Belajar Menjadi Lelaki Seutuhnya dari Kakek-kakek Pencari Kerja
Wali Umat — Seorang kakek tertangkap kamera sedang tidur di ambang pintu sebuah ruko. Rupanya ia sudah dua malam tidur seperti itu, ditambah ia belum makan selama itu lantara tak punya uang untuk membelinya. Mengejutkan, ia ternyata sedang mencari kerja dan jauh dari rumahnya. Kakek yang tidak disebutkan namanya ini merupakan cermin yang pantas bagi para lelaki yang pasrah menjadi “bapak rumah tangga”, malah ia mengandalkan hasil istrinya membanting tulang untuk bersenang-senang.
Seiring berkembangnya gaya hidup dan teknologi, peluang mencari nafkah kian terbuka lebar, baik bagi laki-laki, maupun perempuan. Bahkan, dalam perkembangannya, kini banyak perempuan yang justru menjadi penopang utama ekonomi keluarga sehingga memunculkan istilah “bapak rumah tangga”. Kondisi memang berat, namun selayaknya pahlawan, dia tidak berhenti berjuang menegakkan harga dirinya sebagai “lelaki”.
Sebagai cerminan, presentasi perempuan yang bekerja di Amerika meningkat dari 32,7% pada tahun 1948 menjadi 56,8% pada tahun 2016. Sementara di seluruh dunia, perempuan bergelar sarjana meningkat hampir empat kali lipat sejak tahun 1970. Pada tahun 2016, lebih dari 40% perempuan di dunia kerja bergelar sebagai sarjana. Dari jumlah tersebut, 12,73% di antaranya bekerja dan menjadi kepala keluarga.
Melihat wacana yang muncul di media secara umum, nampaknya jumlah tersebut akan terus bertambah. Lantaran, dimunculkan kesan jika jumlah tersebut seolah “belum memadai” dengan munculnya narasi, bahwa perempuan mengalami diskriminasi dan stigma sosial. Di balik wacana tersebut, kita dapat menemukan pemikiran bahwa perempuan harus terbebas dari laki-laki. Padahal, laki-laki dan perempuan pada dasarnya saling membutuhkan satu sama lain.
Sementara itu, Islam sudah memiliki panduan yang jelas soal peran utama lelaki dan perempuan. Pada dasarnya, keputusan soal pembagian peran, memang ada di tangan yang bersangkutan; pasangan suami istri, dengan landasan ridho satu sama lain, termasuk soal siapa yang bertugas sebagai pemimpin dalam keluarga yang pasti sesuai dengan fitrahnya masing-masing. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat An-Nisa ayat 34,
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas perempuan dan karena laki-laki telah menafkahkan sebagian harta mereka. Maka, perempuan-perempuan yang saleh adalah perempuan yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah menjaga mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan berbuat nusyūz hendaklah kamu menasihati mereka, pisahlah dari tempat tidur mereka (pisah ranjang), dan jika perlu, pukullah mereka. Namun, jika mereka menaatimu, janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menceraikannya. Sesungguhnya, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Dari ayat tersebut, kita dapat mengetahui Allah Swt. menetapkan kepemimpinan lelaki atas anggota keluarganya. Sebagaimana perkataan Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, “Lelaki itu adalah pengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang.” Kita meyakini, apa yang sudah Allah Swt. tetapkan pasti yang terbaik dan sesuai dengan karakter dasar manusia atau fitrahnya.
Lewat ilmu pengetahuan, kita dapat menemukan proporsi bagian-bagian otak laki-laki dan perempuan memang berbeda. Laki-laki, memang sudah Allah Swt. “setting” sedemikian rupa sehingga memang cenderung menjadi pemimpin dalam keluarganya. Pun perempuan, Allah Swt. meng-install fungsi-fungsi yang memang untuk menunjang dirinya berperan sebagai “penjaga sarang”.
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam kitab tafsirnya, “kaum laki-laki lebih afdal daripada kaum wanita, seorang lelaki lebih baik daripada seorang wanita, karena itulah maka nubuwwah (kenabian) hanya khusus bagi kaum laki-laki. Demikian pula seorang raja. Bahkan, ada satu hadits yang menegaskan, bahwa perempuan tidak boleh jadi pemimpin. Nabi Saw. mengatakan:
«لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً»
Tidak akan beruntung suatu kaum yang urusan mereka dipegang oleh seorang wanita.
Hadis riwayat Imam Bukhari Selanjutnya, posisi kepemimpinan itu dikokohkan dengan pemberian harta yang memang diwajibkan atas laki-laki, yakni berupa mahar (mas kawin), nafkah, dan biaya-biaya lainnya.
Dalam hal ini, nafkah merupakan salah satu sarana untuk mendidik keluarga. Ketika kekurangan, alasan materi ini bisa menjadi sarana belajar sabar. Pun ketika berlebih, bisa menjadi sarana untuk mengajarkan keluarga untuk berbagi dengan sesama. Juga, bagi anak, uang bisa jadi sarana untuk mendidiknya menjadi hamba Allah Swt. dengan memberi hadiah ketika melakukan amal sholeh dan menahannya ketika tak mentaati Allah Swt.
Hanya kenyataannya, sering kali, uang nafkah yang masuk ke kas keluarga terasa kurang. Rasa kurang inilah yang kemudian memicu yang menjadi istri kemudian berpikir untuk membantu perekonomian keluarga. Pada dasarnya, boleh saja istri membantu perekonomian keluarga. Namun, memang karena keputusan tersebut, tak jarang malah membuka pintu syubhat yang besar pada waktu-waktu mendatang.
Tentu ada banyak variabel yang menunjang keputusan tersebut. Ada yang memang masing-masing sudah bekerja sebelum menikah. Namun, ketika punya anak, akhirnya salah satu harus mengalah. Kasus lainnya, karena kebutuhan dirasa makin bertambah, sementara penghasilan suami dirasa kurang, akhirnya istri meminta izin pada suami bekerja. Padahal, dalam hal memberi nafkah pada anak, Allah Swt pun sudah membagikan tugas masing-masing secara spesifik. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 233,
۞ وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Hendaklah para ibu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Kewajiban ayah, yaitu memberikan nafkah dan pakaian kepada mereka dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah menderita karena anaknya. Ahli waris pun berkewajiban seperti itu. Apabila keduanya setuju untuk menyapih anaknya sebelum dua tahun, tidak ada dosa atas keduanya. Jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, tidak ada dosa bagimu memberikan bayaran dengan cara yang baik. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Hanya, yang tak boleh itu adalah ketika lelaki sampai kehilangan harga dirinya sebagai lelaki. Mereka menyerah, kemudian menyerahkan “tampuk kepemimpinan” pada istri. Harusnya, ia memperjuangkan harga dirinya layaknya kakek di video, bukan di hadapan istrinya, melainkan di hadapan Allah Swt. Bahkan, pada beberapa kasus, sudah istri lelah mencari nafkah di luar negeri, sang suami ternyata berkhianat pada ikatan akad dengan cara main serong. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Tangkapan layar artikel berita di jabar.tribunnews.com
Bila peran mencari nafkah itu hanya sementara, misal karena sedang menunggu panggilan kerja, sementara hatinya merasa keberatan dan tidak terlalaikan, tentu tidak masalah. Kondisi lainnya, misal karena suami memang lumpuh total karena sakit jasadnya, tentu tidak ada masalah. Asal, yang menjadi istri, bisa menjaga dirinya dan dapat tetap memposisikan dirinya di hadapan suami.
Nasihat ini, kami tujukan buat para suami yang justru malah berleha-leha, apalagi malah bermain judi dengan mengandalkan hasil kerja istrinya. Kepemimpinan itu merupakan “mahkota” yang Allah Swt. berikan pada lelaki dan tak mungkin ukurannya fit bagi yang menjadi istrinya. Artinya, ketika suami meletakkan “mahkotanya”, dia sebenarnya sedang menjerumuskan keluarganya pada kehancuran.
Sesulit apapun mendapatkan kerja, ada baiknya para suami bercermin pada kakek ini. Di usia senjanya, dia tetap menjaga martabat dan kebanggaanya sebagai lelaki. DIa pergi jauh, berjuang untuk keluarganya. Mau pulang, pun tak bisa karena tak memiliki ongkos untuk pulang. Mencari nafkah itu, bukan soal sebarapa banyak yang didapat, tapi soal memenuhi tanggung jawab sebagai pemimpin dalam rumah tangga.