Belajar Menikmati Makanan Agar Enaknya Seumur Hidup dari Kakek Gelandangan

Wali Umat – Dengan alasan kurang selera atau hilang selera, dengan mudahnya seseorang bisa meninggalkan makanan yang sudah tersaji. Menyisakan banyak sisa makanan yang akhirnya memenuhi tempat sampah. Padahal, di luar sana, masih banyak orang-orang yang dapat menikmati seolah makanan yang dibuang-buang itu makanan mewah. Bukan karena harganya mahal dan dibeli dari restoran “michelin”, namun karena mereka memiliki “bumbu terbaik”.
Baru saja sarapan, eh lewat pedagang odading. “Caaakue.. Dading!,” terdengar suara nyaring dari luar rumah. Mendengar suara tersebut, ia berlari menuju pintu, “Mang, beli!” serunya. Ia pun membeli odading. Namun, baru dua potong, sudah hilang selera. “Gak napsu,” jawabnya simpel kala ditanya oleh pasangannya soal mengapa penganan yang baru dibelinya tak habis. Akhirnya, cakwe-odading itu teronggok begitu saja di meja makan. Hingga siang, bahkan sore, tak lagi tersentuh. Ujung-ujungnya menjadi makanan ikan.
Siapa yang pernah mengalami hal seperti itu? Hal yang sulit dimengerti memang, namun kebiasaan itu susah dihentikan walau kadang terselip rasa bersalah saat membuang sisa makanan itu. Padahal baru saja mengisi perut dengan kupat tahu dua porsi, namun tetap saja ingin beli saat pedagang cemilan lewat rumah. Walau kadang diselipi kata, “kasihan emangnya udah jalan jauh-jauh,” agar terkesan bernilai sedekah. Masalahnya, makanan yang dibeli jadi mubazir.
Kecenderungan ngemil setelah makan kenyang sebetulnya perkara yang wajar, namun tetap perlu kita kendalikan. Dalam ilmu psikologi, ketika seseorang tetap merasa ingin makan snack atau cemilan meskipun sudah kenyang disebut hedonic hunger atau “lapar hedonik.” Jenis lapar ini merupakan keinginan makan yang berdasarkan kenikmatan rasa, bukan pada kebutuhan fisiologis tubuh.
File - Petugas katering membersihkan peralatan makan dari sisa makanan pada resepsi di Kota Tangerang, Banten, pada 1 September 2019. Kementerian Pertanian dan BRIN sepakat berkolaborasi mengembangkan teknologi pascapanen yang dapat diterapkan untuk mengurangi kehilangan dan limbah pangan. (ANTARA FOTO/Fauzan/foc)
Otak manusia memiliki sistem dopaminergik yang memproses rasa puas dan senang, khususnya di area yang disebut nucleus accumbens. Saat seseorang melihat atau mencium aroma makanan lezat seperti snack, otak mengasosiasikannya dengan kenikmatan, bahkan jika tubuh tidak membutuhkan energi tambahan. Snack biasanya kaya akan gula, lemak, atau garam, yang sangat efektif dalam merangsang pelepasan dopamin. Inilah yang membuat makanan ringan terasa “menggoda” meskipun kita sudah kenyang.
Jika kita tidak mengendalikannya, makanan yang tersisa akan menambah tumpukan sisa makanan yang pada 2021 mencapat 46,35 juta ton di Indonesia. Pun, jika makanan itu kita habiskan, makanan yang tidak menjadi energi itu akan bergabung dengan sel lemak atau menjadi bibit-bibit diabetes. Kalau sudah muncul penyakit, apa artinya kemampuan bisa makan mewah, sementara terlalu banyak makanan yang terlarang. Buat yang darah tinggi, makan garam dilarang. Sementara, basis semua rasa ada pada rasa asin hasil dari garam. Buat yang terkena diabetes, terbatas baginya makanan berglukosa sementara makanan atau cemilan enak itu sebagian besar mengandung glukosa.
Artinya, semewah apapun, pada dasarnya tak ada makanan yang paling enak kecuali yang kita konsumsi dalam keadaan perut lapar. Rasa lapar merupakan perasaan tak nyaman yang muncul akibat tak ada lagi makanan di dalam perut untuk diolah menjadi energi. Sementara “nafsu makan” adalah keinginan makan yang muncul karena apa yang kita lihat, cium, atau dengar (seperti ASMR). Yang kedua merupakan stimulus yang membuat kita seolah lapar, padahal baru makan siang. Sedangkan yang kedua merupakan stimuli yang membuat tubuh kita benar-benar membutuhkan. Selain itu, meski yang dimakan adalah makanan yang dimakan setiap hari, akan tetap enak.
Sampai di sini, kita dapat memahami, benarlah apa yang agama ini ajarkan soal “kapan seharusnya kita makan”.
Rasa Enak Seumur Hidup
Seorang kakek tertangkap kamera begitu nikmatnya makan. Makanannya mungkin makanan yang buat sebagian kita “biasa saja”, terlihat nasi dengan lauk berupa telur dan timun. Namun dari cara kakek itu makan, nampak sangat enak. Usianya jelas tak lagi muda, namun ia masih bisa makan dengan nikmatnya tanpa pantangan makanan tertentu. Mungkin kakek ini sangat jarang makan sehingga ia dapat menikmati dengan bumbu ternikmat saat makan, yakni rasa lapar. Ia makan bukan di tempat yang terlihat nyaman, namun itu tak mengurangi selera makannya.
Pada titik ini, kita dapat memahami, benarlah sunnah Rasulullah Saw. yang mengajari kita agar makan di saat lapar. Selain mengajari kita “mindfullness” saat makan, tidak termakan oleh iklan atau bisikan hawa nafsu, melainkan makan hanya pada saat lapar. Hikmahnya, makanan apapun yang tersedia bisa terasa enak dengan bumbu “lapar”. Dalam Qur’an, surat Al-Baqarah ayat 168, Allah Swt. berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُوا۟ مِمَّا فِى ٱلْأَرْضِ حَلَٰلًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Setan selalu membungkus sesuatu yang buruk seolah-olah baik, seolah-olah enak. Termasuk dalam hal makanan. Setan ingin menjauhkan setiap anak Adam dari cara hidup yang benar. Artinya, ketika seseorang memakan sesuatu yang perlahan membuatnya sakit, sama dengan dia mengikuti langkah-langkah setan. Seblak, martabak, odading memang halal, namun tanpa kontrol bisa menimbulkan penyakit. Jangan makan semata-mata karena tergiur, melainkan makanlah hanya pada saat lapar dan berhenti sebelum kenyang. Rasulullah shallallahi ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه
“Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernafas”.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan,
لان الشبع يثقل البدن، ويقسي القلب، ويزيل الفطنة، ويجلب النوم، ويضعف عن العبادة
“Karena kekenyangan membuat badan menjadi berat, hati menjadi keras, menghilangkan kecerdasan, membuat sering tidur dan lemah untuk beribadah”.
Kakek gelandangan itu mungkin hanya makan sesekali, namun justru itulah yang menyelamatkan dirinya dari penyakit. Sedangkan kita, perlu kesadaran menahan diri makan berlebihan. Jangan sampai makan berlebihan karena dapat membuat nikmatnya makan terkurangi karena pantangan, dan pada akhirnya sulit beramal ibadah karena sakit. Maka, walaupun hadits ini dinyatakan dhaif, namun benar maknanya,
نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع
“Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang“