APD untuk Pemulung, Jangan Biarkan Pahlawan Lingkungan Terluka
Wali Umat – Beberapa waktu lalu, seorang bernama Alvi Niardi (57) santer jadi perbincangan publik. Itu lantaran dia seorang guru honorer yang menjadikan pemulung sebagai sampingannya. Alvi jadi menarik lantaran ia menggabungkan profesi guru diidentifikasi sebagai profesi yang mulia, namun dia juga pemulung yang identik sebagai profesi yang “kotor”. Padahal, di balik tangannya yang kotor, pemulung pun mulia.
Tahukah Anda, dalam sehari, setiap orang menghasilkan sampah sekitar 0,7 kg? Begitulah data menurut Direktur Jenderal PSLB Kementrian Lingkungan HIdup, Rosa Vivien Ratnawati. Untuk mengatasi sampah tersebut, masyarakat di lingkungan desa biasanya membakar sebagian, kemudian menguburnya sebagian. Hanya, yang menjadi masalah ketika sebagian masyarakat membuangnya ke sungai. Akibatnya, lama-lama sungai tersumbat dan berakibat banjir.
Inilah salah satu masalah utama, yakni sampah, terutama di kota-kota besar, di mana penduduknya banyak, tempat tinggalnya cenderung padat, apalagi ditambah dengan sanitasi buruk. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah biasanya mengambil peran mengumpulkan sampah dari setiap rumah, kemudian secara berjenjang, dikumpulkan di satu tempat, biasa perkelurahan, untuk kemudian dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA).
Hanya, metode tersebut belakangan sampai pada kondisi menciptakan masalah baru, terutama pada lingkungan, di mana sampah menggunung dan lama-lama memenuhi wilayah TPA. Otomatis, lingkungan sekitar menjadi bau, pun berpotensi menimbulkan kecelakaan lingkungan yang lebih besar. Seperti yang terjadi di Leuwi Gajah, Kabupaten Bandung Barat. Kasus yang terjasdi pada 21 Februari 2005 ini ramai diberitakan karena menimbulkan banyak korban jiwa, yakni 143 orang.
Petugas Pemadam Kebakaran berusaha memadamkan api yang membakar gunungan sampah di TPA Putri Cempo, Solo, Jawa Tengah, Minggu, 17 September 2023. Kebakaran tersebut diduga karena cuaca panas yang memicu gas metan di dalam sampah, sedangkan luasan gunungan sampah yang terbakar diperkirakan mencapai dua hektar. tempo.co/ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Para ahli menyimpulkan, jika penyebab meledaknya TPA Leuwi gajah ialah karena tumpukan sampah yang terlalu banyak, yakni 40-60 meter tanpa ventilasi gas. Ditambah beban sampah pada tanggul. Wajar saja, jika sampah bisa menumpuk sebanyak itu tanpa terolah, lantaran jumlah produksi sampah di Kota Bandung mencapai 1.594,18 ton per hari. Karena kasus ini, pemerintah Kota Bandung kemudian melakukan beberapa upaya, salah satunya, membuka lahan TPA baru, yakni di Sarimukti, masih di KBB.
Masalahnya, jumlah sampah yang diproduksi warga Kota Bandung meningkat 17,89% setiap tahunnya atau 81.394 m3. Ironisnya, volumes sampah yang tertangani atau terolah baru sekitar 10%. Pemerintah dan masyarakat harus berpacu dalam rangka pengelolaan sampah, jangan sampai TPA Sarimukti keburu penuh tanpa tertanggulangi sehingga mengakibatkan bencana lainnya. Na’uudzubillahi min dzaalik.
Dari sini kita bisa berefleksi, Maha Benar Allah Swt., bahwa rusaknya lingkungan itu kebanyakan karena ulah “tangan manusia” sendiri. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Qur’an, surat As-Syuro ayat 30,
وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ
Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).
Karena “tangan kita” yang membuat bumi rusak, maka tanggung jawab kita juga untuk memperbaikinya. Dalam konteks penanggulangan sampah, pemerintah pun mencoba ragam inovasi, mulai dari wacana Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Kemudian, ada juga bank sampah. Selain itu, pemerintah juga melakukan pendekatan edukasi pada masyarakat untuk mulai terlibat aktif, salah satunya dengan memilah sampah; memisahkan sampah basah, kering, dan residu. Hanya, pemerataan edukasi pada masyarakat ini pun nampaknya masih perlu dorongan yang lebih kuat.
Di tengah permasalahan tersebut, ada orang-orang yang justru melihatnya sebagai “peluang”, yakni para pengepul barang bekas atau sampah kering sehingga bernilai ekonomi. Nah, mereka yang mengumpulkan satu demi satu sampah itu ada profesi yang umumnya dianggap “kotor” yakni pemulung. Padahal, dalam kacamata lingkungan hidup, mereka berperan besar dalam menanggulangi sampah, khususnya di tengah ekosistem seperti kota-kota besar di Indonesia.
Mengutip dari website Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pemulung punya peran penting dalam pengelolaan sampah. Itu karena mereka melakukan pemilahan sampah dan mengurangi sampah dari sumbernya. Mereka terlihat kotor karena berurusan dengan “sampah”, padahal di mata mereka justru bernilai ekonomi, walau tidak besar dan di saat bersamaan, membantu penanggulangan sampah.
Peran pemulung dalam pengelolaan sampah, antara lain:
Mengurangi sampah dari sumbernya di rumah-rumah sampai ke TPA
Memilah jenis sampah yang masuk ke TPS
Mengurangi volume sampah di TPS
Menjembatani sistem pengelolaan sampah publik dan industri daur ulang negara
Lebih jauh, pemilahan sampah bermanfaat, di antaranya: memudahkan pembuangan dan pengolahan kembali, memisahkan sampah organik dan anorganik, menghindari terjadinya penumpukan sampah, menjaga lingkungan sekitar, dan mengurangi pencemaran udara.
Meski begitu, pandangan masyarakat pada para pemulung ini masih saja miring sehingga penghargaan terhadap profesi mereka pun rendah. Bayangkan saja, hasil sampah yang dikumpulkan pak Alvi selama sepekan tak lebih dari Rp 50.000. Jumlah pendapatan tersebut berbanding terbalik dengan risiko kesehatan yang “pak Alvi-pak Alvi” lainnya.
Pemulung mencari barang untuk didaur ulang di tempat pembuangan sampah di Desa Galuga, Bogor, Jawa Barat, 3 Juni 2013. (REUTERS/Supri)
Bagi pemulung yang bekerja di TPA, sudah jelas mereka akan berhadapan dengan asap pembakaran sampah dan gas hasil pembusukan sampah. Hasilnya, mereka berisiko mengalami gangguan pernapasa, seperti Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Belum lagi, ketika tangan mereka kotor kemudian digunakan untuk makan. Kotoran yang masih menempel di tangannya berpotensi menimbulkan penyakit pada pencernaan. Yang tak kalah pentingnya, risikko luka luar.
Dalam tumpukan sampah, tak jarang ditemukan barang pecah belah, bahkan pecahan kaca. Lengah sedikit, benda berujung tajam tersebut dapat melukai bagian tubuh mereka. Luka terbuka kemudian terkena sampah. Mengutip website Siloam Hospital, luka terbuka yang terkena sampah dapat menjadi infeksi bakteri atau patogen asing yang berpotensi membahayakan kesehatan tubuh.
Pemulung adalah pahlawan bagi keluarga mereka, yakni demi bertahan hidup tanpa meminta-minta. Di sisi lain, mereka juga pahlawan bagi lingkungan kita dengan memilahkan sampah, terutama sampah plastik yang bisa menghambat saluran air dan banjir. Penghasilan mereka tak seberapa, setidaknya jangan sampai mereka “terluka” lantaran tidak terlindung dari bahaya yang mengintai mereka.
Untuk itu, wali umat membuka program pengadaan APD untuk para pemulung agar mereka tetap menjadi pahlawan bagi keluarga dan lingkungan kita.