Definisi Berbagi Itu Membahagiakan

Wali Umat – Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang seringkali dibayangi materialisme, sebuah momen sederhana mampu membuka mata hati. Seorang pemuda secara random mendekati bapak tukang parkir di sudut jalan dan dengan tulus menawarkan, "Sebut makanan apa saja yang engkau mau, aku akan bawain ke sini." Tanpa diduga, tukang parkir itu hanya meminta ayam bakakak, hidangan yang sederhana namun bermakna bagi keluarganya.
Kegembiraan pun terpancar; tukang parkir merasa dihargai dan diijinkan memenuhi kebutuhan keluarganya, sementara pemuda itu merasakan kebahagiaan sejati melalui aksi berbagi yang tulus. Kisah ini mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan diukur dari besar kecilnya harta, melainkan dari kemampuan untuk menyentuh kehidupan orang lain.
Sejatinya, saat seseorang memberi, ia seolah membuka ruang bagi keberkahan untuk mengalir dalam hidupnya. Bukankah, ketika kita berbagi, beban yang selama ini terasa justru berubah menjadi momen penuh kehangatan? Inilah bukti nyata bahwa kedermawanan membawa kebahagiaan dua arah.
Pemuda dalam kisah tersebut mengajarkan kita cara berbagi yang asyik dan penuh keikhlasan. Seperti yang telah dijelaskan oleh para ulama, kebaikan dalam berbagi mampu menumbuhkan ketenangan hati dan keberkahan yang tak ternilai. Imam Ghazali pernah menegaskan, “Sedekah adalah pemurni hati, yang apabila disalurkan, akan mendekatkan seseorang kepada keberkahan dunia dan akhirat.”
Tak hanya itu, Ibnu Qayyim juga mengajarkan bahwa dengan melepaskan sebagian harta, seseorang membuka pintu rezeki yang tidak terduga. Penelitian dalam psikologi positif oleh Sonja Lyubomirsky dan Martin Seligman pun mendukung bahwa tindakan altruistik meningkatkan kesejahteraan psikologis melalui pelepasan hormon oksitosin, hormon yang dikenal sebagai “hormon cinta.”
Lebih jauh, kedermawanan telah menjadi contoh nyata di kalangan para sahabat Rasulullah SAW. Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab, misalnya, dikenal dengan kesediaannya untuk menunaikan hak orang lain tanpa pamrih. Mereka membuktikan bahwa harta yang disalurkan tidak hanya meringankan beban sesama, tetapi juga mengisi energi spiritual pemberinya. Sebaliknya, harta yang ditahan terlalu kencang justru menjadi beban. Sebaliknya, ketika dilepaskan, harta tersebut menemukan maknanya dan mengundang keberkahan. Seperti ungkapan yang sering terdengar, “Harta yang ditahan, akan menjadi beban di hari kemudian.”
Di ranah psikologi, memberi berkorelasi dengan rasa puas dan kebahagiaan yang mendalam. Tindakan berbagi membantu seseorang merasa lebih berarti dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Hal tersebut mengokohkan kepercayaan diri serta memperkuat jaringan sosial yang positif. Dengan demikian, berbagi bukan sekadar tindakan materi, melainkan investasi batin dan menghasilkan nilai-nilai kebermaknaan.
Kebermaknaan dalam hidup tak hanya diukur dari apa yang kita miliki, melainkan dari apa yang kita berikan. Para ulama menegaskan bahwa harta yang ditahan akan selalu terikat oleh kecemasan dan kekhawatiran, sedangkan yang dibagikan akan menyebarkan kebaikan dan keikhlasan.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.” (HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah)
Pesan ini mengingatkan kita bahwa kekayaan sejati ada pada keberkahan yang datang dari memberi.
Akhirnya, tindakan berbagi adalah sebuah manifestasi iman yang mengubah cara pandang kita terhadap harta. Dengan melepaskan ketakutan dan kecintaan yang berlebihan terhadap harta, seseorang dapat menemukan kebahagiaan sejati dan keberkahan yang melimpah. Seiring dengan itu, umat Islam diajarkan untuk menyeimbangkan antara hak diri dan hak orang lain, sehingga tercipta kesejahteraan sosial dan spiritual yang harmonis.
Bahaya Menahan Harta Terlalu Kencang
Sebaliknya, menahan harta terlalu kencang, dapat berdampak negatif pada kesejathteraan mental dan spiritual secara signifikan. Dalam kajian ajaran Islam, kita dapat menemukan istilah “bakhi”l atau “syuh” yang merujuk pada perilaku menahan harta secara berlebihan, bahkan ketika seseorang mampu untuk berbagi. Secara sederhana, orang yang bakhil cenderung merasa takut kehilangan kekayaan yang ia miliki, sehingga ia tidak rela memberi meskipun itu bisa membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain.
Sifat ini dianggap sebagai penyakit hati yang menghalangi aliran keberkahan dan menghambat perkembangan spiritual. Imam Ghazali pernah menegaskan, “Kekikiran adalah penyakit yang meracuni hati dan memutus aliran rezeki.”
Implikasi psikologis dari sifat bakhil sangat signifikan. Penelitian dalam bidang psikologi klinis menunjukkan bahwa individu yang terlalu fokus pada harta cenderung mengalami kecemasan, stres, dan bahkan depresi. Ketakutan terus-menerus akan kehilangan harta menyebabkan beban mental yang berat dan mengurangi kualitas hidup secara keseluruhan.
Sebuah studi oleh Sonja Lyubomirsky dan Martin Seligman mengungkapkan bahwa perilaku menahan diri dari memberi justru menekan “sistem reward otak” sehingga mengurangi perasaan bahagia dan kepuasan hidup.
Lebih jauh, secara sosial, sikap bakhil dapat merusak hubungan interpersonal dan mengisolasi individu dari komunitasnya. Orang yang kikir sering kali dianggap egois dan kurang berempati, yang pada gilirannya menghambat terjalinnya rasa solidaritas dan kebersamaan.
Pantaslah, Rasulullah Saw. melarang keras sifat “bakhil” ini, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.” (HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029, 88.)
Dari segi spiritual, menahan harta adalah penghalang bagi pertumbuhan iman dan ketakwaan. Sifat bakhil membuat hati menjadi kaku, menghalangi seseorang untuk merasakan keberkahan dan keikhlasan dalam hidup. Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa harta yang disimpan dengan rasa takut dan kekikiran tidak akan mendatangkan rezeki yang berkah. Dalam Al-Qur'an, surat At-Taubah ayat 34, Allah Swt. berfirman,
۞ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ ٱلْأَحْبَارِ وَٱلرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَٰلَ ٱلنَّاسِ بِٱلْبَٰطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۗ وَٱلَّذِينَ يَكْنِزُونَ ٱلذَّهَبَ وَٱلْفِضَّةَ وَلَا يُنفِقُونَهَا فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,
Meski ayat ini lebih mengingatkan agar kita tidak terlalu melekat pada harta, ia juga mengandung pesan bahwa harta harus beredar untuk membuka pintu keberkahan.
Apa yang memicu sifat bakhil dalam diri seseorang? Faktor-faktor yang memicu sifat bakhil antara lain adalah ketakutan akan ketidakpastian ekonomi, tekanan sosial untuk mempertahankan status, dan kecenderungan materialisme yang mengaitkan nilai diri dengan kekayaan.
Para ulama berpendapat bahwa untuk mengatasi sifat ini, seseorang perlu meningkatkan keimanan dan memahami bahwa sejatinya rezeki berasal dari Allah, bukan semata harta yang ditimbun. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ghazali, “Manusia yang berpegang teguh pada harta duniawi akan selalu merasa kosong, karena harta itu hanyalah titipan sementara.” Pesan ini mengingatkan kita bahwa dengan berbagi, kita membuka diri terhadap keberkahan yang abadi dan memperbaiki kualitas mental serta spiritual.
Kalau kita masih banyak menahan diri, baik karena ketakutan maupun karena terjebak dalam budaya materialisme, kita sebenarnya menghalangi diri kita untuk merasakan kebahagiaan sejati. Harta yang ditahan justru menjadi beban, memicu kecemasan, dan mengikis kebahagiaan batin.
Sebaliknya, berbagi membuka pintu keberkahan, menumbuhkan rasa syukur, dan mempererat hubungan antar sesama. Sudah saatnya kita membebaskan diri dari sifat bakhil dan mulai menanamkan nilai kedermawanan dalam kehidupan sehari-hari.
Mari kita ambil langkah kecil menuju perubahan besar—mulai hari ini, bebaskan harta yang kita miliki untuk berbagi dengan sesama. Jadikan setiap tindakan kedermawanan sebagai investasi spiritual yang membawa keberkahan bagi hidup dan lingkungan sekitar.
Ayo, tantang diri kita untuk menepis keraguan dan mulai merasakan indahnya berbagi, sehingga kita tidak hanya mendapatkan kebahagiaan duniawi, tetapi juga kebahagiaan abadi di sisi-Nya. Bagikan kisah ini kepada teman dan keluarga, dan sebarkan inspirasi untuk dunia yang lebih baik.