Penghuni Gerobak Tak Bisa Memberi Kasur Yang Empuk, Tapi Mereka Hadir Untuk Anaknya

Wali Umat – Di sebuah sudut kota, malam mengendap dalam senyap yang getir. Di antara lampu jalan yang mulai redup dan suara klakson yang terpantul dari dinding beton, sebuah gerobak tua berdiri diam. Di dalamnya, seorang anak kecil tertidur pulas, dibaringkan di atas tumpukan “sampah” yang disusun rapi oleh orang tuanya. Gerobak itu bukan sekadar alat angkut, melainkan rumah bagi mereka. Di “kursi kemudi”, orang tuanya tetap terjaga. Wajahnya lelah, tapi matanya masih menyapu malam, seolah memastikan dunia tak menyakiti anaknya yang sedang bermimpi.
Bagi mereka, gerobak itu adalah istana; sampah menjadi kasur terbaik yang bisa orang tuanya berikan. Orang tuannya mengerti, anak mereka terlalu kecil untuk mengerti betapa kerasnya hidup. Namun, sepantasnya orang tua, tentu tetap ingin membuat anaknya nyaman, meski dengan cara yang sederhana. Mereka memang belum bisa menawakan kenyamanan, tapi menebusnya dengan kehadiran.
Kenyataannya, bukan hanya satu atau dua keluarga yang hidup seperti ini. Data Per September 2024, BPS mencatat persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan dari Maret 2024 yang sebesar 9,03% atau 25,22 juta jiwa, dan merupakan angka terendah dalam satu dekade terakhir. Mirisnya, dalam menyikapi kemiskinan di Indonesia ini, pemerintah masih melihatnya sebagai “angka” sehingga dalam mengatasinya pun mereka melakukannya dengan mengotak-atik angka.
Pemerintah menetapkan garis kemiskinan nasional pada kisaran Rp595 ribu per kapita per bulan, atau sekitar Rp19–20 ribu per hari. Namun, sebagaimana diutip oleh Kompas, BPS mengatakan, angka ini bukan tolok ukur hidup layak—hanya batas paling dasar agar seseorang bisa dikatakan “tidak miskin” secara statistik. Realitanya, pengeluaran harian sedikit di atas angka itu belum tentu cukup untuk bertahan, apalagi hidup wajar, apalagi di kota besar. Standar ini pun jauh di bawah ambang kemiskinan internasional versi Bank Dunia, yang untuk negara seperti Indonesia, berada di angka sekitar Rp110 ribu per hari, sebagaimana dikutip oleh CNBC Indonesia.
Banyak di antaranya adalah keluarga dengan anak kecil yang harus bertumbuh dalam kondisi serba terbatas. Rumah kontrakan sempit, kasur tipis, bahkan untuk makan pun harus berulang dengan menu yang sama setiap hari. Telur goreng, tempe, nasi—itu pun kalau ada.
Faktanya, anak-anak tidak menilai hidup dari jumlah meter persegi rumah atau jenis ranjang tempat mereka tidur. Anak-anak mengenali cinta dari pelukan yang tulus dan dari siapa yang duduk menemani mereka saat takut. John Bowlby, dalam teori attachment-nya, menegaskan kelekatan emosional dengan orang tua jauh lebih penting dalam perkembangan psikologis anak dibanding fasilitas materi.
Bagi banyak orang tua dan ibu yang hidup pas-pasan, pilihan itu tidak tersedia. Mereka tidak bisa menawarkan sekolah mahal, gadget terbaru, atau bahkan makanan yang bergizi lengkap. Namun, mereka hadir, menjemput, menyuapi, menenangkan, dan membacakan do’a. Kehadiran yang mungkin tidak layak dipamerkan, tapi menjejak dalam di hati anak.
Ibu yang berupaya sekuat tenanganya memberikan kenyamanan bagi anaknya meski hari ini baru bisa memberikan kasur dalam gerbaknya. Sumber: Tangkapan layar instagram Wali Umat
Setiap hari mengulang menu yang sama memang tidak ideal. Namun, dalam perspektif antropologi makanan, keberulangan makanan sederhana justru menjadi simbol ketahanan. Bukan karena mereka tidak mau berubah, tapi karena mereka memilih untuk bertahan. Dan di meja sederhana itu, ada cinta yang tidak pernah habis disajikan.
Tidak sedikit orang tua yang diam-diam menyimpan rasa bersalah. Mereka merasa gagal karena tidak bisa seperti "orang lain". Tidak bisa menghadiahi sepeda listrik, tidak bisa liburan ke Bali, tidak bisa membelikan mainan baru setiap pekan. Namun siapa yang menetapkan standar itu semua? Benarkah anak-anak butuh semuanya, atau hanya butuh kita yang benar-benar hadir?
Islam tidak mengukur keberhasilan dari hasil akhir semata. Rasulullah SAW bersabda,
"أفضل الكسب كسب الرجل من يده"
"Sebaik-baik penghasilan adalah dari jerih porang tua tangannya sendiri." (HR. Ahmad)
Sebuah pengakuan spiritual atas nilai sebuah usaha, betapapun kecil hasilnya.
Anak-anak yang tumbuh dari rumah sederhana ini—rumah yang mungkin cuma petakan, atau bahkan gerobak—justru sedang diperkaya dengan warisan ketangguhan dan integritas. Mereka belajar, cinta tidak harus berwujud hadiah, tapi bisa hadir dalam bentuk peluh dan kesabaran.
Cinta Itu Perlu Hadir, Bukan Hanya Memfasilitasi
Sementara itu, di sisi lain jalan, ada rumah-rumah besar yang sepi. Kasur empuk, AC dingin, kamar penuh mainan, tapi tanpa canda tawa bersama orang tua atau ibu. Orang tua sibuk dengan rapat, target, dan proyek. Anak-anak mereka punya segalanya, kecuali satu: kehadiran.
Anak-anak seperti ini tumbuh dalam kelimpahan, tapi merasa kosong. Penelitian Harvard selama 75 tahun tentang kebahagiaan manusia menyimpulkan bahwa hubungan yang bermakna—bukan harta—adalah faktor utama kebahagiaan dan kesehatan jangka panjang. Ketika kehadiran digantikan oleh barang, yang tumbuh bukan kedekatan, tapi kekosongan.
Mari jujur. Adakah yang lebih menyakitkan daripada anak yang harus membeli perhatian orang tuanya dengan nilai rapor? Atau dengan diam, karena tahu orang tuanya terlalu sibuk untuk sekadar mendengarkan cerita anaknya di sekolah?
UNICEF mencatat, kualitas interaksi dalam keluarga punya dampak signifikan pada kesehatan mental anak. Waktu yang diluangkan, bukan uang yang dikeluarkan, yang menjadi fondasi utama tumbuh kembang jiwa anak. Tapi sayangnya, dalam hiruk-pikuk ambisi dan kesibukan, hal ini sering luput.
Kita sering terlalu sibuk mengejar masa depan anak, sampai lupa hadir di masa kini mereka. Padahal, masa kanak-kanak hanya lewat sekali, tidak bisa diulang, tidak bisa diundur. Fakta pahitnya, yang terlewat, tak selalu bisa ditebus dengan uang.
Anak tidak butuh kita setiap saat, tapi mereka butuh tahu kapan pun mereka butuh, kita ada. Kehadiran kita bukan sesuatu yang harus dijadwalkan seperti rapat.
Bagi orang tua yang sedang berjuang dari bawah, yakinlah: kalian sedang mewariskan nilai yang lebih mahal dari sekadar warisan harta. Kalian sedang mengajarkan arti kerja keras, kesetiaan, dan keberanian untuk hadir, meski lelah.
Mari bercermin dari si orang tua dalam gerobak itu. Ia tahu hidup tidak memberinya banyak pilihan. Namun, setidaknya ia tetap hadir, tetap melindungi anaknya dengan tubuhnya sendiri dari dingin malam dan tajamnya dunia.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan siapa pun, tapi sebagai pengingat buat semua orang tua:: jangan sampai kemewahan mengaburkan kehadiran. Jangan sampai peran sebagai orang tua digantikan oleh transfer bulanan.
Ada orang tua yang mencintai dengan pemberian—lewat hadiah dan liburan. Ada juga yang mencintai dalam diam—lewat peluh dan do’a. Keduanya valid. Namun, tanpa kehadiran, cinta kehilangan bentuknya.
Kalau kita punya lebih, jangan cuma memberi lebih. Hadirlah lebih dan kalau kita sedang merasa belum bisa memberi banyak, ketahuilah: kehadiran kita saja, jika tulus, sudah cukup bernilai.
Anak-anak tak pernah meminta dunia. Mereka hanya ingin tahu: apakah mereka penting bagi kita?
Untuk pertanyaan itu, hanya kita yang bisa menjawabnya—hari ini, selagi waktu masih ada.