Belajar Malu dari Bang Arya
Wali Umat – Pulang bermain futsal, qadarullah, mata Anda tak sengaja terdamprat oleh tangan yang menjadi lawan main Anda sampai mata merah dan bengkak. Karenanya, mata Anda harus ditutup dengan perban dan Anda disarankan dokter untuk istirahat di rumah. Pertanyaannya, ketika Adzan berkumandang, apakah Anda akan tetap berangkat ke Masjid atau istirahat di rumah?
Atau.. Kalau pun Anda memutuskan tidak ke Masjid, apakah ada rasa berat di dada karena tak bisa berangkat ke Masjid?
Kalau dirasa-rasa, sebenarnya wajar dalam kondisi sakit, kemudian memilih rukshoh atau keringanan. Ulama berpendapat, jika khawatir sakit Anda jadi lebih parah atau jika Anda khawatir penyakit menular pada orang lain, maka boleh tidak shalat di Masjid. Namun, keduanya tergantung pada diri Anda sendiri, apakah kita jujur dengan keputusan kita atau justru menjadikan sakit sebagai pembenaran atas kemalasan.
Sejatinya, orang yang benar imannya, meski dia akhirnya tidak bisa melaksanakan ibadah, padahal biasanya dia melakukannya, dia nikmat melakukan ibadah, pasti akan ada rasa keeratan dalam hatinya. Ada perasaan rugi ketika dia tidak bisa melaksanakan ibadah. Dia merasa malu lantaran Allah Swt. telah memberikannya beragam nikmat. Nikmat hidup, melihat, menghirup udara segar, dan beragam nikmat lainnya.
Allah Swt. memang memberikan keringanan dalam beberapa situasi yang ketentuannya spesifik. Sayangnya, di tengah-tengah kita ada yang malah menggunakannya sebagai pembenaran, memukul rata semua kondisi. Padahal, selain memberikan keringanan, Islam juga mendidik kita agar berjuang atau bersungguh-sungguh dalam mengejar keridhoan Allah Swt. Allah Swt. menghargai mereka yang berjuang meski dalam kondisi sulit, yakni bersikap sabar.
Lokasi pengemis yang pura-pura bisu dan lumpuh melakukan aksinya (Foto: Detik.com/Istimewa)
Pada generasi sahabat, kita akan menemui salah satu sahabat yang buta. Meski begitu, beliau tetap pergi ke Masjid. Padahal jarak dari rumahnya ke Masjid cukup jauh. Rumahnnya di pinggiran Kota Madinah dan ia harus berjalan menuju pusat Kota Madinah. Beliau adalah Abdullah bin Umi Maktum. Meski beliau buta, beliau tetap istiqamah menempuh perjalanan menuju Masjid setiap harinya. Karena hal itu, ia menjadi inspirasi bagi kita. Malu rasanya, jika kita tidak ke masjid hanya karena mata kelilipan. Beliau menjadi simbol semangat dalam hal shalat berjamaah di Masjid.
Jika di kalangan sahabat, ada Abdullah bin Umi Maktum, di tengah-tengah kita, ada Bang Arya. Jika Abdullah menjadi mercusuar bagi mereka yang berat untuk shalat ke Masjid, Bang Arya merupakan mercusuar bagi mereka yang malas-malasan mencari nafkah, terutama bagi mereka yang memilih cara mengemis. Meski ia kekurangan, namun ia tak menjadikannya alasan untuk merendahkan diri di hadapan manusia. Demi anak dan istrinya, ia berjualan kue basah.
Berkat kesungguhannya, Allah Swt lunakkan hati orang di sekitarnya, membukakan rizki halal yang tidak disangka-sangka. Dalam video ini, ada satu orang pemuda yang Allah Swt. gerakkan hatinya untuk menjadi washilah rizki bagi Bang Arya. Kue dagangan Bang Arya ludes dibeli dengan harga yang jauh malampaui harga dagangannya, bahkan melebihi kebutuhannya satu bulan hanya dalam waktu satu hari.
Dari sini, kita belajar, jika kita menghadapkan kesulitan yang kita alami pada Allah Swt., maka Allah Swt. akan berikan jalan keluarnya dengan jalan yang tidak disangka-sangka.
Seandainya Bang Arya memilih untuk mengemis, siapapun yang melihat, kemungkinan besar akan memakluminya. Mengaku-ngaku kesulitan, belum makan seharian, beras habis, bisa jadi sebab orang lain kasihan, kemudian memberikan bantuan padanya. Namun, itu tidak ia lakukan dan ia memilih cara yang, nampaknya, lebih sulit. Padahal, justru itulah cara paling cepat mendapatkan rizki yang baik.
Islam memang memberikan ruang keriangan dalam beberapa kondisi. Namun, di sisi lain Islam juga memuji mereka yang bersungguh-sungguh menempuh jalan yang mulia. Ketahuilah, hanya mereka yang bersungguh-sungguhlah, Allah Swt. akan tunjukkan jalan. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam ayat terakhir (ayat 56), surat Al-Ankabut,
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ
Orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhoan Kami, akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami kepada mereka. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.
Sebaliknya, jika seseorang mengalami kondisi sulit, kemudian mengemis pada manusia, menunjukkan kesulitannya pada manusia, seolah-olah dia sedang mengadukan kesulitan yang Maha Penyayang tetapkan padanya kepada makhluk yang belum tentu penyayang. Sebagaian ulama memperbolehkan meminta-minta jika terpaksa, yakni jika kondisinya sampai mengancam hidupnya. Namun, jika dia meminta lebih daripada kebutuhannya, siap-siaplah dengan risikonya.
Realitanya, banyak orang yang, bisa jadi, pada awalnya mengemis karena terpaksa. Namun, kaena mengemis itu dirasa mudah, ia melanjutkan aktifitasnya, bahkan menjadikannya sebagai profesi. Lebih parah lagi, mengemisnya dengan cara menipu. Misalnya, ada yang pura-pura bisu, pura-pura lumpuh, atau malah membawa anak-anaknya sebagai pengundang rasa simpati orang lain.
Parahnya lagi, kini profesi mengemis itu sudah merambah ke media sosial. Menggunakan dandanan yang mengundang simpati, joget-joget, atau malah menggunakan “talent” berupa orang tua yang disuruh mandi lumpur. Sampai saat ini, kami belum menemukan kajian yang membahasnya secara spesifik. Namun, sekilas melihatnya saja, kami yakin, siapapun Anda tidak akan berkenan jika melihatnya dari sudut pandang “pencari nafkah”.
Yakinlah, kita bisa kok tetap mendapatkan rizki yang halal dengan tetap menjaga harkat martabat sebagai diri dan juga sebagai hamba Allah Swt. Beruntunglah, jika kita memiliki rasa malu. Rasa malu inilah yang menjadi modal utama sehingga seseorang bisa mejaga kehormatannya alias iffah.
Iffah sendiri merupakan sikap menjaga kehormatan diri dari perkara yang yang dapat merendahkan diri, merusak, dan menjatuhkan seseorang.
Seorang ibu penyandang disabilitas berjualan makanan ringan dibantu anaknya di acara Car Free Day Bundaran Besar Palangka Raya, Minggu (16/2/2020). Makanan ringan stik bawang, kripik tempe dan makaroni, dijual dengan harga Rp10.000,00 per bungkus. Sumber: infopublik.id/Palangka Raya/Bambang.
Seseorang yang memiliki rasa malu, dia akan sungkan meminta-minta. Jangankan meminta-minta, meminjam uang atau berhutang pun malu. Apalagi kalau sampai menjadikan meminta-minta sebagai profesi. Sikap iffah pada manusia, akan menjaga seseorang dari muamalah yang merendahkan dirinya dari manusia lainnya. Sedangkan sikap iffah pada Allah Swt. akan menjaga seseorang dari perbuatan yang melampaui batas. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat An-Nisa ayat 6,
وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا
Ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Jika menurut pendapatmu mereka telah pandai memelihara harta, serahkan harta itu kepada mereka. Jangan kamu memakan harta anak yatim melebihi batas kewajaran dan jangan kamu tergesa-gesa menyerahkannya sebelum mereka dewasa. Jika pemelihara harta itu mampu, hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu). Jika miskin, ia boleh memakan harta itu menurut cara yang baik. Apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu hadirkan saksi-saksi dan cukuplah Allah sebagai pengawas.
Memakan harta anak yatim, boleh, namun tidak boleh melampaui batas. Pun, dalam hal mengemis, ada batasnya. Yakni sebatas kebutuhan saat itu, tidak menjadikannya profesi. Mari kita belajar malu dari Bang Arya. Meski kekurangan secara fisik, namun ia tak menggunakannya untuk meminta-minta. Ia berjuang sekemampuannya sehingga Allah Swt. datangkan rizki yang tidak disangka-sangka, di saat yang sama, terjaga kehormatan dirinya, bahkan lebih mulia dari orang-orang yang sempurna namun bermalasan, lebih mulia dari orang yang justru menipu atau mencuri.
Wallahu a’lam bi shawwab