana disebutkan oleh Sa’id bin Jubair dan Adh-Dhahak. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:462. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala pada ayat ini memerintahkan para rasul ‘alaihimush sholaatu was salaam untuk memakan makanan yang halal dan beramal saleh. Penyandingan dua perintah ini adalah isyarat bahwa makanan halal adalah yang menyemangati melakukan amal saleh.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:462). Sebaliknya, ketika makanan yang masuk adalah makanan haram, dapat membuat seseorang jadi malas beramal sholeh.
Maka, seorang ayah hendaknya menjaga niatnya bekerja, yakni untuk memenuhi tanggung jawab atau amanahnya mencari nafkah, bukan menumpuk harta. Tentu, sebagai mukmin, harus yakin kalau mencari nafkah itu tugas dari Allah Swt. Artinya, dia yakin dengan pengawasan Allah Swt. dan akan takut jika sampai menempuh harta haram. Dengan begitu, harta yang dibawanya ke dalam rumah tak lebih dari harta halal saja. Dengan begitu, ayah akan tenang dalam hidupnya.
Harta halal yang masuk ke dalam rumah dan perut seorang anak, akan menjadi pemicu semangat beramal sholeh. Ia akan semangat beribadah dan belajar hingga membuka harapan akan menjadi manusia mulia di masa depannya. Inilah “uang muka” kebahagiaan bagi seorang ayah di dunia. “Balon” lelah lahir-batinnya mencari nafkah akan pecah, membuka tabir kebahagiaan.
Lebih jauh, jika anak itu dididik dengan nilai-nilai moral berbasis ajaran Islam, besar harapan ia akan menjadi pengirim do’a saat orang tuanya di alam barzakh. Pada akhirnya, dibayar lunas dengan meningkatkan derajat orang tuanya saat tiba di surga. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَيَرْفَعُ الدَّرَجَةَ لِلْعَبْدِ الصَّالِحِ فِيْ الْجَنَّةِ فَيَقُوْلُ : يَا رَبِّ أَنىَّ لِيْ هَذِهِ ؟ فَيَقُوْلُ : بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sungguh, Allah benar-benar mengangkat derajat seorang hamba-Nya yang shalih di surga,” maka ia pun bertanya: “Wahai Rabbku, bagaimana ini bisa terjadi?” Allah menjawab: “Berkat istighfar anakmu bagi dirimu”