Ketika Yang Miskin Justru “Kaya”, Yang Kaya Justru “Miskin”
Wali Umat – Ketika kita mendapati tokoh-tokoh ternama dengan harta melimpah, justru malah “berat” mengeluarkan hartanya, bapak-bapak penjual balon justru meng-gratis-kan balon jualannya untuk anak Yatim. Mengapa ada orang miskin yang justru dermawan, sementara orang kaya justru banyak menahan?
Seorang bapak tertangkap kamera sedang mengayuh sepedanya dengan beberapa buah balon di bagian belakangnya, ia menaruh tulisan “anak yatim gratis”. Rupanya ia sudah 25 tahun berjualan balon. Hanya, zaman tak memberinya kesempatan untuk berbenah sehingga ia tak mampu menyesuaikan dengan tuntutannya. Meski kondisinya nampak membutuhkan, namun ia justru bisa berbagi kebaikan.
Di belahan bumi lain, beberapa tokoh dunia dilaporkan pelitnya minta ampun. Misalnya, seorang komedian yang menurut rekannya suka “belaga miskin”. Padahal penghasilannya di awal abad ke-20 bisa mencapai Rp 158 jutaan perpekan. Ada juga, pengusaha minyak kelas dunia, yang tidak mau membayar biaya akomodasinya sendiri ketika diundang menjadi pembicara dan memasang telepon berbayar di rumahnya sendiri sehingga para tamu harus membayar saat menggunakannya. Kemudian, ada juga tokoh politik satu negara yang tak pernah mau keluar uang sepeserpun buat makan, bahkan selalu minta ditraktir teman, padahal dia kaya sejak lahir.
Melihat realitas tersebut, menurut Gus Baha, memang sedekah itu lebih mudah dilakukan saat miskin dibanding ketika seseorang sudah kaya. “Saat miskin, memberi sedikit dari yang kita punya tersasa lebih ringan dibandingkan ketika harta kita melimpah,” ujarnya sebagaimana dikutip oleh liputan6.com.
“Misal,” kata Gus Baha melanjutkan, “seorang memiliki harta sejumlah Rp 100.000, kemudian kiai-nya meminta Rp 50.000 alias 50%-nya, kemungkinan besar, dia akan rela memberikannya. Namun, ketika ia memiliki dua sapi, misal sapi Brahman atau Limousin, terus diminta salah satunya oleh kiai, mungkinkah diberikan? Kemungkinan besar tidak boleh.”
Pertaannya, apa yang terjadi dalam diri orang miskin sehingga ia lebih mudah berbagi daripada saat menjadi kaya?
Jalan “Memperkaya Diri”
Menurut beberapa sumber, karena dia merasakan sulitnya hidup dalam kemiskinan, makannya dia lebih sensitif ketika ada orang yang meminta padanya. Sementara orang kaya, karena dirinya sudah merasakan sulitnya mendapatkan harta barang sepeser, makannya dia jadi berat untuk memberikannya pada orang lain. Biasanya, mereka beralasan, “memberi itu tidak mendidik”.
Selanjutnya, orang miskin biasanya cenderung “merasa terisolasi” dari lingkungannya. Dengan begitu, besar harapan, orang-orang di sekitarnya dapat melakukan hal yang sama pada dirinya. Istilahnya, investasi sosial. Sementara, menurut periset di University of California, Los Angeles, orang-orang yang memiliki banyak harta, cenderung jadi individualis dan tidak peduli pada lingkungan sekitarnya. Perilaku tersebut, kadang terdukung dengan bangunan rumahnya yang biasanya tertutup dengan pagar yang tinggi.
Dari kedua temuan tersebut, kita dapat menemukan, bahwa “benang merah” kedermawanan adalah empati atau kepekaan sosial. Sebenarnya, baik kaya maupun miskin, jika ada kepekaan sosial tinggi pada dirinya, dia takkan segan untuk berbagi pada siapapun. Maka, jika Allah Swt. melapangkan kondisi perekonomian kita, maka mulailah dengan menjaga rasa empati. Ingatlah, betapa sulitnya saat kita menjadi orang yang kekurangan. Kondisi berkekurangan sudah cukup memberatkan, ditambah dengan tidak dipercaya juga. Maka, itu pula yang orang lain mungkin rasakan.
Ilustrasi meningkatkan kepekaan sosial. Sumber: rri.co.id/ freepik
Dalam hal ini, kita dapat melihat bagaimana generasi sahabat dalam interaksinya dengan sesamanya. Kita semua tahu, sembilan dari sepuluh yang dijamin masuk surga adalah para hartawan, namun mereka tak kehilangan kepekaan pada sesamanya, bahkan mengajarkannya pada anak-anaknya. Ialah Abdullah bin Umar, anak Umar bin Khatthab pernah menangis karena diolok-olok oleh teman-temannya. Rupanya, hal itu terjadi lantaran bajunya penuh dengan tambalan, padahal ia anak dari Amirul Mukminin.
Namun, mungkin tak semua orang bisa tersentuh dengan cara tersebut. Ada orang yang memang orientasi hidupnya “mencari keuntungan”. Di sinilah kita menemukan hikmah mengapa Allah Swt. mengekspos keutamaan bersedekah itu, bukan untuk “kepentingan orang miskin”, melainkan untuk “keuntungan” berkali lipat bagi dirinya, baik di dunia maupun di akhirat nanti. Allah Swt. menyentuh sisi pragmatis orang-orang kaya. Pertama, jadi kebaikan dengan kali lipat tidak terbatas. Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 261, Allah swt. berfirman,
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai dan pada setiap tangkai terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan pahala bagi orang yang dikehendaki-Nya dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.
Terkait perumapamaan tujuh ratus kali lipat, Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Perumpamaan ini lebih berkesan dalam hati daripada hanya menyebutkan sekadar bilangan tujuh ratus kali lipat, mengingat dalam ungkapan perumpamaan tersebut tersirat pengertian bahwa amal-amal saleh itu dikembangkan pahalanya oleh Allah Swt. buat para pelakunya, sebagaimana seorang petani menyemaikan benih di lahan yang subur. Sunnah telah menyebutkan adanya pelipatgandaan tujuh ratus kali lipat ini bagi amal kebaikan.”
Hal ini menggambarkan kebaikan yang bisa jadi tidak terbatas pada orang yang menginfakkan hartanya. Ada yang berupa balasan langsung di saat memberikannya, juga pada potensi manfaat ketika harta itu mengalir pada orang-orang yang membutuhkannya.
Selanjutnya, orientasikan “kesenangan pada harta” itu pada akhirat. Dalam hal ini, Rasulullah Saw. memberi pelajaran pada sahabat dengan menggambarkan “betapa rendahnya dunia”. Artinya, bukan berarti kita meninggalkan dunia, namun, “senikmat-nikmatnya harta yang kita nikmati di dunia, tak ada seujung jarinya kenikmatan yang bakal Allah Swt. berikan di akhirat”. Maka, “investasikan” harta kita untuk keuntungan berkali lipat di akhirat.
Dalam Qur’an, surat At-taubah ayat 38, Allah Swt. berfirman,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَا لَكُمْ اِذَا قِيْلَ لَكُمُ انْفِرُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اثَّاقَلْتُمْ اِلَى الْاَرْضِۗ اَرَضِيْتُمْ بِالْحَيٰوةِ الدُّنْيَا مِنَ الْاٰخِرَةِۚ فَمَا مَتَاعُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا فِى الْاٰخِرَةِ اِلَّا قَلِيْلٌ
Hai, orang-orang beriman! Mengapa saat dikatakan kepadamu, “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah,” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat? Padahal, kenikmatan dunia ini hanya sedikit jika dibandingkan dengan kenikmatan akhirat.
Bagaimana perbandingan “sedikitnya dunia dibandingkan akhirat”? Dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah Saw. bersabda,
وَاللهِ ، مَا الدُّنْيَا فِـي الْآخِرَةِ إِلَّا مِثْلُ مَا يَـجْعَلُ أَحَدُكُمْ إِصْبَعَهُ هٰذِهِ – وَأَشَارَ يَحْيَ بِالسَّبَّابَةِ – فِـي الْيَمِّ ، فَلْيَنْظُرْ بِمَ تَرْجِـعُ
Demi Allâh! Tidaklah dunia dibandingkan akhirat melainkan seperti salah seorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, -(perawi hadits ini yaitu)Yahya memberikan isyarat dengan jari telunjuknya- lalu hendaklah dia melihat apa yang dibawa jarinya itu?
Namun, semua langkah-langkah praktis tersebut, takkan berfungsi, jika hati seseorang keras lagi kotor sehingga sulit menerima nasihat dan sulit merasa. Maka, agar dapat melakukan langkah-langkah “memperkaya diri” di atas, penting untuk kita melembutkan hati kita. Tentu tiada cara lain, selain mendekatkan diri pada Allah Swt. dan meyakini bahwa semua risalah yang sampai pada kita adalah kebenaran. Maka, penting bagi seseorang untuk menjaga amal ibadahnya, menjauhi maksiat, banyak dzikir pada Allah Swt. dengan cara shalat, wirid, banyak membaca Al-Qur’an. Dengan begitu, niscaya hatinya akan lebih lembut dan mudah menerima kebenaran.
Kaya harta, tanpa “jiwa yang kaya” tidak berarti apa-apa kecuali akan memenjarakan seseorang. Maka, kayakan jiwa kita sehingga berapapun yang kita miliki, akan terasa “banyak”. Sebaliknya, mental yang miskin atau dadanya sempit, meski sudah bergelimang harta, tidak akan pernah merasa cukup. Maka, lembutkan jiwa, jaga kepekaan sosial, dan berimanlah pada janji-janji Allah Swt. di setiap rupiah yang kita infakkan pasti menguntungkan.
Wallahu a’lam bi shawwab