• Language
    •  Indonesia
    •  English
    •  Arabic
Masuk Daftar
  • Home
  • Program
  • Donasi
  • Artikel
  • Tentang Kami

Abah Dasim: Kisah Kasih Ayah Berusia 91 Tahun pada Anaknya Yang Gangguan Jiwa

Wali Umat – Pagi itu, di sebuah dapur tua yang berdinding bambu, seorang lelaki renta tengah sibuk menyiapkan sesuatu. Tangannya gemetar, langkahnya perlahan, namun matanya penuh kesungguhan. Di hadapannya, duduk seorang pria dewasa yang tampak tak sepenuhnya sadar akan sekitarnya. Ia anak kandungnya, seorang yang hidup dengan gangguan jiwa. Lelaki tua itu bernama Abah Dasim, berusia 91 tahun. Di usia yang bagi kebanyakan orang hanya tinggal menunggu senja, Abah justru masih mengurus anaknya dengan penuh cinta.

Hidup Abah Dasim adalah kisah tentang kasih sayang yang menolak mati. Sejak istrinya pergi dan anaknya jatuh sakit, ia memilih untuk tetap tinggal di rumah itu, merawat, menjaga, dan bertahan. Tidak ada sumber penghasilan tetap, tidak ada tabungan pensiun, bahkan untuk makan pun terkadang hanya mengandalkan belas kasih tetangga. Namun, di tengah segala keterbatasan itu, Abah tetap tersenyum. Ia tak pernah meminta anaknya sembuh total—ia hanya ingin anaknya tenang, bersih, dan tidak lapar.

Sepuluh tahun lalu, Abah Dasim masih kuat bekerja. Ia biasa menggarap sawah milik orang lain, menanam padi, menyiangi gulma, menerima upah seadanya. Tapi tubuhnya kini tak lagi sekuat dulu. Pinggangnya bungkuk, langkahnya tertatih, dan pandangannya mulai kabur. Meski begitu, ada sesuatu dalam dirinya yang tak ikut rapuh: tanggung jawab. Ia tahu, anaknya yang sakit hanya bergantung padanya. Dan bagi Abah, selama napasnya masih ada, ia akan tetap menjadi seorang ayah.

Setiap pagi, ia memulai hari dengan menyalakan tungku kayu. Asapnya mengepul lembut, mengisi ruangan yang sempit itu. Ia memasak seadanya—kadang hanya nasi dan sayur bening, kadang bubur encer yang dibagi dua dengan anaknya. Jika ada yang memberi lauk, ia bersyukur. Jika tidak, ia tetap tersenyum. Ia tahu, rezeki datang bukan hanya dalam bentuk makanan, tapi juga dalam kesempatan untuk terus mencintai.

Di antara rutinitas sederhana itu, tersimpan keteguhan yang luar biasa. Ketika anaknya marah, berteriak, atau menarik diri dalam diam, Abah tidak membalas dengan kekesalan. Ia hanya menatap, menenangkan, dan berkata pelan, “Sudah, Nak, tenang ya.” Kalimat yang mungkin terdengar biasa, tapi lahir dari hati yang penuh sabar. Kadang, cinta paling kuat justru tak diucapkan dengan kata-kata besar, melainkan dengan tangan renta yang menyuapi tanpa keluh.

Lingkungan di sekitar Abah turut menjadi saksi perjuangannya. Tetangga-tetangga sesekali datang membawa beras atau lauk seadanya. Mereka tahu, tanpa bantuan itu, Abah mungkin tidak akan makan hari itu. Namun Abah tak pernah memaksa. Ia menerima dengan rendah hati, mengucap syukur, dan membagikannya kepada anaknya terlebih dahulu. “Biar dia kenyang dulu,” katanya pelan. Kalimat itu menggambarkan seluruh makna hidupnya.

Meski begitu, tidak semua mata memahami perjuangan Abah Dasim. Ada yang merasa iba, ada pula yang menjaga jarak karena stigma terhadap gangguan jiwa. Tapi Abah tidak menyimpan dendam. Ia percaya, kasih sayang bukan untuk menuntut balasan. Cukup tahu bahwa Allah melihat, itu sudah menjadi kekuatan baginya untuk terus melangkah. Bagi Abah, dunia boleh menjauh, tapi cinta seorang ayah tak akan surut.

Rumah kecil yang ia tinggali kini seperti simbol rahmah yang hidup. Di sana, waktu seakan berhenti, dan segala hal berputar di antara dua manusia: ayah yang renta dan anak yang tak berdaya. Di sana, doa tidak diucapkan di atas sajadah, tapi diwujudkan dalam kesetiaan memberi makan, menenangkan, dan menunggu. Tak ada kemewahan, tak ada sanjungan. Hanya cinta yang bekerja diam-diam.

Sesekali, Abah duduk di teras, memandangi langit senja. Ia tidak tahu berapa lama lagi bisa seperti ini. Tapi ia yakin, selama masih diberi napas, ia akan terus menjalani amanah ini. “Anak saya ini titipan,” ucapnya pada seorang tetangga. Kalimat itu sederhana, tapi mengandung makna spiritual mendalam: bahwa segala bentuk penderitaan bisa menjadi jalan menuju surga, jika dijalani dengan cinta dan sabar.

Dalam keheningan dapur tua itu, Abah Dasim telah mengajarkan kepada dunia arti keteguhan yang sebenarnya. Ia tidak menulis buku, tidak berceramah, tidak bicara soal pahala. Tapi seluruh tubuhnya adalah pelajaran hidup: bagaimana cinta tak pernah pensiun, bagaimana kasih bisa menjadi ibadah, dan bagaimana sabar bisa menjadi bentuk paling tinggi dari kekuatan manusia.

Ketika Cinta Menjadi Ibadah

Kisah Abah Dasim adalah cermin dari ajaran Islam tentang rahmah dan sabr — kasih sayang dan kesabaran. Dua nilai yang sering terdengar, tapi jarang benar-benar diamalkan dengan sepenuh hati. Dalam Al-Qur’an, Allah menyebut kasih sayang sebagai bagian dari sifat-Nya yang paling agung: Ar-Rahman Ar-Rahim. Dan dalam kehidupan Abah, sifat itu seolah menjelma dalam bentuk paling manusiawi: tangan renta yang tetap setia menjaga anaknya.

Nabi ﷺ pernah bersabda, “Barang siapa yang mengurus dua anak perempuannya hingga dewasa, maka ia akan bersamaku di surga.” (HR. Muslim). Hadits ini menunjukkan bahwa merawat keluarga dengan cinta adalah amal besar. Maka bagaimana dengan seorang ayah berusia 91 tahun yang tetap mengurus anaknya yang sakit jiwa? Di mata Allah, mungkin tak ada ibadah yang lebih tulus dari itu.

Dalam nilai universal, apa yang dilakukan Abah Dasim juga merupakan bentuk compassion — belas kasih yang tak bergantung pada imbalan. Di banyak negara, para lansia biasanya justru menjadi pihak yang dirawat, bukan yang merawat. Tapi di Indonesia, kita masih sering menemukan sosok seperti Abah: orang-orang tua yang diam-diam menjadi benteng terakhir bagi keluarga mereka. Ini menunjukkan bahwa cinta sejati tidak tunduk pada usia, tapi tumbuh dari tanggung jawab.

Sayangnya, di sisi lain, data menunjukkan betapa rapuhnya solidaritas kita terhadap kaum lansia. Menurut Komnas Lansia (2024), lebih dari 30% lansia di Indonesia hidup sendiri tanpa dukungan keluarga. Sebagian ditelantarkan, sebagian tinggal di panti sosial tanpa kunjungan anak-anak mereka. Fenomena ini menjadi kontras tajam bagi kisah Abah Dasim — seorang ayah yang tetap bertanggung jawab meski seharusnya ia yang menerima perawatan.

Fenomena serupa juga terjadi pada banyak anak muda yang abai terhadap orang tuanya. Mereka sibuk mengejar kenyamanan pribadi, lupa pada sosok yang dulu rela berkorban tanpa pamrih. Padahal, dalam Islam, berbuat baik kepada orang tua adalah perintah setelah menyembah Allah: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku, kasihilah mereka sebagaimana mereka telah mendidikku waktu kecil.’” (QS. Al-Isra: 24). Ayat ini bukan hanya tentang anak kepada orang tua, tapi juga pesan bahwa kasih sayang adalah energi yang diwariskan, bukan diputus.

Merawat orang dengan gangguan jiwa juga bukan perkara ringan. Banyak studi psikologi menunjukkan, caregiver fatigue — kelelahan emosional akibat merawat orang sakit — bisa menyebabkan depresi dan stres berat. Namun Abah Dasim menembus batas itu. Ia tidak punya terapi, tidak tahu istilah “mental health support”, tapi ia punya iman dan cinta yang menjadi penopang batinnya. Inilah spiritual resilience dalam bentuk paling sederhana.

Kisah Abah juga membuka mata kita bahwa sistem sosial harus lebih peka terhadap para perawat lansia dan keluarga ODGJ. Dukungan bukan sekadar bantuan materi, tapi juga empati sosial dan lingkungan yang inklusif. Banyak Abah-Abah lain di luar sana yang hidup dalam sunyi, menanggung cinta dan lelah sendirian. Masyarakat yang beradab seharusnya tidak membiarkan kasih seperti itu berjalan tanpa teman.

Dalam refleksi moral, kisah ini seharusnya menggugah kita untuk meninjau ulang makna “berbakti”. Bagi sebagian orang, berbakti berarti mengirim uang bulanan. Tapi bagi Abah, berbakti adalah bertahan, merawat, mencintai tanpa henti. Ia membuktikan bahwa bakti bukanlah urusan siapa yang muda atau tua, tapi siapa yang tetap setia meski tak lagi mampu banyak bicara.

Ada pelajaran besar di sini: bahwa kasih sejati bukanlah tentang memberi karena mampu, melainkan tentang memberi karena merasa terpanggil. Cinta Abah Dasim pada anaknya tidak diukur dari tenaga, tapi dari keberanian untuk tetap ada — meski dunia mungkin sudah lupa. Ketika cinta seperti ini hidup dalam diri manusia, sesungguhnya dunia masih punya harapan.

Kini, setiap kali senja turun, Abah Dasim masih terlihat duduk di teras rumahnya. Di sampingnya, anaknya duduk diam. Kadang mereka berbagi keheningan, kadang saling menatap tanpa kata. Di momen itu, kita melihat bahwa cinta memang tak butuh bahasa. Ia hanya butuh kehadiran.

Karena sejatinya, cinta tak pernah pensiun. Ia hanya berganti bentuk: dari tangan yang menuntun menjadi tangan yang menyuapi, dari suara yang menasihati menjadi doa yang dibisikkan dalam sepi. Dan mungkin, di antara doa-doa senja itu, surga sedang tersenyum menyambut satu nama: Abah Dasim.

Share This