Lingkaran Kemiskinan Akibat Putus Sekolah
Wali Umat – Karena harus bekerja, Alvin Qodri (16), harus putus sekolah. Padahal dia merupakan siswa dengan nilai tertinggi kelasnya saat SMP dulu. Lulusan SMPN 1 Plered itu menunjukkan surat keterangan lulus pada wartawan Kompas.id dan terlihat nilai rata-rata dari 11 mata Pelajaran mencapai 86.
Pada wartawan, Alvin mengaku paling suka Pelajaran Matematika, IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dan Seni Budaya. Sayangnya, nilai bagus itu terancam tak berarti apa-apa, lantaran keluarganya tak mampu membiayai Alvin sekolah ke jenjang SMA atau sedarajat.
Semangat Alvin terlihat dari pengakuan dari Ibunya yang kerap menemukan Alvin uring-uringan karena tak bisa sekolah. Upaya mencari sekolah yang murah terdekat sudah dilakukan, namun belum menemukan hasil. Alvin mengaku dia ingin sekolah agar kelak ia bisa kerja layak dan pada akhirnya dapat membantu ekonomi keluarganya lebih optimal.
Qadarullah, ayah Alvin sudah tiada alias yatim. Dua kakaknya, sama-sama putus sekolah hanya sampai setingkat SMP hanya mampu kerja serabutan dan lebih sering menganggur. Upah kakak iparnya yang tukang kayu pun tak lebih dari Rp 70.000 perhari. Ibunya, Saripah (51) pun sudah berupaya mememikul beban ekonomi keluarga dengan bekerja sebagai buruh cuci. Apa daya, penyakit gula telah memakan kesehatan matanya sehingga harus operasi sehingga harus lebih banyak beristirahat.
Untuk bertahan hidup, keluarga Alvin juga sudah mendapatkan bantuan sembako dari pemerintah senilai Rp 200.000. Namun, uang tersebut akhirnya harus habis untuk bayar utang. Belum lagi, biaya Listrik yang memakan Rp 100.000 yang tak lebih, hanya mampu untuk menghidupkan lampu, kipas angin, dan televisi tua.
Lingkaran Setan “Kemiskinan”
Kisah Alvin hanya satu dari sekian banyak anak yang putus sekolah di Indonesia. Untuk di Cirebon sendiri, menurut Data Pokok Pendidikan Pusat Data dan Teknologi Informasi Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi mencatat, 97 siswa SMP dan 15 siswa SMA di Cirebon putus sekolah pada 2022. Sebagaimana dikutip oleh detik.com, secara nasional pada tahun 2023, ada 31.246 orang lulusan SD yang tak lanjut ke SMP, kemudian 105.659 orang yang tak melanjutkan ke SMA, dan 73.388 lulusan SMA yang tak lanjut kuliah.
Sebagai perbandingan, angka tersebut ternyata lebih buruk ketimbang tahun covid atau 2021. Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mencatat angka yang jauh lebih mengerikan. Paling tidak, pada 2021, sebanyak 38.116 siswa SD dan 15.042 siswa SMP putus sekolah. Sementara itu, SMA/SMK hanya sebanyak 22.085 orang.
Angka tersebut otomatis berkontribusi pada peningkatan “pengangguran” atau diistilahkan dengan “tidak melanjutkan sekolah, bekerja, atau mendapatkan pelatihan yang dalam Bahasa Inggris diistilahkan dengan “not in employment, education, and training (NETT).
Warga beralih jadi tukang ojeg lantaran berhenti bekerja di Jakarta. Sumber: liputan6.com
Hingga Agustus tahun 2023, sebgaimana dikutip oleh Kompas.com, BPS menyebutkan lulusan sekolah dasar (SD) yang menganggur mencapai 1,63 orang, lulusan sekolah menengah pertama (SMP) 1,84 orang, dan lulusan sekolah menengah atas (SMA)/ sekolah menengah kejuruan (SMK) mencapai 3,56 juta orang. Mereka yang termasuk angka tersebut baru mereka yang berusia 15 – 24 tahun, totalnya mencapai 9,9 juta atau setara 22,25 persen dari total 44,7 juta anak muda Gen Z.
- Anak Sebagai Sumber Pendapatan
Menurut buku Sosiologi Anak dari Prof. Dr. Bagong Suyanto, faktor penyebab keluarga miskin putus sekolah sudah tentu bermacam-macam. Namun, yang paling sering menjadi penyebab itu berkaitan dengan fungsi dan peran anak sebagai salah satu sumber pendapatan strategis bagi keluarga, layaknya Alvin yang kami bahas sebelumnya.
Hal itu senada dengan realita yang dialami Farida Mahri sebagaimana dikutip kompas.id, pendiri Sekolah Alam Wangsakerta di Cirebon itu menilai, ada banyak faktor anak putus sekolah. Mulai dari tidak adanya layanan pendidikan yang memadai, masalah ekonomi, hingga pandangan bahwa sekolah tidak penting karena menghabiskan uang, bukan sebaliknya.
”Kami pernah mengajak anak putus sekolah untuk kembali sekolah. Sejumlah orangtua menolak karena kalau sekolah, anaknya nanti enggak kerja,” ungkapnya.
- Tantangan Pemerintah
Dalam rangka mengatasi faktor ekonomi, pemerintah pun sudah menggelontorkan dana yang tak sedikit untuk meringankan beban pendidikan di daerah, salah satunya lewat PIP. Pada tahun 2024 ini, pemerintah mengaggarkan Rp 13,4 Triliun untuk menunjang siswa yang tidak mampu.
Nyatanya, program ini pun menemui kendala, salah satunya dalam pendistribusian. Salah satunya, sebagaimana kasus yang terjadi di SDN Sukamanah, di Desa Sukajembar, kecamatan Sukanegara, Kabupaten Cianjur, di mana dana PIP siswa miskin malah digondol pihak sekolah, sebagaimana dikutip oleh bewaracianjur. Para siswa yang tercatat sebagai penerima mengaku tidak lagi menerima bantuan PIP sejak 2022 dan dengan total siswa 162, dana bantuan yang diperoleh SD tersebut mencapai 67,27 juta pertahun.
- Tantangan Sekolah
Selain aspek ekonomi keluarga yang bersangkutan, penyelenggara pendidikan juga menghadapi tantangan biaya pendidikan yang kian membengkak dari tahun ke tahun; bukannya makin murah, justru makin jauh dari jangkauan. Kenaikan biaya pendidikan ini turut dibenarkan oleh BPS. Disebutkan, uang pangkal sekolah mengalami kenaikan sebesar 10-15 persen setiap tahunnya. Sehingga, orang tua yang memiliki dua anak dengan usia selisih 1 tahun, akan membayar uang pangkal 10-15% lebih mahal untuk anak kedua.
Selain uang pangkal, BPS juga mencatat adanya peningkatan inflasi biaya pendidikan. Pada rilis Agustus 2023, BPS menyebutkan bahwa inflasi biaya pendidikan mencapai 2,38% dibanding tahun sebelumnya. Jika kondisi ini terus terjadi, maka biaya pendidikan untuk 5 atau 10 tahun yang akan datang akan makin tinggi.
Artinya, perkembangan angka putus sekolah akibat faktor ekonomi berpeluang terus meningkat ke depannya. Akibat putus sekolah, Maghfirah (2019)[1] menemukan, berkorelasi dengan perilaku menikah dibawah umur, perceraian dini, minum-minuman beralkohol dan pengguna obat-obatan. Artinya, putus sekolah berkorelasi dengan lemahnya kualitas SDM yang rendah, yang pada akhirnya menambah beban negara dan bangsa.
Padahal di sisi lain, negara kita menghadapi tantangan yang luar biasa, di mana, kita akan menghadapi kondisi “bonus demografi” pada 2045. Pun seiring dengan revolusi industri yang akselerasinya kian meningkat dengan hadirnya industri 5.0 yang tentunya menuntut kriteria tenaga kerja yang tentu saja berbeda.
Maka, selaku orang tua, kita harus terus meliterasi diri kita soal pentingnya pendidikan bagi anak. Dengan begitu, selaku orang tua, kita juga semakin semangat untuk menghadirkan pendidikan terbaik bekal anak nantinya. Pada akhirnya, anak kita akan menjadi bagian dari masyarakat dan turut memikul beban negrinya.
Juga, selaku orang tua murid, sejatinya kita memiliki kuasa untuk mengawasi sekolah. Jangan berpikir jika sekolah itu “tempat penitipan anak” agar kita bisa beraktifitas tanpa “beban”. Sekolah dan para guru adalah mitra orang tua dalam mengajar dan mendidik anak dengan lebih terstruktur. Awasi pelaksanaannya, cek kurikulumnya barangkali belum sesuai dengan yang anak kita perlukan.
Terakhir, jika Allah Swt. memberi kita kelebihan harta, alangkah baiknya jika kita turut berkontribusi; membantu anak-anak yang punya keinginan kuat buat sekolah layaknya Alvin. Siapa tahu “para Alvi” di luar sana, adalah orang-orang yang akan berkontribusi paling banyak pada kemajuan bangsa di masa depan.
[1] Destiar A. Maghfirah. “FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB SISWA PUTUS SEKOLAH
TINGKAT SMA/SMK NEGERI DI KOTA MATARAM”. Jurnal Kebijakan Pendidikan Vol. 8 Nomor 3 Tahun 2019