Beli di Pedagang Kecil: Dapatnya Bukan Hanya Belanajaan, Tapi Keberkahan

Wali Umat - Ada sebuah potongan video tersebarl di media sosial. Isinya sederhana: seorang kreator membeli jeruk dari seorang kakek pedagang kecil. Tak ada dialog dramatis, tak ada gimmick. Hanya raut wajah si penjual yang berubah dari lelah menjadi cerah, dari hening menjadi syukur. Ia tak hanya menjual jeruk— hatinya digenggam oleh keramahan dan niat baik.
Di tengah kota yang berisik dan serba cepat, transaksi itu terasa seperti jeda. Dalam momen singkat itu, kita dapat menemukan jual-beli bukan sekadar pertukaran barang dan uang. Ada perasaan bahagia yang membuncah, ada do’a yang tak terlihat tapi terasa. Kakek itu mungkin baru menjual beberapa jeruk, tapi hatinya seperti sedang dipeluk.
Sebagai pembeli, kita sering memandang transaksi hanya dari sisi kebutuhan. Kita ingin makan, kita ingin barang, kita ingin diskon. Namun, di sisi lain meja itu, ada manusia yang mungkin sedang berharap-harap cemas agar barangnya laku hari ini dengan harga yang dapat membuatnya memenuhi kebutuhan barang sekali makan. Belum lagi, keluarga yang menanti uang dari hasil jualannya.
Kenyataannya, sebagian besar pedagang kecil di negeri ini bukan pebisnis besar yang bisa bermain harga. Mereka hidup dari hari ke hari, dari apa yang berhasil dijual pagi itu. Data dari BPS pada 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% pelaku usaha di sektor informal menggantungkan hidupnya dari pendapatan harian. Menawar terlalu rendah bisa jadi memang menguntungkan kita, namun di saat bersamaan, memukul perut mereka.
Sayangnya, banyak dari kita malah merasa puas ketika bisa menawar harga serendah mungkin - seolah memenangkan pertarungan. Padahal, bisa jadi yang kita tekan itu bukan sekadar angka, tapi juga harga diri juga hak dari anak sang pedagang. Kita lupa, di balik barang yang kita beli, ada proses panjang dan tenaga yang tidak kecil.
Gerobak pedagang kaki lima memenuhi pinggir jalan di Jakarta. Wikipedia/ Gunawan Kartapranata
Mengenai hal ini, secara tegas kita diingatkan melalui firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat An-Nisa ayat 29
...يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang didasari saling ridha di antara kalian..."
Ayat ini bukan hanya soal hukum jual beli, tapi tentang nilai spiritual di baliknya: keadilan, keikhlasan, dan martabat.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan disahihkan oleh Al-Albani, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya jual beli hanyalah dilakukan dengan saling ridha." Kalimat ini tampak sederhana, tapi dampaknya besar. Tanpa kerelaan dua pihak, transaksi jadi sah secara teknis, tapi bisa hampa secara ruhani.
Para ulama menegaskan bahwa keberkahan dalam transaksi lahir dari keikhlasan kedua belah pihak. Saat penjual merasa dihargai, dan pembeli merasa tulus, uang yang berpindah membawa kebaikan.
Hasilnya? Keberkahan. Imam Al-Ghazali menjelaskan, keberkahan adalah bertambahnya kebaikan yang menetap dalam sesuatu dan itu bisa bermula dari niat kecil saat membeli jeruk. Tentu bukan berarti kita mengabaikan kualitas sama sekali. Kelayakan makanan tersebut dimakan atau tidak tetap menjadi pertimbangan karena kita membeli manfaat untuk diri kita, jangan malah jadi sia-sia atau mubazir.
Keberkahan bukan hanya tentang berapa banyak yang kita dapat, tapi tentang sejauh apa itu membawa manfaat. Makanan yang dibeli dengan do’a, lebih mungkin menguatkan tubuh dan membersihkan hati, daripada makanan mewah yang didapat dengan menindas orang lain. Hal kecil, tapi berdampak jauh.
Bayangkan, seorang kakek pedagang tersenyum tulus karena kita tak menawar berlebihan. Lalu ia mengucapkan, “Semoga rezekimu lancar ya, Nak.” Kalimat itu sederhana, tapi bisa menjadi sebab terbukanya pintu langit. Do’a dari hati yang jujur bisa jadi lebih tajam dari kata-kata ulama besar.
Sebaliknya, jika transaksi dilakukan dengan tekanan, bahkan jika sah secara aturan, keberkahannya bisa berkurang. Kita tetap dapat barangnya, tapi kehilangan do’a kebaikan. Kita kenyang, tapi bisa jadi tanpa rasa syukur. Kita untung, tapi mungkin membawa kesempitan tanpa disadari.
Makanan yang Mengandung Keberkahan
Rizki yang baik bukan hanya tentang banyaknya, tapi juga tentang bersihnya cara memperoleh. Dalam Islam, keberkahan lebih diutamakan daripada kuantitas. Nabi Saw bersabda bahwa sebaik-baik harta adalah yang didapat dengan cara yang baik dan salah satu cara terbaik adalah lewat transaksi yang lembut dan saling menghormati.
Keberkahan, secara bahasa, berarti bertambahnya kebaikan, manfaat, dan nilai. Dalam kehidupan, keberkahan bisa bermakna umur panjang yang penuh amal, makanan yang sedikit tapi mencukupi, atau rezeki kecil yang cukup untuk menenangkan hati. Nilai ini yang sering hilang dalam logika ekonomi modern.
Makanan yang berkah tidak harus banyak. Ia cukup, menyehatkan, dan memberi kekuatan. Dalam tafsir para ulama, makanan berkah adalah yang membuat pemiliknya lebih dekat pada ibadah, bukan yang membuat lalai atau malah menimbulkan penyakit.
Dari perspektif kesehatan, WHO menyebut bahwa pola konsumsi yang berlebihan dan impulsif justru menjadi penyebab meningkatnya penyakit metabolik. Artinya, banyak bukan selalu baik. Fakta tersebut menguatkan pesan Islam soal kesederhanaan dalam konsumsi.
Ketika kita membeli dengan niat baik, kita tidak hanya memberi nafkah pada orang lain, tapi juga menanam energi baik ke dalam tubuh kita. Ada ruh yang mengalir lewat uang yang diberikan dengan ikhlas. Maka, jangan remehkan efek dari satu transaksi kecil di pinggir jalan.
Pedang cuanki yang juga merupakan salah satu pedagang kecil. Sumber: jabaronline.com
Seringkali, makanan yang kita beli dari warung kecil justru terasa lebih nikmat. Bukan karena bumbunya lebih mahal, tapi karena ada cinta dan ketulusan di dalamnya. Ada tangan yang meracik sambil berdo’a. Ada senyum yang tulus saat menyajikan.
Makanan berkah juga mendorong kita pada amal saleh. Ia menjadi energi untuk bekerja dengan jujur, bersedekah, dan menolong sesama. Sebaliknya, makanan yang tak berkah bisa menjadi beban, membuat tubuh lesu, atau bahkan membawa penyakit.
Saat kita makan dari hasil transaksi yang saling ridha, kita merasa tenang. Tidak ada rasa bersalah, tidak ada rasa menang-menangan. Hanya rasa cukup, dan harapan bahwa Allah meridhai langkah kita.
Karena itu, Islam sangat menekankan moderasi. Tidak berlebihan, tidak mubazir, tidak menyakiti. Baik dalam konsumsi, maupun dalam cara mendapatkan makanan itu sendiri.
Jika kita punya kelebihan rezeki, membeli dengan harga pantas bukanlah bentuk kerugian, justru itu ladang amal. Kita tidak sedang menyumbang, kita sedang menegakkan keadilan dalam skala mikro dan itu berarti besar dalam pandangan Allah Swt.
Setiap uang yang kita keluarkan bisa menjadi sedekah tersembunyi, jika niat kita benar. Bahkan, bisa menjadi penolak bala. Ingat, do’a orang kecil yang tulus bisa menjadi benteng bagi hidup kita dari hal-hal yang tidak terlihat.
Transaksi bukan hanya soal perut, tapi juga soal hati. Kita tidak sedang membeli jeruk. Kita sedang membeli keberkahan. Kita sedang membeli do’a. Kita sedang belajar menjadi manusia.
Pada akhirnya, harta yang paling berharga bukan yang paling besar jumlahnya, tapi yang paling besar manfaatnya. Sedangkan, manfaat terbesar bisa jadi datang dari tangan-tangan kecil yang kita temui di jalan, yang menjual dengan harapan, dan mendo’akan dari kedalaman.