Menemani Ayah Berjualan, Anak Ini Mengajarkan Kita Arti Bakti
Wali Umat – Ada sebuah video sederhana yang mungkin sudah sering kita lihat: seorang anak duduk di samping ayahnya yang berjualan di pinggir jalan. Di mata sebagian orang, pemandangan itu sekadar gambaran keluarga kecil yang berjuang demi hidup. Ada pula yang merasa kasihan, seakan anak itu “kehilangan masa kecilnya.” Namun jika kita melihat lebih dalam, di sana tersimpan pelajaran besar tentang arti kebersamaan dan bakti seorang anak kepada orang tuanya.
Kebersamaan yang lahir dari kesederhanaan sering kali kita anggap remeh. Kita terbiasa mengukur bakti anak kepada orang tua lewat materi, hadiah mahal, atau kesuksesan akademik. Padahal, momen-momen kecil saat anak menemani orang tuanya bekerja bisa menjadi bentuk bakti yang amat berharga. Di sanalah kasih sayang, pendidikan, dan nilai-nilai kehidupan diwariskan secara alami.
Kebersamaan dalam Kesederhanaan, Sekolah Kehidupan yang Nyata
Seorang anak yang ikut berjualan bersama ayahnya sedang belajar tentang tanggung jawab sejak dini. Ia mungkin tidak mengerti seluruh beban yang dipikul ayahnya, tetapi ia sudah tahu bagaimana rasanya ikut menjaga dagangan, menyapa pembeli, atau sekadar duduk mendampingi. Semua itu membentuk rasa tanggung jawab kecil yang kelak menjadi fondasi kedewasaan.
Pengalaman sederhana itu menumbuhkan kemandirian. Anak belajar bahwa hidup bukan hanya tentang menerima, melainkan juga tentang memberi kontribusi sesuai kemampuan. Ia belajar percaya diri, karena kehadirannya ternyata berarti bagi ayahnya. Inilah pendidikan yang tidak selalu bisa diberikan oleh sekolah formal.
Nilai universalnya jelas: anak-anak yang dilibatkan dalam proses hidup orang tuanya tumbuh lebih tangguh. Mereka tidak mudah rapuh ketika menghadapi tantangan, sebab sejak kecil mereka sudah terbiasa ikut berproses. Ada penelitian psikologi keluarga yang menunjukkan bahwa anak yang dekat dengan orang tuanya dalam keseharian, memiliki resiliensi lebih tinggi dibanding mereka yang tumbuh jauh dari figur orang tua.
Ayah dalam momen itu bukan hanya pencari nafkah. Ia juga seorang guru yang sedang menanamkan nilai-nilai hidup: kerja keras, kesabaran, ketekunan, dan kesederhanaan. Bahkan tanpa banyak kata, seorang ayah mengajarkan makna tanggung jawab hanya dengan memberi teladan nyata. Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya” (HR. Bukhari-Muslim). Dalam konteks ini, seorang ayah sedang menjalankan kepemimpinan mendidik anaknya.
Momen-momen kecil seperti duduk di samping ayah ketika berjualan bisa menjadi kenangan besar yang tidak lekang oleh waktu. Kelak, ketika anak itu tumbuh dewasa, ia mungkin sudah lupa berapa uang yang pernah dibawa pulang, tetapi ia tidak akan lupa bagaimana rasanya bersama ayahnya menunggu pembeli. Kenangan emosional semacam inilah yang membentuk jiwa anak.
Psikologi perkembangan menyebutkan bahwa memori masa kecil yang sarat kedekatan emosional dengan orang tua menjadi penopang karakter anak di kemudian hari. Anak yang merasa dicintai dan dibersamai akan lebih mudah mengembangkan empati, tanggung jawab sosial, dan ketahanan mental. Dengan kata lain, kebersamaan sederhana itu adalah “tabungan jiwa” bagi masa depan anak.
Tidak heran jika banyak kisah orang sukses yang menuturkan pengalaman masa kecil mereka bersama orang tua sebagai titik awal pembentukan karakter. Ada pedagang besar yang dulunya anak penjual keliling, ada guru besar yang dulunya ikut ibunya ke pasar, ada pemimpin yang dulunya menemani ayahnya berdagang. Semua kisah itu menunjukkan satu hal: pendidikan terbesar lahir dari kebersamaan nyata, bukan dari kata-kata semata.
Maka, kebersamaan sederhana adalah sekolah kehidupan yang tidak bisa dibeli dengan materi. Justru di situlah anak-anak belajar arti hidup secara otentik. Pertanyaannya, masihkah kita memberi ruang bagi anak-anak kita untuk belajar bersama dari kesederhanaan, atau justru kita sibuk mencari “kenyamanan instan” yang menghilangkan kesempatan mereka tumbuh tangguh?
Bakti Sejati, Lebih dari Sekadar Materi
Berbakti kepada orang tua (birrul walidain) sering kali kita pahami sebatas memberi uang atau memenuhi kebutuhan materi. Padahal, Al-Qur’an berulang kali menegaskan pentingnya sikap hormat, lembut, dan hadir bagi orang tua. Allah ﷻ berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya…” (QS. Al-Isra: 23).
Ayat ini mengingatkan bahwa bakti itu lebih luas daripada materi. Ia mencakup doa, sikap lembut, dan kesediaan mendampingi. Anak yang duduk menemani ayahnya bekerja, meski tanpa membawa pulang banyak hasil, sejatinya sedang melaksanakan salah satu bentuk bakti yang sangat mulia.
Orang tua sebenarnya tidak selalu mendambakan hadiah besar. Mereka lebih merindukan kebersamaan. Sering kali, hal paling mereka butuhkan hanyalah anak yang mau duduk sebentar, mendengarkan cerita mereka, atau menemani mereka saat beraktivitas. Kebersamaan semacam itu memberi rasa dihargai dan dicintai.
Dalam psikologi modern, kualitas hubungan orang tua–anak terbukti meningkatkan kesejahteraan emosional kedua pihak. Anak yang dekat dengan orang tuanya lebih sedikit mengalami depresi, sementara orang tua yang merasa ditemani anak lebih jarang mengalami kesepian. Satu momen kebersamaan bisa menyehatkan jiwa lebih dari seribu kata indah.
Kita sering salah paham, mengira bakti hanya akan sempurna ketika kita sudah sukses. Padahal bakti bisa dimulai sejak sekarang, bahkan dengan hal paling sederhana: menemani, menolong, menghargai. Ada banyak kisah inspiratif tentang anak-anak yang tetap mendampingi orang tuanya berdagang atau bekerja meski mereka sudah mapan, sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur.
Berbakti itu bukan menunggu nanti, melainkan mengisi setiap momen dengan kasih sayang. Bahkan doa tulus orang tua sering lahir bukan karena mereka diberi banyak harta, melainkan karena mereka merasa tidak sendirian. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua” (HR. Tirmidzi).
Karena itu, setiap kita perlu bertanya: kapan terakhir kali kita benar-benar hadir untuk orang tua? Kapan terakhir kali kita duduk tanpa tergesa, mendengarkan mereka bercerita, atau sekadar menemani mereka dalam aktivitas kecil? Jika sudah lama, barangkali tulisan ini adalah pengingat agar kita tidak menunda lagi.
Tidak perlu hal besar. Telepon sederhana, kunjungan singkat, menemani makan bersama, atau bahkan sekadar duduk di samping mereka bisa menjadi ibadah. Allah menilai ketulusan hati lebih daripada kemewahan hadiah. Kebersamaan sederhana adalah wujud bakti yang paling murni.
Pada akhirnya, kebersamaan kecil dengan orang tua bisa menjadi warisan kenangan terindah dalam hidup kita. Jangan menunggu kehilangan baru menyadari betapa berharganya momen sederhana itu. Mari kita hargai selagi masih ada waktu. Karena di balik setiap kebersamaan, ada doa, kasih sayang, dan keberkahan hidup yang tak ternilai.
Language
Indonesia
English
Arabic