Kalau Marvel Saja Bisa Merawat Ibunya, Apa Alasan Kita Untuk Tidak Berbakti?

Wali Umat – Setiap hari, berita tentang anak yang menyakiti orang tuanya seakan tak pernah absen dari layar kita. Ada yang membentak ibunya hanya karena masakan tak sesuai selera. Ada yang tega mengabaikan ayahnya yang sakit, seolah tak lagi punya urat hati. Yang lebih mencengangkan: seorang pemuda menendang ibunya sendiri hanya karena tak diberi uang untuk judi online. Di tengah kabar seperti ini, tak sedikit dari kita merasa letih—seolah nilai bakti telah menjadi barang langka.
Namun, justru di tengah kelam itu, muncullah cahaya kecil dari seorang anak bernama Marvel. Ia baru kelas tiga SD. Namun, di usianya yang masih rapuh, ia telah menjadi penopang utama ibunya yang lumpuh. Ia merawat, menyuapi, dan memijat ibunya dengan tangan kecilnya. Artikel ini mengajak kita bercermin—jika Marvel bisa begitu tulus merawat ibunya, masih pantaskah kita berdalih untuk sekadar mengangkat telepon dari ibu?
ia tak punya fasilitas perawatan, tak punya tenaga pembantu, dan tentu tidak memiliki kekuatan yang besar. Namun, ia punya sesuatu yang bahkan sebagian orang dewasa kehilangan: keikhlasan. Ia tak menuntut balasan. Ia hanya ingin ibunya sembuh. Di sinilah letak pelajarannya. Di tengah banyaknya kisah durhaka, Marvel menjadi saksi kecil bahwa bakti itu tidak butuh syarat, hanya butuh cinta.
Ketika anak lain masih sibuk bermain atau mengeluh soal PR, Marvel memikul tanggung jawab yang bahkan orang dewasa pun banyak yang menghindar darinya. Namun tak pernah sekali pun ia terlihat kesal. Senyum dan kelembutan selalu menghiasi wajahnya ketika berada di samping ibunya. Ada anak-anak yang tumbuh dengan gawai dan kenyamanan, tapi lupa akan sosok ibu yang tiap hari mendoakan mereka. Lalu, Marvel—dengan segala keterbatasannya—hadir sebagai cermin yang menegur lembut: bahwa kasih sayang tak harus menunggu dewasa.
Kontras dari kisah Marvel, kita juga dihadapkan pada berita yang sulit dipercaya: seorang remaja menendang ibunya sendiri karena tak diberi uang untuk judi online. Ibunya menangis di pinggir jalan, dengan wajah lebam dan hati remuk. Anak itu, yang dibesarkan dengan penuh pengorbanan, justru membalas dengan kekerasan demi kesenangan sesaat. Bukan cuma soal judi atau uang, tapi ini soal kehilangan akal sehat dan nurani.
Marvel, kelas 3 SD yang harus merawat ibunya lantaran tak lagi mampu berjalanan karena pengeroposan tulang. Sumber: tangkapan layar postingan instagram Wali Umat.
Apa yang membuat seorang anak bisa begitu jauh dari cinta seorang ibu?
Fenomena seperti ini tak lahir dalam semalam. Ia tumbuh dari banyak hal: hilangnya keteladanan di rumah, terlalu besarnya pengaruh konten digital, dan melemahnya nilai adab dalam pendidikan. Anak tak lagi diajari memuliakan orang tua, tapi malah dijejali narasi bahwa orang tua sering salah, kolot, dan tidak tahu zaman. Ketika orang tua tak lagi dihormati, maka rusaklah fondasi jiwa generasi.
Padahal, dalam Islam, berbakti kepada orang tua adalah kewajiban agung setelah tauhid. Allah berfirman dalam QS Al-Isra' ayat 23–24
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
وَٱخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ ٱلذُّلِّ مِنَ ٱلرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِى صَغِيرًا
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
Dalam ayat itu, bahkan berkata "ah" pun dilarang. Ini menunjukkan betapa halusnya etika yang diajarkan Islam dalam memperlakukan orang tua.
Nabi SAW pun bersabda,
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ: – رِضَا اَللَّهِ فِي رِضَا اَلْوَالِدَيْنِ, وَسَخَطُ اَللَّهِ فِي سَخَطِ اَلْوَالِدَيْنِ – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِم
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ashr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keridhaan Allah tergantung pada ridha orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.” (HR. Tirmidzi, no. 1899)
Ini bukan sekadar nasihat, tapi fondasi hubungan kita dengan langit. Siapa yang ingin hidupnya berkah, maka mulailah dari mendapatkan ridha orang tua. Bahkan dalam satu hadits lain disebutkan, saat Nabi ditanya tentang amalan paling utama, beliau menjawab, "Shalat tepat waktu", lalu apa setelah itu? "Berbakti kepada orang tua", baru kemudian "jihad" (HR. Bukhari).
Sebaliknya, Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kabair menempatkan durhaka kepada orang tua sebagai dosa besar urutan ke-6, jauh di atas mencuri yang berada di posisi ke-21. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, menyakiti hati ibu atau ayah bukanlah dosa kecil. Itu bisa menjadi penghalang utama antara kita dan surga.
Sudah selayaknya, anak memperhatikan walau duri yang kecil yang mungkin keluar dari perilaku maupun perkataannya pada orang tua. Sepatutnya, kita belajar dari Alqamah. Ia dikenal sebagai ahli ibadah, rajin shalat, puasa, dan sedekah. Namun, ketika sakaratul maut, lidahnya kelu. Ia tak bisa mengucapkan syahadat. Setelah ditelusuri, ternyata ia pernah menyakiti hati ibunya karena lebih mendahulukan istrinya. Barulah setelah sang ibu memaafkan, Alqamah bisa menghembuskan nafas terakhirnya dengan kalimat tauhid. Ini bukan kisah legenda. Ini adalah cermin untuk siapa saja yang masih suka mengabaikan rintihan ibu.
Namun, kita dari peristiwa ini dapat bercermin sebagai orang tua. Bagaimanapun, anak itu tumbuh di “rumah” yang kita bangun selaku orang tuanya. Secara psikologis, relasi anak dan orang tua sangat memengaruhi stabilitas mental seseorang. Studi psikologi perkembangan menunjukkan bahwa kehangatan emosional dari orang tua berbanding lurus dengan ketenangan batin, daya resiliensi, dan empati sosial anak. Sebaliknya, relasi yang rusak—apalagi disertai kekerasan verbal atau fisik—bisa menimbulkan luka psikologis jangka panjang, rasa bersalah kronis, dan bahkan gangguan depresi.
Teori attachment dari John Bowlby menegaskan bahwa hubungan emosional di masa kecil—terutama dengan orang tua—akan membentuk pola relasi dan kepribadian di masa dewasa. Seorang anak yang terbiasa menyakiti atau mengabaikan orang tuanya berisiko besar tumbuh menjadi pribadi yang dingin, sulit menjalin relasi sehat, dan rentan kehilangan makna hidup.
Bahayanya, bukan saja di akhirat, durhaka kepada orang tua juga bisa berdampak pada kehidupan dunia seorang anak. Banyak ulama menjelaskan bahwa salah satu penghalang datangnya rezeki adalah rusaknya hubungan dengan orang tua. Imam Nawawi menjelaskan bahwa menyakiti mereka—secara fisik maupun hati—bisa membuat doa tidak dikabulkan dan keberkahan hidup terangkat.
Sebaliknya, banyak tokoh besar justru mencapai derajat tinggi karena bakti mereka pada orang tua. Imam Malik, misalnya, tumbuh di bawah bimbingan seorang ibu yang sangat menjaga adabnya. Ibunya tak hanya menyuruhnya belajar, tapi memilihkan guru terbaik—Rabi'ah bin Abdurrahman—dengan pesan: "Belajarlah adab darinya sebelum belajar ilmu." Maka tak heran jika ilmu Imam Malik begitu berwibawa.
Dari sini kita belajar: kadang, yang membentuk masa depan bukan sekadar kecerdasan atau modal, tapi ridha ibu.
Jangan salah, tak ada kata terlambat untuk berbakti. Jika orang tuamu masih hidup, dengarkanlah mereka. Peluk, atau setidaknya, jangan membentak. Jika mereka telah tiada, kirimkan do’a atau berwakaf atas nama mereka. Sebab cinta kepada mereka tak terputus oleh kubur.
Bakti bukan hal besar. Ia bisa sekecil menjawab telepon dengan suara lembut, menemani belanja, atau menahan diri dari debat yang tak perlu. Ia bukan soal uang, tapi soal rasa.
Marvel tak menulis teori. Ia tak hafal dalil. Namun, ia mengamalkannya dengan fasih. Ia menyuapi ibunya dengan tangan kecil, dan langit mencatat itu sebagai amal yang agung.
Maka, jika Marvel saja bisa melakukan itu di usia 9 tahun, apa alasan kita—yang dewasa, yang paham agama, yang punya tenaga dan logika—untuk tidak berbuat lebih baik?
Mari kita mulai hari ini. Jangan tunggu waktu luang, atau momen besar. Sebab kadang, satu ucapan lembut hari ini bisa menjadi alasan langit menurunkan rahmat besok.
Kalau Marvel bisa merawat ibunya dengan hati seluas langit, semoga kita tak perlu lagi mencari alasan untuk sekadar bersikap lembut pada ibu kita sendiri.