Belajar Tanggung Jawab dari Anak Penjual Cilok
Wali Umat – Di satu siang, seorang anak kecil berdiri di tepi jalan. Dengan tangan kecilnya ia menenteng sebuah termos yang ternyata bersisi cilok.Usianya belasan, tapi langkahnya sudah seperti orang dewasa yang paham betul bahwa hidup tidak selalu bisa menunggu belas kasihan. Saat teman-temannya baru bangun untuk bersiap ke sekolah, ia sudah lebih dulu menyiapkan rezeki keluarganya.
Pemandangan itu bukan kisah sinetron. Itu nyata — tentang seorang anak sekolah dasar yang membantu ibunya mencari nafkah dengan berjualan cilok sebelum berangkat ke sekolah. Tak ada keluhan, tak ada raut malu. Hanya ada kesungguhan yang membuat siapa pun yang melihatnya ingin menundukkan kepala.
Di usianya yang semestinya diisi dengan bermain dan belajar tanpa beban, anak ini sudah memanggul beban kehidupan. Tapi di balik beban itu, tumbuh benih ketangguhan yang mungkin tak banyak dimiliki oleh mereka yang lebih dewasa. Ia belajar bahwa cinta tak selalu diucapkan, kadang diwujudkan lewat keringat kecil yang menetes di antara hiruk pikuk jalanan.
Kisah seperti ini sering kita anggap “kasihan”. Padahal, bila dilihat dengan mata hati, ia bukan kisah belas kasihan — melainkan kisah kemuliaan. Karena tak semua anak punya hati sebesar itu untuk ikut berjuang bersama orang tuanya. Tak semua anak punya kesadaran bahwa keberkahan rezeki lahir dari kerja keras, bukan dari menengadahkan tangan.
Anak kecil itu mengajarkan sesuatu yang sulit diajarkan oleh buku: tanggung jawab. Sebelum mengenal teori moral, ia sudah menjalankannya. Sebelum belajar tentang ekonomi keluarga, ia sudah mempraktikkannya. Dunia adalah ruang kelasnya, dan setiap langkah kecilnya adalah ujian kesungguhan.
Ketika Anak Menjadi Cermin Orang Dewasa
Apa yang membuat seorang anak mampu bertahan dalam kerasnya hidup seperti itu? Jawabannya mungkin sederhana: cinta yang diteruskan lewat teladan. Ia tidak sedang diajari dengan kata-kata, tapi dengan contoh. Mungkin ia sering melihat ibunya bekerja tanpa lelah, dan dari situlah tumbuh tekad dalam dirinya: “Aku harus membantu.”
Kisah ini bukan hanya tentang anak yang berjualan cilok. Ini tentang nilai-nilai kehidupan yang terwariskan diam-diam di dalam keluarga sederhana — nilai bahwa harga diri manusia terletak pada usahanya, bukan pada hasil semata. Di sanalah letak kemuliaan sejati.
Dalam Islam, sikap seperti ini disebut birrul walidain dalam bentuk yang paling nyata: membantu orang tua bukan hanya dengan kata, tapi dengan tindakan. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, dan murka Allah tergantung pada murka orang tua.”
(HR. Tirmidzi).
Anak kecil itu, tanpa sadar, sedang menapaki jalan keberkahan. Ia berjuang bukan hanya untuk mengisi perut, tapi juga menegakkan martabat keluarga. Ia tak tahu bahwa setiap langkahnya menuju pinggir jalan membawa doa yang hidup — doa agar ibunya sehat, agar keluarganya tidak kekurangan, agar hari ini cukup.
Namun kisah ini juga seharusnya menjadi cermin bagi kita, orang dewasa. Sudahkah kita memiliki semangat seperti anak itu? Atau justru kita sering menyerah pada hal-hal kecil, merasa dunia tak adil, mengeluh karena pekerjaan tak sesuai harapan?
Ketika anak kecil bisa melangkah dengan tanggung jawab besar tanpa mengeluh, seharusnya kita malu untuk berhenti berjuang. Sebab di balik tubuh mungilnya, ada jiwa besar yang barangkali lebih dewasa dari banyak orang dewasa.
Kita perlu menyadari bahwa tanggung jawab bukan beban, melainkan kehormatan. Bekerja keras bukan tanda kemiskinan, melainkan bentuk rasa syukur kepada Allah yang masih memberi kesempatan untuk berusaha.
Maka, jika hari ini kita melihat seorang anak memikul dagangan di pinggir jalan, jangan buru-buru menatapnya dengan kasihan. Tataplah dengan hormat. Karena bisa jadi, di antara langkah-langkah kecilnya itu, Allah sedang memperlihatkan kepada kita wujud nyata dari keikhlasan dan keteguhan.
Kisah ini bukan untuk membuat kita iba, melainkan untuk membangunkan kembali rasa tanggung jawab yang sering tertidur dalam diri kita. Bahwa bekerja keras, membantu keluarga, dan tetap berjuang di tengah keterbatasan adalah ibadah yang tak kalah mulia dari doa yang panjang.
Jika dunia ini punya ukuran baru untuk menilai kedewasaan, mungkin bukan usia, bukan ijazah, dan bukan status sosial — tapi seberapa besar seseorang berani memikul tanggung jawab tanpa banyak bicara. Anak kecil penjual cilok itu sudah melakukannya, tanpa teori, tanpa pengakuan.
Dan mungkin, di matanya yang jernih, hidup bukan soal sulit atau mudah. Hidup hanyalah soal apakah kita mau berjuang, atau memilih berhenti di tengah jalan.
Language
Indonesia
English
Arabic