Beban Guru Bikin Sesak Namun Apresiasi Makin Mencekat
Wali Umat – Sejak 2019, pemerintah Indonesia mencanangkan tahun 2045 sebagai momen Indonesia emas. Pada usia yang tepat 100 tahun, Indonesia akan dihuni oleh mayoritas usia produktif sehingga diharapkan dapat berkontribusi pada kualitas bangsa di mata dunia. Dalam hal ini, guru menjadi salah satu pihak yang “ketiban” beban moral yang amat berat karena dihadapkan pada tantangan zaman yang kian tidak pasti dengan kondisi mental anak-anak yang mlehoy.
Mengutip Indonesiabaik.id[1], pada tahun 2045 negara kita akan mendapatkan “bonus demografi”, di mana 70 persen penduduknya berusia produktif (angkatan kerja) atau berusia sekitar 15-64 tahun. Sisanya, 30 persen, anak-anak (usia di bawah 14 tahun) dan pensiunan (di atas 64 tahun). Besar harapan, mereka dapat berkontribusi positif pada Pembangunan negara dan bangsa.
Melihat potensi tersebut, pemerintah Indonesia, melalui Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kemudian mencanangkan “Visi Indonesia Emas 2045 untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat, maju, adil dan Makmur”. Pencanangan ini, kemudian ditandatangi oleh Presiden Joko Widodo pada 9 Mei 2019 atau di awal masa menjabat Jokowi pada periode keduanya.
Untuk menunjang visi tersebut, ditetapkanlah empat pilar “Visi 2045” yang dibangun dengan mengacu pada ruh Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pilar tersebut adalah:
- Pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
- Pembangunan ekonomi berkelanjutan
- Pemerataan pembangunan
- Pemantapan ketahanan nasional dan tata kelola kepemerintahan
Berdasarkan poin pertama, kita dapat menemukan bahwa aspek paling vital untuk tercapainya visi tersebut, adalah mencetak SDM. Artinya, “pendidikan” akan tertuntut menjadi “pencetak”-nya. Dalam hal ini, guru menjadi episentrum karena, menurut anggota MPR[2], perannya “mencerdaskan kehidupan bangsa”, terutama dalam membentuk pribadi anak yang berintegritas, berakhlak mulia, dan berjiwa pancasila, segaligus menjadi generasi unggul dan berdaya saing,” kata Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawangsa.
Untuk itu, setiap guru harus terus mengembangkan diri melalui inovasi dan kualitas. Sementara di era industri 5.0, industri akan berfokus pada optimalisasi penggunaan kecerdasan buatan karena dinilai lebih efisien dan demi menggenjot daya saing yang kian tanpa batas. Artinya, SDM-nya harus siap menjadi orang yang mampu memerintah entitas digital bernama AI (Artificial intelligence), bukan lagi yang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Semua pekerjaan-pekerjaan kasar itu telah diambil alih oleh tangan terampil berwujud robot. Artinya, mindset SDM kita sekelas minimal manajer yang dapat memberikan perintah dengan daya konseptual.
Selanjutnya, generasi mana yang harus guru hadapi untuk disepuh sehingga siap menjadi generasi emas? Melihat usia produktif pada tahun 2045, yang akan berada pada pada posisi middle manager adalah generasi Z yang usia paling tua-nya akan berumur 35 tahun karena mereka adalah generasi yang lahir pada rentang 1995-2012. Menurut kompas100.kompas.id[3], pada tahun 2023 saja, proporsi generasi Z ini sudah mencapai 27,94% dari keseluruhan penduduk Indonesia yang berjumlah 270,2 juta jiwa.
Sementara itu, banyak sumber mengkorelasikan generasi ini dengan strawberry generation alias generasi yang mentalnya rapuh. Kerapuhan tersebut terbentuk bukan sekadar pendidikan orang tuanya, namun juga berkorelasi dengan fenomena perkembangan teknologi yang begitu cepat sehingga melahirkan sebuah fenomena psikologi sosial yang disebut dengan VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, dan Ambigue). Namun, VUCA tak lagi dapat menggambarkan kondisi psikologi dan sosial kita sejak covid 19 melanda dunia. Kondisi di mana semua orang dan indutri tak bisa berbuat apa-apa. Mengamati kondisi tersebut, Antropolog Amerika Jamais Cascio (2020) berusaha mengevaluasi situasi terbaru yang dihadapi masyarakat dunia, kemudian dia merumuskannya dalam sebuat konsep yang disingkat dengan BANI (Brittle, Anxiety, Non-Linier, dan Incropehensible).
Dengan memahami konsep ini, besar harapan, industri dapat memahami situasi yang akan mereka hadapi di masa depan. Selanjutnya, bagi lembaga pendidikan, konsep ini dapat membantu para perumus kurikulum membuat ramuan yang kiranya dapat membantu para calon bintang memahami situasi sekaligus bersiap menghadapinya.
Strawberry Generation Menghadapi BANI
Dalam hal mempersiapkan generasi emas, para guru harus berhadapan generasi yang memmikat; nampak ranum dan wangi, namun rapuh layaknya strawberi. Istilah “strawberry generation” merupakan istilah yang muncul pertama kali di Taiwan, yang sebenarnya mengacu pada generasi yang lahir pada tahun 1981. Namun, karakteristik generasi ini belakangan juga menempel pada generasi Z. Mereka generasi yang kreatif dan ide cemerlang, namun sangat rapuh saat mendapatkan tekanan dari atasan atau tekanan sosial.
Selain itu, mengutip kompas.com[4] generasi ini juga disinyalir sebagai generasi instan yang tak mau bekerja keras untuk mewujudkan gagasan atau ide-idenya. Selain itu, mereka juga biasanya cenderung “sangat peduli pada dirinya sendiri” sehingga ketiika lelah sedikit, mereka langsung butuh healing, seolah mereka sudah melalui pekerjaan yang amat menekan mental mereka, padahal memang begitu pekerjaan rutin yang harus dikerjakan. Selain itu, mereka juga punya harapan yang tidak realistis. Lantaran melihat keberhasilan orang lain di media sosial, mereka kemudian berpikiran jika finansial freedom harus diraih sesegera mungkin, kalau bisa sebelum usia 30 tahun. Menurut Prof Rhenald Kasali, itu merupakan target yang tidak realistis dan hanya akan menjadi tekanan berlebih untuk bekerja, sementara mental mereka tidak kuat bertahan lama-lama dalam bekerja.
Namun, di sisi lain, generasi ini punya cara pandang sendiri terhadap lingkungan materi. Mereka punya penilaian bahwa bekerja itu tidak hanya untuk uang. Artinya, selain uang, mereka juga mempertimbangkan dampak juga lingkungan kerja yang sehat. Selain itu, mereka juga suka tantangan dan mudah bosan dengan pekerjaan yang monoton. Salah satu yang paling penting, mereka tidak takut dalam mengungkapkan pendapatnya. Untuk poin ketiga ini, dapat kita lihat dari keterlibatan mereka dalam aksi-aksi demontrasi pada isu-isu yang mereka anggap krusial di negara ini. Namun, yang paling kentara dari mereka adalah kemampuan adaptasinya pada setiap perkembangan teknologi informasi yang kian hari kian cepat.
Generasi ini terbentuk, selain karena aspek teknologi yang memapar mereka secara langsung, juga karena paparan tekonologi pada orang tuanya. Orang tua mereka merupakan orang tua yang mengalami kondisi sulit di masa kecilnya. Karena itu, mereka tidak ingin anak-anaknya mengalami kondisi yang sama dengan mereka. Akibatnya, anak-anaknya menjadi “gemuk” dengan ragam pengetahuan, namun mudah hancur saat tertekan meski sedikit.
Sementara itu, mereka harus menghadapi satu kondisi serba tidak pasti. Kondisi yang dapat membuat tekanan pada jiwa sedemikian rupa. "Ketidakpastian berarti ambiguitas, yang berarti kita harus berupaya keras untuk mencoba memprediksi apa yang akan terjadi selain bersiap menghadapi semua kemungkinan hasilnya," kata Aoife O'Donovan, Ph.D., seorang profesor madya psikiatri di UCSF Weill Institute for Neurosciences yang mempelajari berbagai cara stres psikologis dapat menyebabkan gangguan mental seperti gangguan stres pascatrauma (PTSD) sebagaimana dipublikasi pada artikel di universityofcalifornia.edu[5].
BANI merupakan konsep yang mengidentifikasi kondisi yang sedang kita hadapi hari ini dan tentunya di masa-masa yang akan datang. Mengutip Forbes[6], Brittle maksudnya “ilusi kekuatan” nampak kuat padahal mudah pecah alias rapuh. Anxiety maksudnya “ilusi kontrol” keadaan yang menggambarkan banyaknya pemicu kekhawatiran seolah kita banyak tahu, padahal kita sejatinya sedang bingung hingga akhirnya kesulitan membuat keputusan yang tepat. Non-Linear adalah sebuah kondisi di mana masyarakat terjebak pada “ilusi terprediksi”, padahal situasi di masa itu serba tak beraturan sehingga tak bisa diprediksi. Incomprehensible atau “tidak dipahami” adalah situasi di mana masyrakat tidak dapat menafsirkan apa yang sebenarnya terjadi.
Menghadapi situasi macam ini, lantas di mana kondisi guru-guru di negara kita?
Kondisi Guru-Guru Kita
Menghadapi tantangan seperti itu, kita hanya bisa berdo’a sekencangnya pada Allah Swt. agar para guru mendapatkan perlindungan-Nya dan semoga pemimpin negara ini segera mendapatkan hidayah taufiq untuk memperhatikan para guru sebagaimana semestinya. Beban yang luar biasa mereka harus pikul, sementara kondisi guru jauh panggang dari api.
“Menghadapi transformasi industri,” kata Dosen Departemen Manajemen FEB UGM, Rr. Tur Nastiti, Ph. D. , “Singapura menginvestasikan sekitar 4,5 juta dolar Singapura untuk meneliti 23 sektor peta transformasi industri, dunia akademisi dan praktisi membahas bersama apa kebutuhan selama 10 tahun ke depan".[7]
Sementara itu, di Kalimantan masih ada guru, dengan fasilitas yang nampaknya jauh jika harus menyepuh anak-anak hingga menjadi emas di tahun 2045 nanti. Bagaimana tidak, Andi Selviana merupakan guru Program Garis Depan (PGD) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Sekolah tempatnya mengajar berada di daerah tertinggal, terdepan dan terluar. Jangankan jaringan internet, akses jalan saja belum memadai. Akibatnya ia kesulitan saat harus melakukan proses pembelajaran atau pelatihan dalam jaringan (daring) yang diselenggarakan pihak Kementerian Pendidikan.
”Di tempat tugas saya sinyal memang susah. Tower mini ada di lingkungan pusat desa namun tower tersebut tidak mampu memberikan sinyal yang cukup, baik untuk kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) maupun kegiatan webinar. Dusun-dusun di sekitar desa tidak dapat mengakses sama sekali,” kata Andi Selviana sebagaimana dipublikasikan oleh ditpsd.kemdikbud.go.id. [8]
Itu baru dari segi akses dan fasilitas. Sementara itu, mengutip klikpendidikan.id[9], untuk mereka yang menggantungkan hidupnya dari profesi guru, gaji mereka yang sudah menjadi PNS rentangnya berkisar 1,5 juta – 5 juta rupiah. Sementara untuk guru honorer hanya berkisar 300 ribu – 1 juta rupiah. Waajar jika guru menjadi salah satu segmen yang banyak terjerat pinjol[10]. Sebagai perbandingan, gaji guru di negara sebelah, yakni Malaysia bisa mencapai Rp 19,5 juta. Kalau kita melihat data Organization for Economics Cooperation and Development (OEDC), Negera Indonesia masuk urutan terakhir untuk permasalahan guru.
Lantas, bagaimana guru bisa menyepuh generasi strawberi menjadi “emas”?
[1] https://indonesiabaik.id/infografis/siapkah-kamu-jadi-generasi-emas-2045#:~:text=Pada%20tahun%202045%2C%20Indonesia%20akan,pada%20periode%20tahun%202020%2D2045.
[2] https://news.detik.com/berita/d-6726325/mpr-ungkap-pentingnya-peran-guru-untuk-hadapi-indonesia-emas-2045
[3] https://kompas100.kompas.id/berita-ekonomi/gen-z-jadi-pengisi-puncak-demografi-apa-saja-yang-harus-dipersiapkan-generasi-ini/
[4] https://lifestyle.kompas.com/read/2022/09/26/150359020/strawberry-generation-dan-karakteristiknya-dalam-dunia-kerja?page=all
[5] https://www-universityofcalifornia-edu.translate.goog/news/science-what-uncertainty-can-mean-your-mind-and-body?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
[6] https://www-forbes-com.translate.goog/sites/jeroenkraaijenbrink/2022/06/22/what-bani-really-means-and-how-it-corrects-your-world-view/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
[7] https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3412-pentingnya-kolaborasi-antara-dunia-akademisi-dan-industri-dalam-mengurus-sumber-daya-manusia
[8] https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/perjuangan-andi-selviana-guru-di-pedalaman-kalimantan-barat