Jangan-jangan di Sebagian Suapan Nasi Kita, Ada Hak Bapak Ini
Wali Umat – Tahukah Anda, bahwa setiap butir nasi akan bersaksi di Yaumil Akhir soal nasibnya di dunia? Selayaknya orang beriman, kita waspada dengan setiap butir nasi tersebut agar jangan sampai mengatakan bahwa kita menyia-nyiakannya. Apalagi, di luar rumah kita, masih ada orang yang untuk sesuap makan saja, mesti mengais sisa makanan di tempat sampah. Jika Anda sulit membayangkan situasi tersebut, nyatanya fenomena tersebut ada di sekitar kita.
Salah satu dari mereka adalah abah Pandi, lansia berusia 70 tahun. Sebagai ikhtiar bertahan hidup bersama istrinya yang sudah pikun, ia memulung rongsokan. Sambil memulung rongsok, beliau mengutip dedaunan untuk dijadikan lalapan. Tak jarang abah berjalan dalam kondisi lapar sehingga saat ia menemukan sisa roti di tempatnya mulung, abah memakannya. Beliau berangkat dari pagi dan pulang jam 9 atau 10 malam dengan harapan dapat mengumpulkan lebih banyak botol bekas. Namun, sebanyak-banyaknya rongsokan terkumpul, yang abah dapat sebagai imbalan, tak lebih dari Rp 15.000,-
Rumahnya tak lebih dari gubuk dengan tembok berupa “bata eksposed”, sama sekali tanpa plester. Sebagai tempat tidur, jangankan kasur busa tepos, karpet pun bukan; hanya papan kayu yang dilapisi kain tipis. Di sisi lain, anaknya pun tak mampu membantu mengeluarkan dari kondisi tersebut lantaran kehidupannya tak lebih baik dari abah. Pun yang menjadi cucu, terpaksa putus sekolah, lantaran tak mampu secara finansial, tenaga pun tak ada.
Dalam hal ini, Abah merupkan satu dari 25,22 juta orang penduduk miskin di negara yang tanahnya subur dan mengandung kekayaan yang diakui dunia. Sementara itu, di negara yang sama, ada sebagian orang yang membuang-buang sisa makanannya, yang kalau dikumpulkan bisa mencapai Rp 551 Triliun. Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling banyak membuang makanan di ASEAN. Artinya, sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, jika tidak dibuang, jumlah tersebut dapat mengenyangkan perut-perut Para Abah Pandi di Indonesia.
"Pemanfaatan sisa pangan yang masih layak konsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi bagi sedikitnya 62% penduduk yang kekurangan," kata Suharso pada Juli 2024 lalu, sebagaimana dikutip oleh CNBC Indonesia.
Kajian Bappenas soal Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisan Pangan Dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 menemukan fakta, bahwa pada 2021, jumlah sampah makanan di seluruh Indonesia mencapai 20,94 juta ton. Makanan yang paling banyak dibuang masih merupakan makanan pokok, yakni beras dan jagung. Setelah itu, baru jenis buah dan sayuran. Kemudian, Dalam hal ini, DKI Jakarta menjadi penyumbang terbanyak sisa makanan dengan total 281 ribu ton per tahunnya.
Dalam hal ini, tentu pemerintah punya strateginya sendiri dalam mengentaskan tersumbatnya saluran makanan di kantong sebagian kalangan. Namun, selaku masyarakat, kita pun bisa berkontribusi nyata.
Sadar Butuh dan Sadar Cukup
Pada dasarnya, makan merupakan aktivitas alamiah manusia yang tertunjang oleh adanya nafsu makan atau selera makan (appetite). Hal tersebut memang berbeda dengan rasa lapar, yang muncul sebagai rasa tidak nyaman manakala badan membutuhkan asupan energi tambahan. Artinya, nafsu makan seseorang tetap ada meski tidak nampak tanda-tanda lapar. Masalahnya, nafsu makan ini, tidak diimbangi dengan kemampuan seseorang menakar porsi makan yang diambil. Akibatnya, porsi makan yang tadinya dikira bisa habis, malah bersisa karena keburu kenyang.
Litbang Kompas menemukan jika porsi makan terlalu banyak merupakan faktor utama makanan bersisa, yakni 57,8%. Yang berikutnya, barulah cita rasa makanan yang “mengecewakan”, yakni 20,3%. Faktanya, makin hari, konten di media sosial atau blog, banyak yang mengangkat tema kuliner, dengan ragam sajiannya; mulai dari mukbang, wisata kuliner, atau masak-memasak. Selain itu, hadirnya restoran dengan iklannya yang menggiurkan, juga pesta pernikahan. Sementara itu, lingkungan sosial dan penampilan makanan merupakan dua hal yang dapat meningkatkan nafsu makan. Nafsu makan ini penting karena dapat meningkatkan rasa nikmat saat makan, tugas kita adalah mengendalikannya.
Dalam hal ini, kita perlu mengenali diri. Tanya diri Anda saat melihat makanan dan mulai tergiur, tanya pada diri, apakah Anda saat itu sedang lapar atau tidak? Jika tidak sedang lapar, alangkah baiknya jika Anda menahan diri. Namun, jika pas kondisi lapar, barangkali, Anda dapat mengambil porsi normal. Rasa lapar dapat kita kenali dari rasa kurang nyaman pada bagian perut lantaran kosongnya lambung dari makanan. Selanjutnya, jangan menunda saat muncul rasa lapar. Menunda makan saat lapar dapat memicu nafsu makan yang terlalu tinggi dan akhirnya mendorong Anda makan lebih banyak pada kesempatan berikutnya. Alangkah baiknya lagi, jika kita makan pada saat benar-benar lapar saja. Perilaku tersebut akan sesuai dengan sunnah Rasulullah Saw.
عَنِ المِقْدَامِ بْنِ مَعْدِيْكَرِبَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ:
مَا مَلَأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ بِحَسْبِ ابْنِ آدَمَ أُكُلَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ فَإِنْ كَانَ لَا مَحَالَةَ فَثُلُثٌ لِطَعَامِهِ وَثُلُثٌ لِشَرَابِهِ وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالتِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ:حَدِيْثٌ حَسَنٌ
Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada tempat yang lebih jelek daripada memenuhi perut keturunan Adam. Cukup keturunan Adam mengonsumsi yang dapat menegakkan tulangnya. Kalau memang menjadi suatu keharusan untuk diisi, maka sepertiga untuk makannya, sepertiga untuk minumannya, dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Imam Ahmad, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Sisa makanan di hajatan. Sumber: kompasiana/ pribadi Sudarmono
Jika kita makan sebelum lapar, sementara nafsu makan tinggi, bagusnya makanan mungkin akan habis disikat. Namun, dalam jangka panjang, akan berbahaya bagi kesehatan tubuh sendiri. Apalagi, makanan-makanan yang ada di sekitar kita, kebanyakan mengandung glukosa yang pada ujungnya, dapat memicu penyakit diabetes. Diabetes, menurut WHO, merupakan empat pembunuh besar manusia. Sebaliknya, jika nafsu makan terhentikan di tengah jalan karena muncul rasa kenyang, akibatnya, makanan yang sudah terlanjur diambil jadi bersisa dan kemungkinan besar, dibuang.
Dalam Islam, mengambil makan berlebihan bisa masuk kategori “isrof” yang dilarang oleh Allah Swt. Dalam Qur’an, surat Al-A’raf ayat 31, Allah Swt. berfirman,
۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
Hai, anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.
Menurut Ibnu Abidin, “isrof” ada memanfaatkan sesuatu yang memang pantas namun dalam kadar/porsi di luar ambang batas. Makan merupakan aktivitas wajar bagi manusia. Namun, seseorang harus tahu batasnya. Dalam hal ini, penting bagi kita untuk mengetahui batas “cukup” saat makan dan minum, sehingga tidak berlebihan pada saat mengambilnya ke piring, maupun pada saat memakannya. Jika kita sudah tahu batas kebutuhan kita, sementara masih ada kelebihan, maka hendaknya kita menyedekahkannya sehingga Para Abah Pandi yang belum terpenuhi kebutuhannya, dapat turut menikmati.
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا ، فِى غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلاَ مَخِيلَةٍ
“Makan dan minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa bersikap berlebihan dan sombong.” (HR. An-Nasa’I, no. 2559. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)