Belajar Menjaga Harapan dari “Babeh” Pedagang Kaki Lima

Wali Umat – Di tengah hiruk pikuk Jakarta, terlihat senyum mengembang di wajah lelaki paruh baya yang akrab disapa Babeh. Tangannya menenteng dagangan berupa baju-baju anak yang hari itu baru laku dua potong, masing-masing seharga Rp 5.000. Siapa sangka, senyumnya menyimpan kisah ketangguhan yang lebih dalam—rumahnya di kampung Dukuh, Jakarta Timur, ludes dilalap api dua bulan lalu, termasuk alat obras dan mesin jahit yang menjadi tulang punggung pencahariannya. Kisah Babeh menjadi cermin bahwa dalam setiap kesulitan, selalu ada pilihan untuk tetap berdiri tegak dengan harapan.
Di balik senyum yang terulas di wajahnya, Babeh mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga tentang ketangguhan jiwa manusia. Ketika api melahap habis sumber penghidupannya, ia memilih untuk tidak membiarkan semangatnya ludes terbakar. Sebaliknya, ia memilih untuk bangkit, membawa “bara semangat” dengan menenteng dagangan dari rumah ke rumah. Ia menjadi bukti harapan bisa tetap menyala bahkan meski harus berbahan bakar abu.
Pada dasarnya, dalam perjalanan hidup setiap manusia akan berhadapan dengan ujian atau musibah yang memojokkan mereka pada persimpangan takdir: menyerah atau berserah. Menyerah berarti membiarkan diri tenggelam dalam keputusasaan, sementara berserah adalah sikap menerima dengan lapang dada sebagai takdir Allah Swt. sambil tetap berusaha hidup. Sayangnya, pilihan ini bukan sekadar soal sikap, melainkan menentukan arah perjalanan hidup selanjutnya. Babeh telah memilih jalan kedua dan mengajarkan pada kita, berserah tidak berarti pasif, melainkan aktif dalam ikhtiar sambil menyandarkan hasil pada kehendak Allah Swt.
Yusuf Qardhawi dalam bukunya "al-Ṣabr fῑ al-Qur'ān" menegaskan bahwa putus asa adalah penyakit yang mematikan dan membahayakan jiwa manusia. Senada dengan Yusuf Qardhawy, Dr. Aaron Beck, bapak Cognitive Behavioral Therapy, menemukan dalam penelitiannya dan menuangkannya dalam jurnal "Hopelessness and Suicidal Behavior" (1985) bahwa keputusasaan adalah prediktor terkuat dari depresi kronis dan pikiran bunuh diri. Kondisi ini menciptakan apa yang para psikiater sebut sebagai "walking dead syndrome"—di mana seseorang secara fisik hidup namun kehilangan gairah dan makna hidupnya.
Tidak mengherankan jika Allah Swt dalam Al-Qur'an surat Yusuf ayat 87 dengan tegas menyatakan bahwa berputus asa dari rahmat Allah adalah ciri orang-orang kafir.
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir".
Ayat ini bukan sekadar peringatan, melainkan motivasi bagi setiap muslim untuk selalu menjaga api harapan tetap menyala. Pasalnya, sebagaimana yang dikatakan Professor Anthony Scioli, pakar psikologi klinis dari Keene State College, "Harapan sama esensialnya bagi kehidupan kita layaknya udara yang kita hirup." Pernyataan ini menegaskan bahwa memiliki harapan bukan pilihan, melainkan kebutuhan fundamental manusia layaknya udara.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa harapan (raja') merupakan salah satu maqam (tingkatan spiritual) yang harus dimiliki seorang muslim. Beliau menjelaskan harapan adalah motor penggerak yang mendorong manusia untuk terus beramal dan berusaha. Ini sejalan dengan fitrah manusia yang selalu memiliki harapan dan tuntutan hidup, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat Ar-Rahman ayat 29, "Setiap hari Dia dalam kesibukan," menunjukkan bahwa aktivitas dan harapan adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan. Allah Swt. berfirman,
يَسْـَٔلُهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِى شَأْنٍ
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.
Teori Peran (Role Theory) yang dikembangkan oleh Robert K. Merton dalam "Social Theory and Social Structure" (1968) menjelaskan, setiap individu memiliki berbagai peran sosial yang membentuk ekspektasi dan mendorong perilaku tertentu. Dalam konteks Babeh, perannya sebagai kepala keluarga menjadi motivasi kuat untuk tetap berjuang meski dalam kondisi terpuruk. Harapan dan tuntutan peran ini menciptakan resiliensi yang luar biasa, membuktikan bahwa manusia bisa mengeluarkan kekuatan ekstra ketika dihadapkan pada tanggung jawab yang lebih besar.
Menjaga Nyala Harapan
Berdasarkan pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa menjaga nyala harapan itu hal niscaya. Untuk menjaga nyala harapan itu, sebagai orang beriman, Allah Swt. telah memberikan kita panduan. Allah Swt. adalah pencipta kita dan sepantasnya, sebagai orang beriman, kita mengimani pemberitahuan-Nya dan panduan yang telah ditetapkan-Nya, termasuk ketika seseorang mengalami musibah. Agar tak terjerumus dalam keputusasaan, kita perlu memahami apa yang mutlak di alam semesta ini sehingga kita bisa memahami, kemudian memilih sikap yang benar.
Lilin: ilustrasi menjaga nyala harapan. Sumber: unpslash/david Tomaseti
Ketahuilah dalam hal ujian, lewat Al-Qur'an surat Al-Ankabut ayat 1-3 Allah Swt. mengajarkan lewat lisan Rasul-Nya pada kita bahwa ujian adalah keniscayaan hidup. Setiap kesulitan yang kita hadapi bukanlah tanda bahwa Allah membenci kita, melainkan sebuah proses penempaan untuk menjadikan kita pribadi yang lebih kuat. Babeh memahami ini dengan baik, menjadikan setiap langkahnya dengan dagangan sebagai bentuk ibadah dan perjuangan. Allah Swt. berfirman,
الٓمٓ
Alif laam miim
أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتْرَكُوٓا۟ أَن يَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?
وَلَقَدْ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَلَيَعْلَمَنَّ ٱلْكَٰذِبِينَ
Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.
Kemudian, untuk menguatkan, Syekh Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam Shafwatut Tafasir menjelaskan kandungan surat Al-Hadid ayat 22 bahwa segala musibah, dari paceklik hingga kehilangan harta dan keluarga, pada dasarnya sudah ditetapkan Allah Swt.untuk setiap hamba-Nya.
مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِى ٱلْأَرْضِ وَلَا فِىٓ أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِى كِتَٰبٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَآ ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.
Pemahaman ini memberikan ketenangan bahwa tidak ada yang terjadi secara kebetulan dan semua ada dalam kehendak Allah Swt. sedangkan Allah Swt. dalam keterangan lainnya, tak mungkin menyia-nyiakan hamba-Nya. Babeh, dengan senyumnya yang mengembang meski dagangannya sepi, adalah contoh nyata bagaimana keyakinan ini bisa mengubah kesulitan menjadi tangga menuju kedewasaan spiritual.
Kisah Babeh mengajarkan kita bahwa harapan bukan sekadar kata-kata motivasi, melainkan kekuatan nyata yang bisa mengubah tragedi menjadi triumph. Ketika api melahap rumah dan alat kerjanya, ia memilih untuk melihat ini sebagai awal baru, bukan akhir segalanya. Dalam setiap langkahnya menenteng dagangan, ia menunjukkan bahwa menjaga nyala harapan adalah pilihan—pilihan yang menentukan apakah kita akan tenggelam dalam keputusasaan atau bangkit dengan ketangguhan baru. Sebagaimana senyumnya yang tak lepas meski dagangan sepi, demikianlah harapan harus tetap menyala dalam hati setiap insan yang beriman, menjadi cahaya penuntun dalam setiap langkah kehidupan.