• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Ternyata Yang Miskin Bukan Dompetnya, Tapi Hatinya

Wali Umat – Di sekitar kita, mungkin ada yang tak kekurangan apa pun secara fisik—makan tiga kali sehari, punya kendaraan, bahkan bisa makan siang di Singapore, terus lanjut makan malam di Thailand. Namun anehnya, hidup tetap terasa kurang. Selalu ada yang kurang. Ketika orang lain mendapat promosi atau membeli barang baru, hati tak tenang. Seolah arus hidup hanya satu arah: memenuhi hasrat diri. 

Inilah yang oleh para ulama dan psikolog disebut sebagai mental miskin. Sebuah keadaan batin di mana seseorang merasa kekurangan terus-menerus, meski kenyataannya tidak dalam kondisi darurat. Ia haus pengakuan, ketergantungan, dan sering kali memanipulasi belas kasihan agar dibantu. Ironisnya, orang seperti ini bisa jadi lebih berada secara materi dibanding tetangganya—tapi lebih rapuh secara jiwa.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan tentang sikap seperti ini. Beliau bersabda:

"مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ"

“Seseorang terus-menerus meminta-minta kepada manusia, hingga pada hari kiamat tidak tersisa daging di wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini bukan hanya menggambarkan fisik yang mengenaskan, namun metafora dari martabat yang telah hancur. Orang yang selalu minta-minta, apalagi bukan karena darurat, sedang merendahkan dirinya sendiri. Dalam riwayat lain, Rasul ﷺ bersabda bahwa siapa yang membuka pintu meminta-minta, Allah akan bukakan baginya 70 pintu kefakiran (HR. Tirmidzi).

Artinya, bukan hanya malu yang datang, tapi juga nestapa yang berkelanjutan.

Al-Qur’an mengingatkan umat manusia agar tidak berpangku tangan:

 قُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَٱلْمُؤْمِنُونَ

"Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu..." (QS. At-Taubah [9]: 105)

Kerja—dalam Islam—bukan sekadar untuk mencari rezeki, tetapi menjaga kehormatan. Nabi ﷺ pernah didatangi oleh seorang pemuda miskin yang meminta diberikan sedekah. Namun, beliau malah menyuruhnya menjual barang yang tersisa di rumahnya, melelakannya, kemudian membagi sebagian untuk makan, sebagian untuk modal bekerja mengumpulkan kayu bakar dan menjualnya. “Itu lebih baik bagimu daripada meminta-minta kepada manusia,” ujar Nabi. Padahal sudah jelas sahabat yang datang itu orang yang nyata miskin, namun pada momen tersebut, Rasulullah Saw. ingin menyampaikan pentingnya menjaga kehormatan diri.

Psikologi modern menyebut fenomena ini sebagai learned helplessness—ketidakberdayaan yang dipelajari. Ketika seseorang terbiasa bergantung, lama-lama ia kehilangan keyakinan bahwa ia bisa berdiri sendiri. Ia menyerah sebelum mencoba, dan merasa nyaman dalam ketidakberdayaan. Dampaknya tidak hanya pada penghasilan, tapi juga kepercayaan diri, kesehatan mental, bahkan spiritualitasnya.

Mental miskin bukan cuma menyakiti diri sendiri, tapi juga menciptakan budaya ketergantungan di masyarakat. Saat bansos jadi tujuan, bukan jembatan. Saat peminta-minta jadi profesi, bukan kondisi darurat. Kita pernah mendengar berita tentang pengemis yang ternyata punya tabungan puluhan juta, hanya karena mengemis dinilai “lebih mudah” dari bekerja. Ini bukan kemiskinan, tapi kehilangan malu.

Sementara itu, banyak orang sederhana hidup dengan martabat tinggi. Penjual gorengan yang tetap tersenyum dengan anggota tubuh tidak sempurna. Seorang yang kakinya hanya sebelah, namun tetap bekerja sebagai buruh bangunan. Mereka miskin secara materi, bahkan kekurangan secara fisik, tapi jiwanya paripurna. Mereka tidak menjadikan ketidaksempurnannya sebagai alasan meminta-minta, apalagi memaksa. Mereka percaya, apa yang ada di tangan Allah lebih cukup daripada apa yang bisa diminta dari manusia.

Sikap seperti ini disebut dalam Islam sebagai qana’ah—merasa cukup. Rasulullah ﷺ bersabda:

 "الْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى"

“Qana’ah adalah harta yang tak akan pernah habis.” (HR. Al-Baihaqi)

Qana’ah melindungi seseorang dari sifat tamak dan iri. Ia membuat hati lapang dan langkah ringan. Ulama seperti Syekh Muhammad Syatho Dimyati mengingatkan, “Ridhalah dan jangan meminta-minta, karena tidak ada perangai lebih buruk daripada tamak.” Maka orang yang merasa cukup, sejatinya sedang menjaga martabat dirinya dari kehinaan tersembunyi.

Namun, bagaimana kita bisa merasa cukup di zaman yang serba pamer dan konsumtif? Iklan menampilkan standar palsu. Media sosial membandingkan kita dengan orang lain. Semua seolah memaksa kita terus menginginkan, membeli, dan menunjukkan. Akibatnya, kita merasa miskin bukan karena kekurangan, tapi karena perbandingan yang tak realistis.

Di sinilah Islam menghadirkan konsep agung bernama zuhud.

Zuhud: Jalan Tengah yang Membebaskan Jiwa dari Ketergantungan


Pengemis kaya raya tertangkap di Kuwait memiliki harta kekayaan Rp 21 Miliar. Sumber: Merdeka.com

Zuhud bukanlah hidup di gua atau mengenakan pakaian lusuh. Bukan menolak kekayaan atau membenci dunia. Zuhud adalah ketika dunia tak lagi menempel di hati, meski ada di tangan. Ia adalah kemerdekaan batin, bukan kemiskinan lahiriah. Seperti dikatakan Imam Ibnul Qayyim, “Zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat di akhirat.”

Imam Ahmad bin Hanbal bahkan membagi zuhud ke dalam tiga tingkatan:

  1. Meninggalkan yang haram—ini zuhudnya awam.

  2. Menahan diri dari yang halal secara berlebihan—ini zuhudnya orang saleh.

  3. Menjauh dari apa pun yang membuat lalai dari Allah—ini zuhudnya orang yang menempuh jalan kedekatan ruhani.

Jadi, zuhud bukan sikap anti-duniam, tapi sikap memahami posisi dunia—ia adalah sarana, bukan tujuan. Itulah sebabnya Rasulullah ﷺ bisa memimpin pasukan, mengelola umat, tetapi tetap tidur di atas tikar kasar dan menambal sendiri sandalnya. Karena hati beliau tak pernah diperbudak dunia.

Hasan al-Bashri mengatakan, “Zuhud bukan berarti kamu tidak memiliki apa-apa, tetapi ketika apa yang kamu miliki tidak menguasai hatimu.” Pernyataan ini menyentuh inti persoalan. Kita bisa punya gaji besar, aset banyak, tapi tetap zuhud—selama kita tidak diperbudak keinginan. Selama kita mampu berkata, “Saya cukup,” bahkan saat bisa membeli lebih.

Pun, ketika seseorang Allah Swt. uji dengan kemiskinan dan kesulitan. Kondisi tersebut tidak lantas mencukupinya alasan untuk melakukan perilaku yang merendahkan martabat maupun agamanya, baik dengan cara meminta-minta, apalagi mencuri. 

Zuhud sangat relevan hari ini. Ketika orang terjerat utang demi gaya. Ketika seseorang merasa malu hanya karena tidak memakai merek tertentu. Ketika keinginan menjadi pusat identitas. Dalam situasi seperti ini, zuhud adalah perlawanan spiritual terhadap budaya “mengemis gaya hidup.”

Hebatnya, zuhud bukan hanya membebaskan—tapi juga memuliakan. Ia menjaga kita dari rasa iri, haus pujian, dan tuntutan semu. Ia membentuk ketenangan. Karena orang yang zuhud tak terlalu peduli dilihat siapa, selama ia tahu Allah melihatnya. Ia tak meminta dikagumi, karena ia sudah ridha dengan hidupnya.

Zuhud juga memperkuat qana’ah. Keduanya saling menguatkan. Zuhud menahan, qana’ah menerima. Zuhud mencegah tamak, qana’ah menumbuhkan syukur. Itulah sebabnya para ulama sering menyandingkannya. Karena dari sinilah lahir jiwa yang merdeka, tegar, dan tenang.

Dalam dunia kerja, zuhud mendorong keikhlasan. Dalam dunia dakwah, zuhud menolak popularitas semu. Dalam dunia rumah tangga, zuhud membuat pasangan mampu bahagia dalam kesederhanaan. Ia bukan penghalang kemajuan, tapi pelurus niat dalam setiap kemajuan.

Pada akhirnya, zuhud adalah penjaga martabat batin. Ia menjauhkan kita dari ketergantungan pada pengakuan, bantuan, atau pujian. Ia menempatkan kita di posisi tertinggi dalam Islam: menjadi hamba Allah, bukan hamba dunia. Di sanalah kita dapat menemukan ketenangan yang tak bisa dibeli: hati yang lapang, tangan yang memberi, dan jiwa yang tak lagi mengemis.


Share This