Belajar Mesra dengan Allah dari Tukang Balon
Wali Umat – Tahukah Anda, bahwa yang miskin juga bisa celaka layaknya orang kaya yang berbuat zalim? Yakni, ketika sudah miskin, dia malah jadi pencuri, malah berjudi, malah asik memancing. Apalagi dia lelaki yang seharusnya mencari nafkah. Namun, yang miskin juga bisa mulia dengan kemiskinannya, ketika dia berserah dan pantang menyerah.
Salah satunya bapak penjual balon di Bangkalan ini. Balon yang ia jual belum ada satupun yang laku padahal sudah seharian bekerja. Beruntungnya, di Tengah kondisi sulitnya, ia tetap menyambung tali harapan dengan Allah Swt. Terlihat dalam video, beliau segera melaksanakan shalat isya saat adzan berkumandang.
Yang luar biasa, beliau sampai meninggalkan barang dagangannya tanpa takut ada yang mencuri. Dengar jawabannya, “Semua hanya titipan mas..” . Kalau kamu mau lihat bentuk tawakkal, inilah salah satu bentuknya. Beliau percaya bahwa Allah Swt. Maha Penjaga. Setelah beliau memperhitungkan keamanan sekitarnya, beliau “titipkan” pada Allah Swt.
Kemudian, beliau juga tidak menyerah meski dagangnya seringkali tak laku. Namun, ia tetap melangkah, sekalipun lewat jam lima sore setiap harinya. Yang luar biasa, beliau sudah melakukan kegiatan dagangnya selama dua kali lebaran. Bisa jadi, bukan beliau tak ingin berganti profesi atau berganti barang jualan. Namun, apa daya, yang terpikir mungkin hanya itu.
Yang menarik, beliau mengaku, rizki yang ia dapatkan justru bukan dari usahanya, namun dari pemberian orang lain. Bukankah, kadang rizki memang datang seperti itu. Sepertinya bapak ini paham betul bahwa Allah Swt. Maha Mengatur jatah rizki setiap hamba-Nya. Beliau hanya berusaha sejauh langkah yang ia bisa lakukan.
Begitulah fitrahnya seorang hamba.Ujian berupa kesulitan, justru ia jadikan jalan untuk semakin mesra dengan Allah Swt. Ujian bukan untuk diselesaikan oleh seorang hamba, melainkan untuk diikhtiarkan sekemampuan, kemudian dikeluhkesahkan. Sebagaimana do’a, yang senantiasa kita panjatkan setidaknya 17 kali sehari, yakni dalam Qur’an, surat Al-Fatihah ayat 5,
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُۗ
Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami memohon pertolongan.
Itulah ciri orang beriman, yang dipuji oleh Rasulullah Saw. sebagai “makhluk ajaib”. Kesulitan disikapi dengan sabar, kesenangan disikapi dengan syukur.
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Benar-benar mengagumkan keadaan seorang mukmin. Segala urusannya itu baik. Ini tidaklah didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR. Muslim).
Sabar adalah menerima dengan lapang hati, kemudian berikhtiar sekemampuan pindah ke takdir yang lebih baik dengan hati yang senantiasa begantung. Kemudian, syukur adalah mengakui bahwa apapun dan berapaun yang didapatkannya, tak lain pemberian Allah Swt., kemudian ia penuhi hak-haknya sesuai apa yang Allah Swt. ridhoi.
Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 153-155, Allah Swt. memberitahu kita karakter seorang muslim. Salah satunya, ketika ia mendapati kesulitan dalam hidupnya, ia bersabar. Dengan begitu, Allah Swt. akan membersamainya, memberikannya petunjuk pada jalan terbaik.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
Hai, orang-orang beriman! Mohonlah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan salat. Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar.
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتٌ ۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ
Jangan kamu mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah telah mati. Sebenarnya, mereka hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ
Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,
Setiap orang akan diuji oleh Allah Swt. setidaknya, agar manusia ingat bahwa dirinya seorang hamba, yang membutuhkan Allah Swt. dalam setiap persimpangan dalam hidup. Itulah hakikat kehidupan di dunia, yakni untuk mencicipi sebagian nikmatnya, dengan sedikit larangan, cobaan, dan godaan. Salah satu bentuk cobaan adalah masalah berupa kemiskinan.
Umumnya, ketika berhadapan dengan masalah, manusia akan dihadapkan pada dua persimpangan, pasrah atau berserah. Orang yang pasrah, dia akan diam di tempat. Ibarat kata, meski dia kehujanan, dia diam saja dalam hujan, tidak berupaya mencari tempat teduh atau menggunakan payung.
Dalam aliran filsafat, orang seperti ini termasuk dalam sikap fatalisme. Mereka adalah orang yang belum sempurna memahami konsep takdir. Mereka berpikir, seluruh takdir itu mutlak 100 persen. Dalam Islam, takdir itu ada yang mutlak, ada juga yang bisa diikhtiarkan, atau memilih. Allah sudah menetapkan sebab-akibatnya, kita yang menentukan, mau jalan yang mana. Ujungnya sudah Allah Swt. jelaskan.
Sedangkan orang yang berserah adalah orang yang ridho dengan ketetapan Allah Swt. pada hari ini. Kemudian, jika takdir yang ia hadapi dinilai buruk, maka dia berupaya mencari jalan keluar dari takdir tersebut lewat berdo’a dan bertanya pada orang yang berilmu. “Bukahkah bumi Allah itu luas?” begitulah kalimat sindiran yang beberapa kali diulang dalam Al-Qur’an dalam redaksi yang berbeda. Sebagai stimulus agar kita bergerak.
Ibarat kata, “Kalau kamu tak bisa temukan di tempatmu, cobalah cari di tempat lain..,” “kalau cara yang kamu tempuh saat ini, cobalah cara lain..” sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat An-Nisa ayat 97,
اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ
Sesungguhnya, orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi diri mereka sendiri, para malaikat bertanya, “Bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang tertindas di Makkah.” Para malaikat bertanya, “Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi?” Maka, untuk orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali,
Teks ayat ini, memang terkait dengan “hijrah” dari Mekah ke Madinah. Namun, secara konteks, “hijrah” setelah Fathu Makkah itu “jihad dan niat”. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.
عَنْ عَائِشَة رَضِيَ اللهُ عنْهَا قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم: ” لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ،وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفرِتُمْ فانْفِرُو
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Nabi Saw. bersabda;
“Tidak ada hijrah setelah pembebasan -Makkah-, tetapi yang ada ialah jihad dan niat. Maka dari itu, apabila engkau semua diminta untuk keluar (oleh imam untuk berjihad), maka keluarlah – yakni berangkatlah.”(HR. Bukhari, kitab Jihad, no. 2783 dan Muslim, no. 1864).
Maka, hijrah adalah jihad atau bersungguh-sungguh keluar dari kondisi yang buruk, ke kondisi yang lebih baik, khususnya dari kondisi bermaksiat ke kehidupan penuh rahmat, yakni gaya hidup Islami. Bukankah dengan kita bersungguh-sungguh dari kondisi yang buruk, artinya kita berserah pada Allah Swt, yakni mengikuti, mentaati perintah Allah Swt.
Jika sudah sungguh-sungguh berupaya, iringi dengan sungguh-sungguh berdo’a pada Allah Swt. Salah satu bentuknya adalah, bersegera memenuhi panggilan-Nya seketika berkumandang, layaknya bapak penjual balon.