Belajar Tak "Picky" Dalam Pekerjaan Dari Penjual Cobek

Wali Umat – Tahukah Anda, penyumbang terbesar tingginya pengangguran di Indonesia adalah mereka yang memiliki ijazah SMA/ SMK, diploma, bahkan sarjana. Sebaliknya, penyumbang angka tenaga kerja adalah mereka yang berijazah SMP ke bawah. Penyebabnya adalah “ketidakcocokan” jenis pekerjaan atau gaji awal saat mulai merintis karir. Padahal, mayoritas orang merintis karir, tidak ada yang memulainya dengan “kemudahan”.
Sebagaimana dikutip oleh Tempo, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan 9,89 juta penduduk berusia 15-24 tahun alias Gen Z masuk dalam golongan “Non Employment, Education, or Training (NEET) alias menganggur. Menurut Deputi Bidang Kependudukan dan Ketenagakerjaan Bappenas, Maliki mengungkapkan pada CNBC Indonesia, salah satu munculnya angka pengangguran tersebut ialah karena para Gen X Z ini putus asa lantara keseringan ditolak kerja. "Kalau dia sudah menjadi NEET selama 1 tahun atau 3 tahun akhirnya memang akan men-discourage keinginannya mencari pekerjaan," terangnya.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang mengakibatkan upaya mendapatkan pekerjaan sulit untuk para generasi muda tersebut. Yang pertama, tidak dipungkiri, situasi ini tak lepas dari efek jangka panjang pandemi Covid-19. Dia menuturkan pada 2019, jumlah NEET di Indonesia baru 21,77% dari total penduduk yang berusia 15-24 tahun. Pada saat pandemi terjadi, jumlah itu melonjak menjadi 24%. Beruntung, angka tersebut berangsur-angsur menurun hingga pada 2023 jumlahnya tinggal 22,5%.
Selanjutnya, ada kesenjangan antara kebutuhan industri dengan skill maupun ekspektasi para pencari kerja, dalam hal ini Gen Z. Menurut Sales Director Indonesia Jobstreet by SEEK, Wisnu Dharmawan, baik peluang pekerjaan maupun kandidat pekerja itu jumlahnya banyak, namun kualifikasinya seringkali tidak sinkron antara kandidat dan pemberi kerja.
Wisnu menegaskan alasan dari hampir 10 juta Gen Z yang menganggur itu bukan karena kemampuannya tidak dibutuhkan perusahaan, melainkan mereka tidak menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan mereka. “Kurang match (cocok) itu artinya tidak ketemu, mereka nyari di sini (pekerjaan) padahal perusahaan juga mencari (kandidat pelamar kerja) di tempat lain dan enggak ketemu,” ujar Wisnu.
lustrasi pencari kerja yang ikut ambil bagian dalam program bursa kerja Career Builder. Demi mendapat pekerjaan, para pekerja rela antri sejak dini hari di depan sebuah pabrik di Kota Tangerang, Minggu (17/7/2022). Sumber: aceh.tribunnews.com
Selanjutnya, Intelligent – sebuah platform konsultasi pendidikan dan karier, menemukan fakta yang lebih terang-terangan Menurut penemuan mereka, sejumlah perusahaan nyatanya memang enggan mempekerjakan Gen Z. Laporan yang dihasilkan dari survei yang melibatkan 1.000 manajer perekrutan (HRD) mengungkapkan, satu dari enam perusahaan menunjukkan keraguan merekrut Gen Z. Alasannya, Gen Z dianggap mudah tersinggung dan memiliki kepercayaan diri berlebih. Padahal, Gen Z ini etos kerjanya rendah, kurang terampil komunikasi, sulit menerima umpan balik, dan secara umum belum siap menghadapi tuntutan dunia kerja.
Sikap tersebut, sebagaimana dikutip Tempo, tak lepas dari pilihan para Gen Z ini ketika kuliah, yang memilih berkegiatan ekstrakurikuler di kampus daripada mencari pengalaman kerja. Akibatnya, mereka kesulitan memasuki dunia profesional. "Mereka (Gen Z) tidak mengetahui keterampilan dasar untuk berinteraksi sosial dengan pelanggan, klien, dan rekan kerja, maupun etika di tempat kerja," ucap Dosen senior di Haas School of Business, University of California, Berkeley, Holly Schroth.
Selain masalah kesenjangan skill, konsumsi media sosial mereka yang tinggi, memicu ekspektasi “delusional” mengenai kombinasi jenis pekerjaan, jumlah gaji, dan kondisi pekerjaan. Banyak dari mereka merasa layak dengan gaji besar, fleksibilitas tinggi, dan lingkungan kerja yang ideal. Sayangnya, kenyataan di pasar kerja seringkali tak sesuai dengan harapan mereka. Media sosial yang terkurasi, menurut laporan Forbes, memungkinkan mereka terpapar konten-konten flexing kekayaan berbalut motivasi menjadi kaya tanpa perlu bekerja di kantor, ditambah kondisi covid yang memang mendesak situasi saat itu membentuk budaya “kerja dari mana saja”. Akibatnya, selain harapannya tinggi, mereka pun percaya diri bisa mendapatkannya.
Survei terbaru oleh firma keuangan Empower mengungkapkan kesenjangan yang mengejutkan antara persepsi generasi muda di Amerika tentang kesuksesan finansial dan realitas ekonomi. Studi tersebut mengungkap bahwa rata-rata responden Gen Z, percaya gaji tahunan sebesar $587.797 (Rp 9,6 Miliar) dan kekayaan bersih sebesar $9,47 juta (Rp 154,7 Miliar) diperlukan untuk mencapai "kesuksesan finansial."
Besarnya gaji tersebut jelas “delusional” jika dibandingkan dengan distribusi pendapatan aktual di Amerika Serikat. Menurut penelitian dari SmartAsset, penghasilan lebih dari setengah juta dolar per tahun akan menempatkan seseorang di 1% penerima teratas di 32 dari 50 negara bagian, yang menunjukkan betapa tinggi dan tidak realistisnya tolok ukur rata-rata Gen Z untuk kesuksesan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, tak berlebihan jika kita menyebut para generasi muda ini agak pemilih alias “picky” soal pekerjaan. Melihat latar belakangnya, tentu kita dapat memahami. Namun, benarkah semua Gen Z itu “picky” soal pekerjaan? Nyatanya memang tidak bisa dipukul rata. Melihat latar belakang penyebabnya, tentu Gen Z yang menjadi korban adalah mereka yang terlalu banyak konsumsi media sosial tanpa memahami realita yang sebenarnya.
Gen Z Juga Bisa Bekerja Keras
Di tengah realita yang terbangun lewat berbagai pemberitaan, wajar jika muncul pesimisme soal generasi penerus negeri ini. Namun, Gen Z bukan hanya mereka. Di pinggiran-pinggiran kota, kita masih dapat menemukan Gen Z yang bersedia memeras keringat dalam pekerjaannya. Salah satunya, pemuda yang terekam oleh akun instagram @arigez ini. Terekam seorang pemuda berusia 17 tahun sedang memikul cobek. Tentu ia tak memiliki ekspektasi capaian finansial yang muluk, cukup untuk bisa makan. Dalam sebulan, yang laku tak lebih dari lima cobek dengan penghasilan kurang lebih Rp 200.000.
Gen Z dalam hal ini merupakan korban dari teknologi dan kurangnya bimbingan dalam menyikapi konten-konten di media sosial. Kita harus memahami, para pembuat konten di media sosial memahami betul kecenderungan orang yang suka dengan kekayaan, apalagi bisa diraih dengan cara instan dan langsung banyak; tanpa usaha yang memayahkan. Realita ini sebenarnya terjadi bukan hanya pada Gen Z, namun juga pada semua generasi yang menghadapi realita hidup yang melelahkan mereka. Akibatnya, mereka menjadi korban dari para affiliator judol atau jud1 online.
Semua orang senang dengan harta yang banyak karena mengira dengan harta banyak tersebut dapat melakukan banyak hal yang nampak menyenangkan. Padahal, nilai harta bukan pada memilikinya, namun soal bagaimana menggunakannya. Dalam hal ini, selain memerlukan penyadaran soal “delusi” yang ada di media sosial, anak-anak muda ini perlu sadar soal makna bekerja. Kerja bukan melulu soal mendapatkan kekayaan, melainkan soal kontribusi pada komunitas atau dalam agama disebut “khilafah”, yakni untuk memakmurkan bumi.
Dalam hal ini, kita dapat melihat kumpulan pemuda yang bergabung dalam satu komunitas yang peduli pada lingkungan dengan cara membersihkan sampah, pandawara. Media sosial, mereka gunakan bukan hanya sebagai sarana mengumpulkan kekayaan, tapi juga untuk menebarkan gerakan positif. Mereka adalah bukti kalau pengarahan dapat membawa para Generasi Muda ini justru mengoptimalkan kreatifitasnya untuk berdampak pada lingkungan dan tentunya bisa mencukupi kehidupan mereka pada akhirnya. Dalam hal ini, Pandawara justru memberikan pelajaran pada generasi yang lebih tua yang terbiasa membuang sampah sembarangan alias membersihkan “dosa-dosa” generasi sebelumnya yang mencemari lingkungan.
Lebih jauh, sebagai orang beriman, kita dapat menemukan dalam ajaran Islam, bahwa bekerja juga dapat menjadi sarana mendekatkan diri pada Allah Swt. Dalam Qur’an, surat Al Jumu’ah ayat 10, Allah Swt. berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ وَٱبْتَغُوا۟ مِن فَضْلِ ٱللَّهِ وَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Artinya, generasi muda ini perlu referensi soal cara pandang yang berbeda terhadap pekerjaan, bukan hanya pelatihan karena kalau bicara hard skill, mereka ini luar biasa hebatnya, terutama yang terkait dengan pemanfaatan teknologi digital. Hanya, perlu pendekatan yang menuntut generasi yang lebih senior untuk lebih bersabar sehingga dapat menyadarkan dan pada akhirnya bisa mengarahkan.
Dengan cara pandang bahwa “bekerja adalah ibadah”, besar harapan, orientasi dan ekspektasi generasi muda ini berubah. Mereka akan menemukan alasan yang lebih dalam daripada uang. Yang pada akhirnya, bukan uang yang menjadi orientasi, melainkan kontribusi mereka pada lingkungan dan komunitasnya, sedangkan uang adalah sarana untuk mewujudkan kontribusi yang makin baik. Dengan begitu, “picky” mereka bukan pada soal kenyamanan, soal fleksibilitas, dan gaji, melainkan “di mana nih yang paling membutuhkan saya?”.