Realita Memang Pahit: Belanja Online Memang Praktis, Namun Pengrajin Lokal Makin Tersingkir

Wali Umat – Bayangkan memanggul kursi-kursi bambu besar, menyusuri jalan dari pagi hingga malam… lalu pulang tanpa hasil. Seorang bapak, tertangkap kamera sedang memanggul kursi bambu untuk tiga orang, namun belum ada satupun yang laris. Bukan cuma punggungnya yang sakit… hatinya juga. Namun, Ayah tetap berjalan karena ia tahu, keluarga tak bisa menunggu. Rezeki tak datang kalau ia diam. Ya Allah, kuatkan dia yang tak pernah mengeluh meski dipukul hidup bertubi-tubi.
Ia bukan satu-satunya. Di balik keramaian kota dan algoritma belanja daring, ada ratusan ribu tangan tua yang masih sabar mengikat bambu, mengampelasnya, lalu menyusun jadi kursi. Bukan karena tren, namun karena itu satu-satunya keahlian yang ia miliki. Kursi bambu yang dulu banyak dicari kini hanya jadi pemandangan usang di pinggiran zaman.
Di sisi lain, pasar kita dibanjiri kursi plastik, rotan sintetis, dan produk-produk berdesain Skandinavia yang dikirim kilat dari gudang pinggiran kota. Kursi-kursi ini cantik di foto katalog, ringan dibawa, murah dibayar. Kenyataan pahit memang.
Penjual kursi bambu itu bukan cuma sedang kalah saing. Ia sedang terlindas zaman yang menganggap “proses” sebagai sesuatu yang lambat dan karenanya harus disingkirkan. Padahal justru di proses itulah, manusia menyatu dengan ciptaannya—dengan tangannya, pikiran, dan jiwanya.
Dalam tiap simpul anyaman bambu, tersimpan waktu, perhatian, dan harapan. Sebuah kerja yang tidak bisa didelegasikan ke mesin. Kursi bambu adalah pengingat bahwa keindahan bukan cuma soal bentuk, tapi juga tentang kejujuran niat dan ketulusan waktu yang dilebur ke dalam karya.
Di sisi lain, kita tak bisa memungkiri, dunia terus melaju. Kita makin terbiasa pada kecepatan. Belanja cukup satu klik, barang datang esok hari. Bahkan, jika tak cocok, tinggal retur tanpa kata maaf. Hubungan kita dengan barang menjadi dangkal. Apalagi hubungan kita dengan pembuatnya—nyaris tidak ada.
Dalam dunia seperti ini, keberlanjutan jadi kata yang sering disebut tapi jarang sungguh dimaknai. Produk ramah lingkungan dikampanyekan, tetapi tidak dibeli. Barang yang bisa diperbaiki diganti dengan yang baru, hanya karena tren. Keberlanjutan jadi branding, bukan pilihan hidup.
Lalu lahirlah fenomena “planned obsolescense”— ragam produk, termasuk furniture yang dibuat untuk rusak, agar kita membeli lagi. Hidup kita jadi seperti katalog yang terus diperbarui, bukan karena kebutuhan, tapi karena bosan atau karena memang lebih cepat rusak. Padahal, dari bosan yang tak disadari itulah, limbah dan rasa hampa bertambah.
Di balik semua itu, ada si Bapak penjual kursi bambu. Yang mungkin dulu punya langganan tetap: pemilik warung, kepala sekolah, atau tukang cukur. Namun, mereka pun kini memilih yang praktis—yang bisa dicicil di e-commerce. Tanpa sadar, kita meninggalkan orang yang selama ini membuat rumah kita terasa hangat.
Ia tetap berjalan, walau kadang pulang tanpa membawa uang. Mungkin hanya sebungkus nasi dan sebotol air putih di tasnya. Namun, ada yang tetap menyala: keyakinan bahwa kerja keras itu bagian dari harga diri. Bahwa tangan yang bekerja jujur tetap akan dijaga oleh Allah.
Di titik ini, kita perlu bertanya: Apa yang sedang kita rayakan? Kecepatan atau kebermaknaan? Harga murah atau nilai panjang umur dari sebuah barang? Apakah kita sungguh makin maju… atau justru makin menjauh dari jati diri?
Itqan, Konsumerisme, dan Seruan untuk Berhenti Sebentar
Hadi, Si Pedagang Keliling Furniture Kerajinan Bambu. Sumber: Eksposkaltim/Nirwana
Budaya konsumerisme hari ini tak selalu berteriak. Ia merayap diam-diam di notifikasi diskon, desain kemasan, dan dorongan impulsif saat merasa “kurang.” Kita membeli bukan lagi karena butuh, tapi karena takut ketinggalan. Takut terlihat biasa saja.
Yang mendorong bukan hanya keinginan, tapi ketakutan. Takut dianggap ketinggalan zaman, takut dianggap kurang mapan. Maka muncullah belanja sebagai pelarian—pelarian dari hampa, dari bosan, dari luka yang tak selesai.
Kekuatan marketing modern sangat tahu cara bermain di titik lemah manusia. “Limited edition,” “flash sale,” “diskon berakhir jam 12 malam.” Kita tak sempat berpikir: ini barang penting atau sekadar pemuas emosi sesaat. Konsumsi jadi candu, dan rumah kita jadi gudang benda yang tak memberi makna.
Akibatnya, ekonomi keluarga bocor perlahan. Uang yang seharusnya bisa jadi tabungan justru habis di keranjang belanja. UMKM lokal tersingkir oleh korporasi besar. Usaha kecil seperti si penjual kursi bambu kehilangan pelanggan—bukan karena kualitas, tapi karena kalah promosi.
Relasi dalam keluarga pun berubah. Anak-anak lebih mengenal merek daripada makna. Orang tua merasa gagal kalau tak bisa memberi yang “kekinian.” Padahal cinta tak butuh logo—hanya butuh hadir dan peluk yang tulus.
Secara psikologis, kita jadi generasi yang mudah stres karena sulit merasa cukup. Bahkan saat semua kebutuhan sudah terpenuhi, hati tetap kosong. Kita lupa rasa syukur. Kita lupa qana’ah: rasa cukup yang membebaskan.
Lingkungan juga tak luput. Produk massal yang tak tahan lama hanya menciptakan lebih banyak sampah. Barang cepat rusak dibuang, bukan diperbaiki. Sementara bumi kelelahan menanggung jejak-jejak rakus kita yang dibungkus estetika.
Di tengah semua ini, Islam datang membawa nilai yang mungkin terdengar “pelan”—tapi dalam: itqan. Kerja yang dilakukan sungguh-sungguh. Bukan sekadar rapi secara teknis, tapi juga jujur secara niat. Nabi ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya Allah mencintai jika salah satu dari kalian melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan."
(HR. Al-Bayhaqi)
Si Bapak yang menganyam bambu dan menjajakannya merupakan cerminan itqan—meski ia mungkin tak mengenal istilah itu. Ia mungkin tak tahu haditsnya, tapi ia hidup di dalam maknanya. Bekerja tanpa mencurangi, tanpa mengurangi. Melayani pembeli, meski tak tahu apakah mereka akan datang.
Bandingkan dengan kita yang sibuk mengejar target, memoles CV, mengejar impresi digital. Tanpa sadar, kita makin jauh dari nilai pekerjaan yang membentuk jiwa. Kita bekerja untuk pengakuan, bukan untuk keberkahan.
Padahal keberkahan itu bukan soal besar hasilnya, tapi soal ketenangan setelah menjalaninya. Kursi bambu itu mungkin tak pernah viral. Tapi ia bisa bertahan 10 tahun, diwariskan dari satu rumah ke rumah lain. Dan itu tak bisa dibeli dengan satu klik.
Mungkin kita perlu mulai dari satu pilihan kecil: membeli dari manusia, bukan dari mesin. Bukan karena kasihan, tapi karena percaya—bahwa hidup tak bisa dibangun dari kecepatan saja. Tapi dari hubungan, dari proses, dari nilai.
Jika suatu hari kamu bertemu Bapak penjual kursi bambu di jalan—yang berjalan memanggul kursinya seperti memanggul mimpi yang terus ia jaga—berhentilah sebentar. Lihat matanya. Itu mata yang tak butuh belas kasihan. Hanya butuh dihargai.
Sebab barangkali, dunia tak perlu lebih banyak barang. Namun, lebih banyak orang yang bekerja dengan sungguh-sungguh. Lebih banyak tangan yang bekerja dengan cinta, juga lebih banyak hati yang berani menunggu.