Lebih Sulit, Tapi Tak Seberisik “Mereka”
Wali Umat – Ketika banyak orang Indonesia yang berkeluh kesah soal lowongan kerja dan PHK di media sosial, di luar sana banyak orang yang lebih sulit, tapi tak berisik. Mereka adalah para lansia, orang-orang disabilitas, janda, duda, yatim, namun mereka menjalani hidup sejauh yang mereka mampu, tanpa berkeluh kesah. Berkeluh kesah itu baik, tapi kalau salah caranya, malah bisa merugikan.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto memaparkan, pihaknya menemukan data 4,21 juta warga RI berkeluh kesah soal lapangan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK) di aplikasi X (twitter). Dari total percakapan tersebut, sebanyak 29% membicarakan sedang mencari lowongan kerja, 25,6% mengatakan tetap semangat walau kena PHK. Sisanya, yakni 23,1% mempertanyakan lowongan kerja.
Memang benar jika, secara eksternal, data tersebut mengonfirmasi peningkatan PHK yang terus meningkat. Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mengumumkan, hingga Oktober 2024, 59.764 pekerja terkena PHK. Angka tersebut meningkat sejak bulan sebelumnya dan tahun lalu. Tercatat total PHK Oktober 2024 meningkat 12,78% dari September 2024 sebesar 52.993 pekerja yang terkena PHK. Artinya, angkat tersebut melonjak 31,13% dibandingkan bulan yang sama pada tahun 2023 lalu, yakni 45.576 pekerja.
Melihat angka tersebut, wajar jika menjadi alasan kekhawatiran bagi orang yang mulai memasuki usia kerja. Namun, bukan berarti kita boleh mengeluhkannya, apalagi dengan menyalahkan semata-mata pemerintah atau perusahaan. Nyatanya, yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan ialah kesenjangan antara kebutuhan industri dan tenaga kerja siap pakai blue collar (tenaga kerja lapangan/ buruh). Artinya, peluang itu ada, selama kita berupaya meningkatkan kapasitas diri kita.
Pun, sebelum berkeluh kesah dengan kondisi yang terasa kian sulit, cobalah kita lihat ke pinggir jalan. Bisa jadi, di sana banyak orang yang kondisinya lebih sulit dari kita. Namun, mereka tidak banyak berkeluh kesah, apalagi berkeluh kesahnya di medsos. Ada lansia yang bertahan hidup dengan berjualan lidi, ada yang matanya katarak plus tak bisa jalan yang berjualan kue basah. Jangan-jangan, bukan lowongan kerja yang banyak, bisa jadi gengsinya yang gede. Eksesnya, curhat di status WhatsApp, di X, atau di status Instagram.
Boleh Keluh Kesah, Asal
Pada dasarnya, senang berkeluh kesah, memang sudah default-nya manusia dari sananya. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Ma’arij ayat 19-21,
۞ اِنَّ الْاِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوْعًاۙ
Sesungguhnya, manusia diciptakan dengan sifat suka mengeluh.
اِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوْعًاۙ
Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah.
وَّاِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوْعًاۙ
Apabila mendapat keluasan harta, ia menjadi kikir.
Artinya, mengeluh itu pada dasarnya perilaku yang wajar. Bagaimanapun, dunia itu tempatnya ujian dan ujian seringkali membuat perasaan kita tak nyaman atau tidak puas dan berkeluh kesah adalah sarana untuk melepaskannya. Hanya kita tidak boleh sembarangan melampiaskannya. Memang ada dampak positif yang bisa timbul mengeluh, namun dampak negatifnya juga tidak sembarangan. Bisa melemahkan mental sendiri hingga merusak hubungan dengan sesama.
Fenomena yang berkembang belakangan, banyak orang yang berkeluh kesah di media sosial. Masalahnya, kadang yang dikeluhkan itu terkait dengan “kamar sendiri” atau menyinggung perasaan orang lain karena bisa jadi memang dimaksudkan untuk menyindir yang bersangkutan. Ragam sumber merangkum jika curhat di media sosial ini merupakan perilaku yang dilatarbelakangi oleh beberapa hal, di antaranya; cari perhatian, pelepasan emosi, validasi, ekses dari merasa kurang didengarkan, takut dengan penolakan jika curhat secara langsung, atau kesulitan mengatur kata-kata.
Hanya, curhat di media sosial itu berpotensi menimbulkan dampak negatif, baik secara hubungan dengan sesama, mapun terkait dengan mental kita di masa yang akan datang.
Membuat pengeluh dicap labil karena ketidakmampuannya mengendalikan emosi,
penyesalan di masa mendatang akibat malu atau merasa bersalah,
mengganggu hubungan dengan orang atau pihak yang dikeluhkan, misal dengan pasangan, keluarga, atau dengan kantor jika yang dikeluhkan adalah pihak-pihak tersebut,
menimbulkan factitious disorder by internet, yaitu gangguan mental yang ditandai dengan mudah mengeluhkan sakit atau menderita atas kehidupan yang dijalaninya melalui internet.
Lebih spesifik lagi, sebuah paper ilmiah karya Wenny Syawatul Hasanah, mengemukakan, ada sebuah studi yang dilakukan oleh Departemen Biologi dan Psikologi Klinis di Universitas Friendrich Schiller di Jerman yang menemukan, “Jika kita berada bersama orang- orang berperilaku negatif atau yang suka mengeluh terus-menerus, dapat mengakibatkan otak memiliki reaksi emosional yang sama sebagaimana yang akan kita alami ketika berada dalam kondisi stres. Jika tingkat stres dan emosi negatif pada diri sendiri meningkat maka makin tertekan, rendah diri, dan tidak dapat berpikir positif.”
Maka, demi keamanan atau kebaikan, alangkah baiknya, kita tidak melakukan keluh kesah di internet. Ingatlah nasihat dari Ali RA. yang mengatakan, “Tak perlu menjelaskan tentang dirimu pada siapapun. Ketahuilah, yang menyukaimu tak membutuhkannya, yang membencimu takkan percaya itu.”
Pada dasarnya, tempat terbaik untuk berkeluh kesah itu adalah Allah Swt. karena memang begitulah seharusnya orang beriman; bisa merasa tenang dengan curhat pada-Nya. Tugas kita selaku hamba adalah menyembah-Nya dan berkeluh kesah pada-Nya. Bahkan, diterangkan oleh Ibnu Qayyim, berkeluh kesah pada manusia soal nasib yang sedang dialami pada manusia itu kebodohan, lantara ia mengeluhkan pada makhluk apa yang menjadi ketetapan sang khaliq atas dirinya.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Al-Fawaid,
“Orang yang bodoh adalah orang yang mengeluhkan tentang Allah pada manusia. Ini dikatakan bodoh karena dua kesalahan: (1) yang dikeluhkan adalah tentang ketetapan Allah dan (2) siapa yang dituju saat mengeluh yaitu manusia yang lemah. Karena seandainya seseorang benar dalam mengenal Rabbnya, tentu ia tidak akan mengeluhkan apa yang Allah tetapkan. Kalau ia juga tahu lemahnya manusia, ia tentu tidak akan mengeluhkan hal tadi pada manusia.”
Jika melihat seseorang yang mengeluhkan keadaan dirinya yang miskin melarat, ulama terdahulu biasa mengatakan, “Demi Allah, kesengsaraanmu tak akan lepas jika engkau malah mengeluhkan tentang Allah yang sejatinya Maha Menyayangimu lalu kau keluhkan pada manusia yang sejatinya tidak menyayangimu.”
Dengan pemahaman tersebut, maka benarlah ungkapan yang menyebutkan, “jika engkau mengeluh pada manusia, yang terjadi adalah engkau sedang mengadukan Allah Yang Maha Penyayang kepada manusia yang belum tentu penyayang.”
Maka, jika nasib yang terasa kurang menyenangkan atau mengecewakan itu datang pada kita, apakah itu perilaku pasangan kita, anak kita, tetangga kita, atau pemimpin kita, hendaknya kita mengadukan semuanya pada Allah Swt. tentu berkeluh kesah itu berbeda dengan memberi nasihat. Berkeluh kesah juga berbeda dengan meminta nasihat atau mencari solusi. Penulis ingatkan kembali, berkeluh kesah itu mengungkapkan perasaan yang kurang nyaman di dalam dada. Dalam hal ini, mari kita curhatkan segala ketidaknyamanan dalam dada kita melalui shalat, sebagaimana lanjutan firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Ma’arij ayat 22-23,
اِلَّا الْمُصَلِّيْنَۙ
Kecuali orang-orang yang melaksanakan salat,
الَّذِيْنَ هُمْ عَلٰى صَلَاتِهِمْ دَاۤىِٕمُوْنَۖ
mereka konsisten melaksanakan salatnya,
Shalat, adalah sarana kita berkeluh kesah yang kemudian dapat menenangkan hati kita karena shalat adalah sarana dzikir pada-Nya hingga dapat menguatkan kesabaran kita. Pada akhirnya, mengantarkan kita pada kesuksesan atau keberhasilan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Mu’minun ayat 1-2,
قَدْ اَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ ۙ
Sungguh beruntung orang-orang beriman,
الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلٰو تِهِمْ خَاشِعُوْنَ
yaitu orang yang khusyuk dalam salatnya
Jika kondisi kita saat ini membuat kita tak nyaman, mari kita bercermin dari para lansia, saudara kita yang berkebutuhan khusus, namun tetap berjuang dan tak mengeluh. Kondisi mereka bisa jadi lebih berat dari kita, namun mereka tak berisik. Menerima apa yang menjadi ketetapan Allah Swt. dan kalaupun berkeluh kesah, dalam sunyi; berdua-an dengan Allah Swt.